Church Life

Apakah Sudah Saatnya Menghentikan ‘Saat Teduh’?

Keterlibatan alkitabiah yang efektif haruslah lebih dari sekadar pengalaman pribadi seseorang dengan Kitab Suci.

Christianity Today September 30, 2025
Unsplash / Aaron Burden / Riccardo Mion

Kesenjangan itu semakin jelas terlihat 12 tahun lalu ketika saya (Dru) mulai mengajar kelas pengantar Perjanjian Lama kepada para mahasiswa baru. Setiap semester, para mahasiswa Kristen akan melaporkan kepada saya bahwa mereka membaca Alkitab setiap hari. Mereka bahkan dapat menghafal ayat-ayat kunci. Mereka fasih dengan istilah-istilah klise dalam teologi Kristen. Namun, meskipun mereka terlibat terus-menerus dengan Alkitab, mereka terkejut dengan apa yang kami temukan dalam kitab Kejadian—misalnya ada beberapa hal yang tampaknya tidak diketahui Allah (Kej. 11:5; 18:21; 22:12)—belum lagi kitab Hakim-hakim.

Saya mulai menyadari bahwa pemahaman mereka yang buruk tentang Kitab Suci tidak selalu disebabkan oleh kurangnya membaca, meskipun itu juga merupakan masalah besar di AS. Dari tahun 2021 hingga 2022, keterlibatan dengan Alkitab—yang dinilai berdasarkan frekuensi penggunaan, dampak rohani, dan pentingnya moral dalam kehidupan sehari-hari, turun 21 persen di antara pengguna Alkitab dewasa Amerika. Ini merupakan penurunan tahunan terbesar yang pernah dicatat oleh American Bible Society dalam studi tahunannya State of the Bible. Dan hampir 1 dari 5 pengunjung gereja mengatakan mereka tidak pernah membaca Alkitab.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Namun bagi para mahasiswa saya, yang banyak di antaranya membaca Alkitab setiap hari dan memilih berkuliah di perguruan tinggi Kristen, pemahaman dan penerapan Kitab Suci yang buruk tampaknya disebabkan oleh cara mereka berinteraksi dengan Alkitab. Ini adalah cara yang telah digunakan banyak orang Kristen Amerika untuk membaca Alkitab selama beberapa dekade: melalui “renungan harian” atau “saat teduh.”

Cara saat teduh yang lazim dilakukan setiap hari saat ini sepertinya tidak akan menghasilkan kefasihan yang dibutuhkan untuk memahami dan menerapkan ajaran Alkitab. Hanya ketika saat teduh diletakkan dalam kerangka kebiasaan mempelajari Kitab Suci, maka saat teduh dapat kembali memiliki kuasa untuk mengubah cara berpikir kita dan komunitas kita.

Bagaimana mungkin mahasiswa saya yang begitu sering membaca Alkitab tetapi memiliki pemahaman yang begitu sedikit tentang Taurat, hampir tidak memperhatikan fokus Alkitab pada langit dan bumi yang baru, dan bingung dengan konsep-konsep seperti keselamatan dan kejahatan? CT sebelumnya membahas statistik penelitian Lifeway yang mengungkap tren kebuta-hurufan Alkitab di kalangan masyarakat yang lebih luas. Kesetiaan mereka membaca Kitab Suci setiap hari justru tampak menjauhkan mereka dari pemahaman terhadap bagian-bagian kunci di dalamnya.

“Secara keseluruhan,” tulis Ed Stetzer pada tahun 2017, “orang Amerika, termasuk banyak umat Kristen, memiliki pandangan yang tidak alkitabiah tentang neraka, dosa, keselamatan, Yesus, kemanusiaan, dan Alkitab itu sendiri.” Seperti banyak orang Kristen Amerika, para mahasiswa saya tampaknya tidak memahami detail-detail yang diperlukan untuk menangkap keseluruhan isi Kitab Suci.

Ketika saya menjadi gembala jemaat di sebuah gereja pada awal tahun 2000-an, konsep-konsep teologis ini dianggap sebagai hal-hal dasar yang tampaknya dipahami secara mendalam oleh jemaat saya yang berusia 80 tahun (beberapa di antaranya hanya memiliki ijazah SMA!) dan diterapkan dalam kehidupan dan pelayanan mereka. Seperti para mahasiswa saya, orang-orang Kristen dari Generasi Terbesar ini juga mempraktikkan bacaan renungan singkat setiap hari.

Namun, berkat berbagai bentuk pembelajaran dari waktu ke waktu, mereka sering memahami konteks dari bagian yang sedang mereka renungkan—apa yang terjadi sebelum dan sesudahnya. Mereka mungkin membaca satu bagian kecil setiap hari, tetapi mereka melakukannya untuk mengintegrasikannya ke dalam pemahaman mereka yang lebih luas tentang Kitab Suci yang diperoleh dari keterlibatan yang lebih mendalam di luar bacaan harian.

Akan tetapi, para mahasiswa saya yang tidak mempraktikkan bentuk-bentuk keterlibatan tradisional dengan Alkitab yang lebih kuat—seperti studi Alkitab induktif, rencana bacaan Alkitab tahunan, leksionari, atau lectio divina—hampir tidak memiliki alat untuk membantu menempatkan perenungan harian atas ayat seperti, “Jadi, apakah yang akan kita katakan tentang semuanya ini? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” (Rm. 8:31). Penggunaan ayat-ayat Alkitab secara terpisah tanpa pemahaman akan keseluruhan isi Alkitab dapat dengan mudah menyimpangkan penafsiran kita. Tradisi-tradisi keterlibatan dengan Kitab Suci yang telah teruji oleh waktu menyingkapkan dan membiasakan kita dengan isi Alkitab.

Hanya ketika saat teduh diletakkan dalam kerangka kebiasaan mempelajari Kitab Suci, maka saat teduh dapat kembali memiliki kuasa untuk mengubah cara berpikir kita dan komunitas kita.

Ketika para mahasiswa baru yang saya ajar itu menjelaskan hasil saat teduh mereka setiap hari, saya mulai memahami sebagian dari kesenjangan itu. Mereka kurang memiliki kesempatan yang lebih panjang untuk membaca Kitab Suci secara komunal, di mana mereka dapat dengan aman mempertanyakan teks dan merenungkan maknanya.

Bagi mereka, membaca Alkitab adalah tanggung jawab individu dengan hasil yang dinilai perlu: Allah menunjukkan sesuatu dari bagian perikop yang langsung relevan dengan kehidupan pembacanya. Banyak orang bermain rolet Alkitab setiap pagi, membiarkan Kitab Suci terbuka di halaman mana saja dan meminta Allah untuk menunjukkan apa yang harus mereka pelajari dari ayat-ayat tersebut. Beberapa di antara mereka hanya membaca satu ayat sehari. Yang lain membaca satu perikop, atau mungkin satu pasal.

Sekalipun praktik ini secara sepintas menyerupai kebiasaan sehari-hari kakek nenek buyut mereka, dampaknya bisa sangat berbeda. Sebagian mahasiswa saya, bahkan mereka yang pernah mengikuti semacam pelatihan Alkitab di gereja atau lembaga, terkejut dengan pertanyaan-pertanyaan dasar yang saya ajukan tentang Alkitab yang ada di tangan mereka. Tanpa konteks dan pemahaman lebih lanjut, pembelajaran mereka yang dangkal tentang Alkitab hanya memperparah ketidaktahuan dan kesalahpahaman mereka seiring berjalannya waktu.

Fenomena membaca tanpa memahami ini makin nyata terlihat. The Center for Hebraic Thought, organisasi yang dipimpin Celina dan saya, menyelenggarakan konferensi tentang literasi Alkitab pada Oktober 2021, yang mempertemukan para pemimpin yang mengkhususkan diri dalam keterlibatan dan pendidikan Alkitab. Hampir dua lusin organisasi terwakili, termasuk American Bible Society, The Gospel Coalition, Council for Christian Colleges & Universities, dan Museum of the Bible, serta para dosen seminari, YouTuber, perancang perangkat lunak, dan pakar kurikulum Alkitab.

Ketika saya menceritakan kisah-kisah tentang para mahasiswa saya yang salah memahami Taurat dan Injil, semua orang sepakat bahwa mereka telah melihat fenomena yang sama di lingkungan mereka sendiri dan sama-sama prihatin dengan ketidakefektivan kebiasaan membaca renungan pada banyak orang Kristen.

Para mahasiswa saya tidak melek Alkitab. Mereka tidak benar-benar mengetahui kisah, karakter, gagasan, dan tema dalam Alkitab, apalagi bagaimana literatur itu sendiri saling terkait dan membentuk pemikiran untuk suatu pandangan tertentu tentang dunia. Dan sebagai orang Kristen, kita harus bertujuan melampaui sekadar literasi dasar. Kita berharap untuk mengetahui dan mempraktikkan pemikiran dan ajaran Kitab Suci dengan fasih, memperluas hikmat dari Alkitab ke semua bidang kehidupan yang tidak secara langsung dibahasnya.

Misalnya, seseorang yang melek Alkitab akan tahu bahwa sistem peradilan Israel kuno seperti yang dijelaskan dalam Taurat tidak melibatkan pemenjaraan atau polisi. Akan tetapi seseorang yang fasih Alkitab akan tahu bahwa fakta ini tidak secara otomatis berarti bahwa kita harus menghapus semua penjara dan kepolisian. Sebaliknya, orang yang fasih Alkitab akan mampu memahami prinsip-prinsip dasar dalam Taurat—tema dan panduan struktural mendalam yang akan menginformasikan dan membentuk pemikiran kita tentang kejahatan, kepolisian, dan penjara masa kini.

Literasi berfokus pada pengetahuan kosakata dan tata bahasa Kitab Suci—apa isi Alkitab dan bagaimana literatur itu bekerja. Kefasihan adalah kemampuan untuk berpikir selaras dengan ajaran berulang-ulang dalam Alkitab dan memperluas pemikiran serta praktiknya ke dalam situasi modern—di mana semua variabelnya mungkin berbeda dari yang ada dalam konteks kuno, tetapi prinsipnya sama.

Jika tujuannya hanya melek Alkitab, orang hanya perlu mengetahui sebagian besar isi Alkitab. Namun pengetahuan dasar tentang “fakta-fakta Alkitab” tidaklah cukup. Kitab Suci sendiri menuntut agar umat Allah merenungkan dan mempraktikkan petunjuk-petunjuknya sebagai suatu komunitas untuk menjadi bijaksana (Ul. 4:10, 30:9–10). Allah berfirman kepada Israel bahwa perintah-Nya melalui Musa adalah agar seluruh Israel—pria, wanita, orang asing, penduduk asli, muda, dan tua—menjadi “bangsa yang bijaksana dan berakal budi” (Ul. 4:6). Yesus menegaskan bahwa mempraktikkan ajaran-Nya akan menghasilkan hal yang sama (Mat. 7:24) namun itu tidak akan terjadi jika kita sekadar tahu teksnya (Luk. 18:18–30).

Jika kita tidak dapat secara fasih menerapkan prinsip-prinsip Alkitab, memperluas pemikiran Kitab Suci ke dalam masalah mata uang kripto, reformasi polisi dan penjara, identitas seksual dan gender, dan segala hal lain yang tidak dibahas langsung oleh para penulis Alkitab, maka kita bukanlah orang yang bijaksana dan berakal budi sebagaimana yang Allah kehendaki dari kita.

Bagi banyak orang Kristen, khususnya kaum Injili, saat teduh pagi “mungkin merupakan disiplin rohani yang paling mendasar,” tulis David Parker dalam terbitan Evangelical Quarterly tahun 1991. “Saat teduh harian” begitu mendasar bagi banyak konsep kaum Injili terkait relasi dengan Allah sehingga mereka tidak dapat membayangkan kekristenan yang setia tanpanya. Namun bentuknya yang sekarang—setidaknya di AS saat ini—baru berusia sekitar 150 tahun.

Banyak orang Injili yang menganjurkan untuk melakukan saat teduh harian dengan mengutip Matius 6:6: “Masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi.” Namun ayat ini tidak menjelaskan bentuk saat teduh sebagaimana yang biasanya dilakukan sekarang.

Saat teduh masa kini biasanya dilakukan dengan membawa Alkitab ke tempat pribadi, “melakukannya pertama kali di pagi hari, tidak menggunakan bentuk doa tertulis yang sudah ditentukan,[tetapi] duduk dengan tenang, dan mengharapkan Allah berbicara kepada Anda dengan tuntunan yang nyata untuk hari itu,” tulis Greg Johnson, gembala jemaat Gereja Memorial Presbyterian di St. Louis, dalam disertasinya From Morning Watch to Quiet Time.

Johnson menelusuri praktik modern saat teduh hingga tahun 1870-an, ketika orang-orang Injili Amerika menggabungkan dua praktik saat teduh Puritan yang sebelumnya terpisah: Doa pribadi dan pemahaman Alkitab (PA) pribadi. Gabungan doa dan pemahaman Alkitab ini berubah menjadi “jaga pagi,” yang menekankan doa syafaat. Dari sana, praktik ini berubah menjadi “saat teduh,” yang mengurangi penekanan pada doa syafaat dan lebih mengutamakan mendengarkan atau meditasi dengan tenang. Penekanan yang baru ini pada individu yang menerima wawasan harian dari Tuhan mengubah sifat keterlibatan Alkitab yang diajarkan kepada generasi-generasi orang Kristen Amerika.

Saat teduh harian secara khas dilakukan secara pribadi dan biasanya tidak melibatkan studi Alkitab yang mendalam. Sebaliknya, pembaca sering kali berfokus pada satu pasal atau bahkan beberapa ayat per sesi, yang darinya mereka dapat berharap menerima tuntunan Allah bagi kehidupan pribadi mereka pada saat itu. Saat teduh harian biasanya mencakup periode “mendengarkan” suara Allah dalam doa, yang diyakini dapat muncul baik melalui ayat-ayat yang dibaca pada sesi tersebut maupun melalui komunikasi langsung ke dalam pikiran pendengar.

Meskipun praktik mendengarkan ini mungkin dilakukan penuh harap, namun pada hakikatnya praktik ini bersifat pasif. Praktik ini sering kali dipandu oleh keyakinan tersirat bahwa Firman Allah berbicara dan melakukan transformasi melalui petunjuk seketika yang ditujukan pada pembaca perorangan, dan bukan melalui pembelajaran berkelanjutan dan pertanyaan aktif dalam komunitas.

Ritual perenungan harian pribadi ini mendapat manfaat besar dari penerbitan Alkitab Referensi Scofield pada tahun 1909, sebuah pembelajaran Alkitab mandiri yang mudah diakses dan dijual luas di pasaran. Alkitab Scofield mencerminkan dan mempromosikan penyebaran dispensasionalisme di kalangan Protestan Amerika. Dispensasionalisme memiliki daya penggerak, kata Greg Johnson kepada kami dalam sebuah wawancara, karena ia memberi orang-orang sebuah kerangka untuk membaca Perjanjian Lama dan menyiratkan bahwa para pembaca sedang berhubungan kembali dengan gagasan-gagasan utama Alkitab yang telah diabaikan oleh kaum Protestan.

Penggunaan Alkitab Scofield dalam gerakan dispensasionalis mendorong pendekatan individualistis terhadap pembelajaran Alkitab. Atau setidaknya hal itu meningkatkan ketergantungan para pembaca pada penafsiran mereka sendiri terhadap Kitab Suci. Mark Noll mencatat dalam America’s Book: The Rise and Decline of a Bible Civilization, 1794–1911, “Ketika mereka semakin yakin pada kemampuan orang awam untuk memahami makna Alkitab yang sederhana,” populisme “Alkitab saja” dari gerakan dispensasionalis sebenarnya menegakkan “sebuah korps elit pengajar yang membimbing orang lain selangkah demi selangkah dalam membaca Alkitab ‘secara mandiri.’”

Dengan kata lain, makna pembelajaran mandiri tersebut didukung oleh catatan tafsiran di samping teks Alkitab. Ironisnya, “Alkitab Scofield membimbing para pembacanya dengan menyatakan kebebasan mereka dari bimbingan,” tulis Noll.

Berbeda dengan khotbah dan kelompok belajar Alkitab, saat teduh harian menjadi latihan pembentukan batin yang individual, yang memiliki kecenderungan serupa dengan modernisme sekuler pada masa itu. Para pendukung saat teduh mulai mengidentifikasi manfaat utama dari devosi harian sebagai “diri yang ditransformasi, bukan dunia yang ditransformasi,” tulis Johnson dalam disertasinya.

Meskipun pembentukan karakter pribadi adalah penting, jika dilakukan secara terisolasi, hal itu lebih selaras dengan kecenderungan kaum modernis daripada dengan fokus alkitabiah terhadap pembentukan karakter melalui kebiasaan, ritual, dan bimbingan dari komunitas. Fokus ke dalam batin ini juga dapat menggambarkan pembentukan keadilan dalam komunitas dan sistem—yang merupakan perhatian utama para penulis Alkitab—menjadi sekadar patuh pada prinsip-prinsip etika individualistis.

Beberapa praktisi saat teduh mulai memperlakukan Alkitab lebih sebagai alat meditasi daripada sebagai pengajaran otoritatif dari Allah dan umat-Nya. Selama saat teduh, kontemplasi akan berkembang menjadi pengakuan dosa dan meditasi alkitabiah, yang akan berpuncak pada pencatatan setiap bimbingan ilahi yang diterima hari itu. Pembacaan Alkitab, sebagaimana yang diamati Johnson, mungkin hanya berupa satu bagian pendek dari Alkitab atau tafsiran renungan—bukan pembelajaran mendalam terhadap Alkitab sebagai sebuah karya literatur yang utuh.

Saat ini, saat teduh harian sering kali tidak melibatkan Alkitab sama sekali. Seperti yang pernah dicatat CT, Penelitian Lifeway 2023 mengungkapkan bahwa meskipun 65 persen pengunjung gereja Protestan menghabiskan waktu sendirian dengan Allah setiap hari, hanya 39 persen yang membaca Alkitab selama waktu tersebut. Jika statistik ini berarti bahwa orang Kristen menukar bacaan renungan yang tergesa-gesa dan terpecah-pecah dengan kelompok belajar Alkitab yang menyeluruh, maka mungkin itu merupakan perkembangan yang lebih baik. Namun, penurunan keterlibatan Alkitab secara keseluruhan dalam studi ABS menunjukkan bahwa lebih banyak orang Kristen yang tidak membacanya.

Pada akhir abad ke-20, saat teduh harian telah menjadi bagian tetap ortodoksi di beberapa kalangan keristenan. Christy Gates, direktur nasional untuk keterlibatan Kitab Suci di InterVarsity Christian Fellowship, mengklaim bahwa praktik “DQT” (saat teduh harian) dalam pelayanan kampus pada akhirnya menjadi tolak ukur paling dasar dari kehidupan rohani seseorang. Menanyakan tentang “perjalanan seseorang dengan Allah” sama artinya dengan “Apakah Anda melakukan saat teduh Anda setiap hari?”

Gates menekankan bahwa bahkan ketika pelayanan kampus mengajarkan praktik kelompok belajar Alkitab bersamaan dengan DQT, seperti yang dilakukan InterVarsity, studi kelompok biasanya akan menurun sementara DQT tetap bertahan. Mengapa demikian? Dia menganggap DQT terkait dengan individualisme keagamaan kita yang menginginkan Allah untuk berbicara dengan kita secara langsung. Di masa lampau, ibadah harian dilakukan bersama keluarga atau komunitas dengan memohon kepada Allah agar menyediakan kebutuhan mereka, tetapi saat ini ibadah terutama dilakukan oleh individu yang memohon kepada Allah agar berbicara kepada mereka. Bahayanya jelas: Mendengarkan arahan Allah dari Kitab Suci dan dalam doa tanpa pertanggungjawaban bersama dapat menghasilkan pemahaman yang rapuh tentang kekristenan.

Orang-orang Kristen yang menekankan DQT sebagai praktik rohani yang diperlukan biasanya akan menunjuk pada saat-saat doa Yesus yang menyendiri sebagai model untuk ritual ini: “Pagi-pagi benar… Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana” (Mrk. 1:35). Tentu saja, ketika para murid-Nya yang frustrasi menemui Dia, Yesus kemudian menjelaskan mengapa Dia meninggalkan kota itu: “Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang ” (ayat 38, penekanan ditambahkan). Lukas juga menunjuk pada kebiasaan Yesus: “Akan tetapi Ia mengundurkan diri ke tempat-tempat yang sunyi dan berdoa” (Luk. 5:16). Yesus, seperti biasanya, sedang mencari waktu istirahat dari kerumunan orang banyak yang menuntut banyak hal atau sedang bersiap berpindah ke tempat berikutnya, karena “untuk itu Aku telah datang.”

Masuk akal jika doa pribadi Yesus dipandang sebagai suatu ritual yang harus kita tiru. Setidaknya, hal itu tampak sebagai praktik bijaksana yang berasal dari Alkitab, meskipun waktu berdoa yang tenang dan membaca Alkitab tidak pernah diperintahkan kepada orang Ibrani atau para pengikut Yesus mula-mula.

Namun, para pakar keterlibatan Alkitab kontemporer sepakat bahwa saat teduh harian, yang kita padukan dengan pembacaan Alkitab setiap hari, dapat mendistorsi pemahaman kita terhadap Kitab Suci. Para pemimpin pelayanan organisasi pendamping gereja (parachurch) yang kami wawancarai telah mengidentifikasi bahwa saat teduh harian dan pembacaan renungan sebagai satu-satunya bentuk konsumsi Kitab Suci yang berpotensi menimbulkan masalah dalam komunitas pelayanan mereka.

Para profesor Alkitab, administrator seminari, dan pendeta, serta mereka yang bekerja di American Bible Society, Our Daily Bread, Cru, dan InterVarsity, semuanya memberi tahu kami bahwa mereka ingin memupuk keterlibatan harian dengan Alkitab. Namun mereka juga bertujuan untuk membentuk ulang cara keterlibatan itu bagi orang-orang seperti mahasiswa baru saya, yang membaca Alkitab dalam porsi kecil setiap hari tetapi tidak memahami apa yang mereka baca.

Tidak ada ukuran universal untuk literasi Alkitab. Juga tidak ada kesepakatan mengenai sejauh mana pengetahuan bisa disebut literasi. ABS mengukur apa yang disebutnya “keterlibatan dengan Alkitab” (“keterlibatan” berarti frekuensi penggunaan, dampak, dan sentralitas dalam moralitas) dalam studi State of the Bible. Namun seseorang bisa saja mendapat nilai tinggi dalam hal “keterlibatan” tanpa benar-benar mengetahui banyak tentang teologi Kitab Suci atau asumsi-asumsi dasar para penulis Alkitab. Lebih jauh lagi, bukti anekdotal menunjukkan bahwa literasi Alkitab telah mengalami penurunan yang semakin tajam.

Jika literasi Alkitab menurun, bahkan bagi mereka yang membacanya dengan khusyuk setiap hari, lalu apa jalan keluarnya? Sebagian besar pelayanan pendamping gereja yang kami ajak bicara melaporkan bahwa mereka telah mempertimbangkan metode-metode yang memberikan perspektif Kitab Suci yang lebih luas. Metode-metode ini termasuk ritual pembacaan Kitab Suci kuno yang jarang dipraktikkan oleh banyak gereja Injili (seperti lectio divina, Doa Harian dari The Book of Common Prayer, dan seterusnya). Akan tetapi praktik yang paling sering disebut oleh para pemimpin pelayanan adalah pembacaan Kitab Suci di depan publik, atau komunal.

Dalam beberapa hal, bentuk keterlibatan dengan Alkitab ini adalah kebalikan dari saat teduh. Alih-alih membaca, komunitas mendengarkan secara bersama-sama bagian Kitab Suci yang panjang—terkadang selama 30 menit hingga satu jam—baik menggunakan Alkitab audio maupun dibacakan oleh orang-orang dengan suara keras. Para profesor Alkitab telah lama memperhatikan bahwa habitat alami Kitab Suci ada di telinga orang-orang Kristen yang berkumpul, bukan di mata individu-individu. Dampak keterlibatan Kitab Suci dalam bentuk panjang terhadap literasi Alkitab sejauh ini masih bersifat anekdot.

Dari Musa hingga Yosia hingga Nehemia, pembacaan Alkitab komunal merupakan hal yang normal pada momen-momen penting dalam sejarah Israel. Pembacaan Kitab Suci di depan publik terjadi di Sinai (Kel. 19:7), pada masa reformasi Yosia (2Raj. 23:1–2), dan bagi semua orang yang kembali ke Yehuda pada zaman Ezra (Neh. 8), di antara contoh-contoh lainnya. Dan praktik membaca Taurat dan Kitab Para Nabi di sinagoga setiap Sabat (Luk. 4:16–17; Kis. 13:14–15) muncul sekitar abad ketiga sebelum Yesus.

Semua pembacaan Alkitab secara publik ini mencakup penjelasan dan respons komunal. Seperti yang dikemukakan Brian Wright dalam bukunya Communal Reading in the Time of Jesus, pembacaan literatur di depan publik yang meluas di seluruh kekaisaran Romawi juga mencakup orang Kristen dan teks-teks suci mereka. Bagi gereja mula-mula, hal itu bukan hanya mendengarkan bersama-sama, melainkan juga bertanya dan bernalar bersama tentang apa yang mereka dengar.

Jadi ketika Justin Martyr (tahun 155 M) melaporkan bahwa orang Kristen mula-mula berkumpul pada hari Minggu untuk membaca Kitab Suci “selama waktu memungkinkan,” kita harus membayangkan bahwa pembacaan bersama tersebut tidak hanya berakhir dengan sebuah amin serempak. Komunitas Kristen Yahudi dan non-Yahudi mula-mula ini kemungkinan bergumul dengan apa yang mereka dengar untuk memahaminya sebagai sebuah komunitas.

Keterlibatan dengan Alkitab dalam bentuk panjang ini bukanlah hal baru bagi gereja. Sekte Yesus Yahudi pada abad pertama tumbuh dengan pembacaan Taurat dan Haftarah (Kitab Nabi-nabi) mingguan yang panjang diiringi dengan nyanyian Mazmur. Dari leksionari abad pertengahan gereja Katolik Roma, yang juga digunakan oleh Reformis Protestan, hingga rencana pembacaan seluruh Alkitab tahunan lengkap milik Robert Murray M’Cheyne di abad ke-19, pemaparan yang luas dan teratur terhadap Kitab Suci merupakan salah satu komponen penting dari literasi Alkitab yang menyebar luas dan merupakan dasar di sepanjang sejarah gereja.

Seseorang dapat membayangkan betapa anehnya praktik renungan harian kita, bukan hanya bagi orang Israel kuno, tetapi juga bagi komunitas-komunitas Kristen dan Yahudi kuno. Apa yang akan mereka pikirkan tentang seorang pengikut yang saleh membaca beberapa kalimat Kitab Suci sendirian setiap hari lalu meminta Allah untuk menyatakan sesuatu bagi saya dan untuk hari ini? Ritual ini bahkan tampak semakin janggal ketika si pembaca tidak memiliki pemahaman holistik tentang narasi, tema, teologi, dan hal-hal lain dalam Alkitab.

Jika banyak orang Injli Amerika tidak dapat membayangkan kehidupan rohani yang berkembang tanpa pembacaan Alkitab bergaya devosi harian ini, maka mereka mungkin tidak dapat membayangkan kehidupan rohani sebagian besar orang Yahudi dan Kristen sepanjang sejarah—dan banyak komunitas Kristen di dunia saat ini—yang tidak memiliki akses mudah ke Alkitab pribadi. Kita mesti memikirkan kembali cara pandang kita terhadap saat teduh dan cara kita membaca Alkitab, serta membiasakan diri kembali dengan perilaku-perilaku hakiki yang senantiasa menjadi ciri umat Allah.

Kita mungkin perlu menggeser pusat gravitasi saat teduh dari praktik-praktik soliter menuju praktik-praktik komunal.

Mungkin kita perlu mengikuti teladan yang ditetapkan oleh gereja mula-mula yang dijelaskan oleh Justin Martyr, yaitu membaca Alkitab bersama-sama secara mendalam dan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan sulit yang muncul, alih-alih hanya mendengarkan secara pasif atau bergantung tanpa sikap kritis pada tafsiran teologis. Kita dapat menyambut perbedaan pendapat dengan penuh kasih dan kerendahan hati demi pemahaman bersama yang lebih baik. Kita perlu melatih diri untuk membiarkan ketidaknyamanan dan kebingungan kita terhadap teks kuno ini muncul ke permukaan, sehingga kita dapat melampaui jawaban cepat dan mudah yang sering kali menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan terbesar kita.

Dan justru pertanyaan-pertanyaan serta kebutuhan yang dirasakan inilah yang menuntun kita untuk lebih memahami kesinambungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, karakter Allah yang konsisten, dan relevansi Kitab Suci bagi setiap bidang kehidupan, dan bukan semata-mata “untuk berbicara dalam hidup saya hari ini.”

Jika ritual keterlibatan dengan Alkitab yang umum saat ini tidak berhasil, maka kita harus mengubahnya dengan praktik pembelajaran yang mendalam. Kebiasaan baru ini dapat berupa mendengarkan bersama, menggali secara mendalam, membaca ulang seluruh kitab dalam Alkitab berulang kali, atau strategi lain. Akan tetapi anggapan bahwa hanya dengan saat teduh harian saja akan menghasilkan literasi dan kefasihan dalam Kitab Suci tampaknya tidak lagi dapat dipertahankan, karena memang tidak pernah demikian.

Tujuannya bukanlah untuk menghilangkan saat teduh. Kita telah diberi akses mudah ke seluruh pengajaran Allah, dan saat-saat doa serta refleksi pribadi adalah bagian dari kehidupan seorang Kristen yang utuh. Kita mungkin perlu menggeser pusat gravitasi saat teduh dari praktik-praktik soliter menuju praktik-praktik komunal

Kita berharap melihat keluarga-keluarga dan gereja-gereja Kristen menciptakan kembali budaya keterlibatan dengan Alkitab secara komunal yang giat, yang akan menyebabkan saat-saat teduh meluap menjadi praktik-praktik yang menghasilkan komunitas yang adil dan damai.

Dru Johnson adalah profesor studi biblika dan teologi di The King’s College, New York City. Dia dan Celina Durgin memimpin dan menyunting The Biblical Mind, yang diterbitkan oleh Center for Hebraic Thought.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Apakah Sudah Saatnya Menghentikan ‘Saat Teduh’?

Keterlibatan alkitabiah yang efektif haruslah lebih dari sekadar pengalaman pribadi seseorang dengan Kitab Suci.

Public Theology Project

Berhati-hatilah dengan yang Anda Pura-purakan

Anda dapat memalsukan cara Anda untuk kejahatan, tetapi tidak untuk kebaikan.

Ketika Jemaat Menyimpan Derita

Cara berkhotbah dan memimpin di kala jemaat Anda mengalami trauma.

Bagaimana Kabar Saya? Buruk!

Gereja bukanlah tempat untuk senyum yang dipaksakan dan kata-kata penghiburan yang dibuat-buat.

Perdukunan di Indonesia

Bolehkah orang Kristen mempraktikkan ‘ilmu putih’ untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan?

News

Wafat: James Dobson, yang Mengajarkan Kaum Injili untuk Berfokus pada Keluarga

Psikolog anak ini menjawab ratusan ribu pertanyaan tentang pengasuhan anak dan mendesak umat Kristen untuk berjuang dalam “perang nilai-nilai” Amerika.

Tuhan Cemburu, tetapi Tidak Pernah Iri Hati

Kita sering memperlakukan dua kata ini sebagai sinonim. Dalam Kitab Suci, keduanya hampir bertolak belakang.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube