News

Sekelompok Massa Muslim Menyerang Retret Remaja Kristen

Sejumlah insiden terkini telah memicu perdebatan tentang di mana umat Kristen Indonesia dapat beribadah.

Pemandangan sebuah desa dekat Sukabumi tempat terjadinya penyerangan terhadap vila tempat retret remaja Kristen.

Christianity Today August 11, 2025
Anadolu / Contributor / Getty

Pada akhir Juni, 36 pelajar Kristen berkumpul di sebuah vila putih yang luas di Sukabumi di Jawa Barat, Indonesia, untuk mengikuti retret yang diselenggarakan oleh Gerakan Pemuda Kristen Indonesia. Mulai dari usia Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas, mereka menyanyikan lagu-lagu penyembahan, mendengarkan khotbah, dan bermain bersama.

Tiba-tiba, pada sore hari tanggal 27 Juni, sekitar 200 orang muslim berbondong-bondong mendatangi rumah tersebut sambil berteriak, “Hancurkan rumah itu!” menurut cuplikan video yang diunggah di media sosial. Dengan alasan bahwa kelompok pelajar tersebut secara tidak sah menggunakan kediaman pribadi sebagai tempat ibadah keagamaan, mereka menyerbu tempat itu dan memaksa para pengajar dan anak-anak keluar dari rumah. Massa merusak gerbang utama rumah, jendela-jendela, gazebo, taman, dan toilet, menurut laporan media. Mereka juga melemparkan sebuah sepeda motor ke sungai terdekat.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Rita Muljartono, salah satu pemimpin retret tersebut, mencatat bahwa ketika massa tiba, “kami semua terkejut, dan kami berusaha untuk tenang serta menenangkan anak-anak, dan kami keluar ruangan untuk masuk ke mobil.” Dia mengenang dalam sebuah video yang diunggahnya di Instagram, “Dan kejadiannya begitu cepat sehingga anak-anak tidak bisa mengambil pakaian, tas, atau perlengkapan mereka. Kami hanya menggiring mereka ke dalam mobil.”

Saat mereka mengungsi dari lokasi kejadian, Muljartono melihat semua mobil mereka telah dirusak akibat massa yang melempari batu dan memecahkan kaca-kacanya.

“Peristiwa ini sangat traumatis bagi kami, terutama bagi anak-anak, karena mereka mengalaminya secara langsung,” ujarnya dalam video tersebut. Dia menambahkan bahwa bahkan setelah anak-anak kembali ke rumah masing-masing, mereka mengalami kesulitan tidur dan takut terhadap suara keras.

Setelah adik pemilik rumah mengajukan laporan tentang tindakan perusakan tersebut, polisi menahan delapan orang yang terlibat dalam perusakan vila tersebut.

Kelompok Kristen dan organisasi hak asasi manusia mengecam penyerangan tersebut, dengan menyatakan bahwa hukum Indonesia tidak melarang umat Kristen beribadah di luar properti gereja. Indonesia memiliki populasi muslim terbesar di antara negara mana pun di dunia, tetapi pemerintahannya sekuler dan berdasarkan pada prinsip-prinsip Pancasila: Sebuah falsafah politik monoteisme (Ketuhanan Yang Maha Esa), kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan nasional, demokrasi permusyawaratan, dan keadilan sosial.

Meski demikian, serangan terhadap gereja dan kelompok Kristen semakin meningkat di Indonesia seiring dengan munculnya pertanyaan dari pejabat pemerintah mengenai perlunya mengatur bangunan non-gereja yang digunakan sebagai “rumah doa,” atau tempat bagi umat Kristen untuk berdoa, memuji, dan beribadah. (Rumah yang digunakan untuk retret tersebut dianggap sebagai rumah doa.)

“Ibadah seperti ini seharusnya tidak dibatasi, karena itu adalah hak yang melekat bagi setiap individu beragama, sebuah hak asasi manusia,” kata Darwin Darmawan, Sekretaris Jenderal Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). “Dan menurut saya, selama tidak mengganggu [orang-orang di sekitarnya], tetangga atau masyarakat tidak boleh melarangnya.”

