Pernahkah Anda mendengar seseorang menggunakan frasa pada zaman Alkitab? Ungkapan itu selalu mengganggu saya. Saya mengerti apa yang dimaksud orang-orang dengan hal tersebut, tetapi saya rasanya ingin berteriak, “Kita masih hidup di zaman Alkitab!” Tuhan yang sama yang berinteraksi dengan umat-Nya pada masa itu masih terus mengundang partisipasi kita dalam kisah-Nya hingga kini. Yesus Kristus yang sama yang disaksikan para pengikut-Nya ketika naik ke surga untuk menduduki takhta yang seharusnya, masih berkuasa dan memerintah dari sana hingga kini. Roh Kudus yang sama yang dicurahkan atas para murid pada hari Pentakosta masih dicurahkan oleh Yesus Sang Raja kala Ia membangun gereja-Nya saat ini.
Kitab yang kita khotbahkan sebagai rohaniwan bukanlah sebuah kisah dari masa lampau dan galaksi yang sangat jauh di sana. Ini adalah kisah dunia ini, yang masih sama relevannya hari ini seperti halnya bertahun-tahun yang lalu.
Kita hidup di zaman dengan banyak sekali kisah palsu atau membingungkan. Namun hanya ada satu kisah yang benar: Kisah yang diceritakan dalam Alkitab. Mungkin sebagian dari jemaat Anda tidak pernah berpikir seperti itu. Mungkin mereka diajar untuk melihat Alkitab sebagai daftar aturan untuk menjadikan mereka orang baik. Mungkin mereka diajari bahwa Alkitab adalah kumpulan ajaran inspiratif atau panduan referensi teologi sistematis. Meski semuanya menawarkan sesuatu yang bermanfaat, tak satu pun dari semua itu yang menangkap inti sesungguhnya. Alkitab adalah sebuah kisah, satu narasi komprehensif tentang apa yang telah Allah lakukan bagi orang-orang berdosa melalui pribadi dan karya Yesus Kristus.
Dan gereja Anda hidup di dalamnya. Andapun demikian.
Kita dilahirkan dalam drama kosmik yang dimulai jauh sebelum kita dilahirkan dan akan terus berlanjut hingga kekekalan—semuanya itu ditemukan dalam satu kisah yang benar dan terpadu ini. Kitab Suci bukanlah sekadar daftar aturan-aturan utama (meskipun Kitab Suci memberi tahu kita apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan). Kitab Suci bukanlah kompilasi berbagai ajaran atau bahkan buku teks. Kitab Suci adalah sebuah drama. Dan kita bukanlah penonton semata. Kita diundang untuk berpartisipasi.
Inilah pemuridan: Belajar mengikut Kristus sebagai peserta dalam kisah ini.
Namun, untuk benar-benar berpartisipasi, kita harus mengidentifikasi dan menyingkirkan kisah-kisah palsu yang sedang kita jalani sehingga kita dapat mengenakan kisah yang lebih baik. Hal itu berlaku bagi jemaat kita, dan berlaku juga bagi kita sebagai pemberita dari kisah ini.
Jika kita ingin orang-orang bertumbuh sebagai murid Yesus, kisah mereka harus ditulis ulang oleh Roh-Nya, diedit agar sesuai dengan kontur Alkitab, dan ditulis agar mereka dapat berpartisipasi.
Akan tetapi kita tidak dapat berpartisipasi dalam kisah Alkitab jika kita tidak mengetahuinya. Aktor yang memainkan suatu peran tidak dapat membawakan naskah yang tidak mereka ketahui. Sederhananya, kita tidak dapat hidup dalam kisah Alkitab jika kita tidak mengetahui kisah Alkitab itu sendiri.
Sayangnya, banyak orang di gereja kita melakukan hal itu—mencoba menghidupi kisah yang tidak mereka ketahui. Menurut penelitian State of Theology 2022 yang dihasilkan oleh Ligonier Ministries dan Lifeway Research, kaum Injili meyakini hal berikut tentang Alkitab:
- 65 persen setuju bahwa “setiap orang dilahirkan tidak bersalah di mata Tuhan.”
- 26 persen setuju bahwa “Alkitab, seperti semua kitab suci, mengandung kisah-kisah mitos kuno yang bermanfaat, tetapi tidak secara harfiah benar.”
- 56 persen setuju bahwa “Allah menerima ibadah semua agama, termasuk Kristen, Yahudi, dan Islam.”
- 38 persen setuju bahwa “keyakinan agama adalah masalah pendapat pribadi; bukan tentang kebenaran objektif.”
Masing-masing kepercayaan ini mengkhianati kisah sejati dari Kitab Suci, yang menyingkapkan bahwa orang Kristen Injili masih hidup dalam kisah-kisah lain.
Kita hidup di zaman di mana kita memiliki akses yang lebih banyak atau lebih mudah terhadap teks Kitab Suci kita. Namun kenyataannya, kita belum memanfaatkannya. Alkitab kita tergeletak di rak, para pendeta lebih membahas mantra-mantra pengembangan diri, dan akibatnya, gereja melupakan kisah yang di mana kita telah dipanggil untuk hidup di dalamnya.
Sekarang mungkin mudah untuk melihat data tersebut dan berasumsi bahwa hal itu tidak berlaku bagi kita atau gereja kita sendiri. Karena itu, mari kita gali lebih dalam lagi. Bagaimana jemaat gereja Anda pada umumnya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
- Bisakah Anda menceritakan kisah Alkitab dalam waktu 15 menit?
- Bisakah Anda menjelaskan tentang Kerajaan Allah?
- Apa yang dimaksud dengan kovenan?
- Kovenan-kovenan utama apa saja yang terdapat dalam Alkitab, dan apa yang dijanjikan dari kovenan-kovenan tersebut?
- Di mana letak kovenan-kovenan itu dalam Alkitab?
- Bagaimana kovenan-kovenan tersebut membantu kita memahami kisah Alkitab secara utuh?
- Apa kaitan kovenan-kovenan tersebut dengan Yesus dan apa yang ingin Ia genapi melalui kedatangan-Nya?
Kebutahurufan akan Alkitab (Bible illiteracy) merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi gereja modern. Ini adalah tantangan bagi para rohaniwan. Dan tujuan kami bukanlah agar jemaat sekadar mendapat nilai lebih baik dalam kuis Alkitab atau memperoleh jawaban yang benar di Sekolah Minggu. Literasi Alkitab penting karena hidup yang berdasarkan Firman Tuhan sangatlah penting. Sasarannya bukanlah soal jawaban yang benar, melainkan kehidupan yang benar, berpartisipasi dalam sukacita besar dari persekutuan dengan Allah.
Kita tidak hanya menginginkan agar jemaat yang lebih terinformasi. Kita menginginkan jemaat yang setia—yaitu orang-orang yang bukan hanya mengetahui Firman Tuhan melainkan juga menghidupi dan menghayatinya.
Pembentukan semacam itu dimungkinkan karena kisah Alkitab masih ada hingga kini. Allah tidak tinggal diam. Kristus tidak turun takhta. Roh Kudus tidak berhenti berkarya. Dan gereja—yaitu gereja Anda—masih terpanggil untuk bersaksi tentang kisah sejati yang menyatukan semua kisah lainnya.
Jadi gembalakanlah sebagaimana kebenarannya. Berkhotbahlah seperti halnya itu sedang berlangsung. Bukalah teks Alkitab, bukan hanya untuk menjelaskannya tetapi untuk masuk ke dalamnya—Minggu demi Minggu, berulang kali—dan bimbinglah para pendengar Anda untuk ikut masuk bersama Anda.
Anda tidak hanya mengajarkan Alkitab. Anda membantu jemaat Anda untuk hidup di dalamnya.
Inilah panggilan pastoral kita: Menjadi penatalayan dari kisah tersebut, pelayan Firman, dan gembala yang menapaki jalan lama dengan iman yang baru, bukan sebagai pembaca yang jauh dari kebenaran kuno, melainkan sebagai orang yang tahu bahwa kita masih berada di dalamnya.
J.T. English adalah pendeta utama di Storyline Church di Arvada, Colorado, dan penulis buku Deep Discipleship dan Remember and Rehearse. Ia juga merupakan salah satu pembawa acara siniar Knowing Faith.
Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.