Kepala Desa Tangkil, Ijang Sehabudinmengatakan, penyerangan di Sukabumi bermula dari informasi yang beredar di kalangan warga pada pagi hari terjadinya penyerangan. Sebuah video menyebutkan bahwa sekelompok anak remaja yang sedang menginap di rumah milik Maria Veronica Ninna sedang menyanyikan lagu-lagu penyembahan Kristen. Ijang mengatakan, ia dan sejumlah tokoh masyarakat lainnya mendatangi rumah tersebut dan meminta panitia retret menghentikan pertemuan, namun permintaan tersebut diabaikan. Saat mereka kembali ke kantor untuk menulis surat permohonan resmi, massa sudah mulai bergerak menuju rumah tersebut. “Mereka merasa hak lingkungan mereka diganggu karena rumah ini secara hukum hanya tempat tinggal, bukan tempat ibadah,” kata Ijang kepada sebuah media lokal. Ia juga mengatakan bahwa ini bukan kali pertama umat Kristen beribadah di rumah tersebut.

Dalam sebuah pertemuan setelah aksi perusakan tersebut, antara adik pemilik rumah, Yongki Dien, dan para pejabat setempat, Yongki membantah tuduhan warga lokal bahwa rumah itu adalah tempat ibadah. Ia justru mengatakan bahwa mereka menggunakannya untuk “sekadar berkumpul dan berdoa seperti biasa,” dan menambahkan bahwa ia telah mengoordinasikan pertemuan-pertemuan tersebut dengan para tetangganya. Yongki setuju untuk berhenti mengadakan kegiatan keagamaan di rumah itu. Pemerintah daerah akan memberi ganti rugi kepada keluarga sebesar $6.250 (sekitar 100 juta rupiah) atas kerusakan yang terjadi.

Beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan pelanggaran kebebasan beragama, menurut laporan dari Setara Institute. Pada tahun 2024, lembaga tersebut mencatat 402 pelanggaran—termasuk penutupan gereja, perusakan, dan serangan massa—dibandingkan dengan 329 pelanggaran pada tahun sebelumnya. Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah pelanggaran tertinggi pada tahun 2024 yakni sebanyak 38 pelanggaran. Hal ini dikarenakan kelompok-kelompok sayap kanan Islam mempunyai pengaruh yang kuat dalam politik lokal.

Mendapatkan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) untuk membangun gedung gereja saja di Indonesia sangatlah sulit, karena Undang-undang tahun 2006 mengharuskan gereja mendapatkan tanda tangan persetujuan dari 60 orang Kristen dan 90 warga dari agama lain. Sejak saat itu hingga tahun 2015, lebih dari 1.000 gereja ditutup.

Pada akhir Juli, sekelompok pria muslim mengganggu sebuah pertemuan umat Kristen dan merusak fasilitas rumah doa milik jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia Anugerah Padang di Sumatera Barat. Para penyerang melemparkan benda-benda, melukai dua anak yang sedang menghadiri ibadah. Awal bulan itu, ratusan umat muslim di Jawa Barat memprotes pembangunan gedung gereja, dengan mengklaim para pemimpin gereja gagal berkomunikasi secara memadai dengan masyarakat tentang rencana pembangunan tersebut. Di Sulawesi Selatan, pejabat setempat menolak memberikan izin mendirikan bangunan untuk sebuah gereja Katolik setelah warga desa menentangnya. Gereja tersebut telah menunggu selama 45 tahun untuk mendapatkan izin.

PGI, yang mewakili 104 gereja di negara ini, mendesak gereja-gereja untuk terus beribadah dan tidak membalas dendam terhadap aksi-aksi perusakan baru-baru ini. Darmawan, Sekjen PGI, mengatakan bahwa gereja mana pun yang beribadah di bangunan yang secara hukum belum terdaftar sebagai gereja sebaiknya tetap berupaya untuk mengurus izin yang diperlukan. Namun ia juga mendesak pemerintah untuk memfasilitasi dan mempercepat proses pengurusan izin bagi gereja.

Ia juga mengimbau jemaat untuk “membangun hubungan baik dengan masyarakat sekitar agar mereka menyadari bahwa keberadaan gereja bukanlah ancaman terhadap keyakinan mereka.”

Anis Hidayah, ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, menyesalkan serangan terhadap orang-orang Kristen di Sukabumi.

“Hal ini justru mencederai hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang merupakan hak dasar yang tidak hanya diatur dalam Undang-undang hak asasi manusia, tetapi juga dalam konstitusi dan konvensi internasional tentang hak sipil dan politik,” ujar Hidayah.

Persoalan seputar izin kegiatan-kegiatan keagamaan bukan menjadi alasan bagi warga untuk menyerang warga lain, tambahnya. Ia juga mendorong berbagai komunitas agama untuk terlibat dalam dialog dan memahami berbagai gaya ibadah yang berbeda-beda dalam agama lain. Bagi umat muslim, ibadah bersama dilakukan di masjid, yang mungkin membuat mereka lebih sulit memahami mengapa umat kristiani berkumpul di luar gereja.

Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Indonesia, Muhammad Adib Abdushomad, berpendapat bahwa karena semakin banyak umat Kristen yang menggunakan bangunan non-gereja sebagai rumah doa, pemerintah perlu mengaturnya guna mencegah ketegangan di masyarakat.

Meskipun rumah doa adalah “sebuah ekspresi keagamaan yang dijamin oleh konstitusi,” namun fungsi mereka sebagai tempat ibadah “memiliki dampak pada ruang publik,” kata Abdushomad dalam sebuah pernyataan. “Maka memang harus ada kearifan dalam pelaksanaannya dan memang jenis rumah doa ini belum memiliki prosedur formal yang bisa dijadikan acuan.”

Namun, umat Kristen menganggap persyaratan izin untuk rumah doa sebagai sesuatu yang berlebihan.

“Konteks di Indonesia: Kita punya peraturan yang menyebutkan kalau mau membangun tempat ibadah, harus ada izin dengan banyak persyaratan,” kata Irma Simanjuntak, jemaat gereja Batak di Pematangsiantar, Sumatera Utara. “Namun kini, komunitas radikal juga melarang kegiatan ibadah di rumah retret dan di rumah kami.”

Rio Boelan, anggota Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat di Bali, mencatat bahwa meskipun penting untuk memberi tahu pejabat setempat jika mereka mengadakan retret, “ibadah tidak memerlukan izin karena itu adalah hak asasi manusia.”

Sementara itu, Muljartono, pengajar di retret Sukabumi, setuju.

“Sebagai orang Kristen, kita tetap harus beribadah,” ujarnya dalam video tersebut. “Itu bisa dlakukan di mana saja, baik di rumah atau pun di gereja.”

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Ketika Jemaat Menyimpan Derita

Cara berkhotbah dan memimpin di kala jemaat Anda mengalami trauma.

Bagaimana Kabar Saya? Buruk!

Gereja bukanlah tempat untuk senyum yang dipaksakan dan kata-kata penghiburan yang dibuat-buat.

Perdukunan di Indonesia

Bolehkah orang Kristen mempraktikkan ‘ilmu putih’ untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan?

News

Wafat: James Dobson, yang Mengajarkan Kaum Injili untuk Berfokus pada Keluarga

Psikolog anak ini menjawab ratusan ribu pertanyaan tentang pengasuhan anak dan mendesak umat Kristen untuk berjuang dalam “perang nilai-nilai” Amerika.

Tuhan Cemburu, tetapi Tidak Pernah Iri Hati

Kita sering memperlakukan dua kata ini sebagai sinonim. Dalam Kitab Suci, keduanya hampir bertolak belakang.

Public Theology Project

Gereja Itu Rapuh—Namun Tak Tergoyahkan

Kita mungkin sedih melihat keadaan gereja, tetapi kita tetap bisa mengasihi dan memperjuangkannya.

Mengapa Kita Sangat Ingin Mengukur Kecerdasan?

Kemampuan manusia untuk bernalar tidak sama dengan AI dalam mengumpulkan informasi.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube