Theology

Gereja Itu Rapuh—Namun Tak Tergoyahkan

Kita mungkin sedih melihat keadaan gereja, tetapi kita tetap bisa mengasihi dan memperjuangkannya.

A stained-glass butterfly breaks out of a stained glass window.
Christianity Today August 20, 2025
Illustration by James Walton

Makam Yesus berantakan. Lebih tepatnya, Gereja Makam Kudus di Yerusalem—yang diyakini sebagai tempat di mana Yesus sempat dimakamkan selama tiga hari—kini dalam keadaan berantakan.

“Para biarawan Kristen yang saling bertikai membuat pemeliharaan bangunan suci ini menjadi mustahil,” tulis penulis dan mantan imam Katolik, James Carroll. Akibatnya, balok atap membusuk, dinding runtuh, dan talang air yang bocor membuat air hujan mengalir ke dalam gereja, bukan ke luar.

Carroll mencatat bahwa mengubah situs suci ini menjadi bangunan mewah, yang awalnya diperintahkan oleh Kaisar Konstantin dan didesain menyerupai istana kekaisaran, adalah bagian dari degradasi situs tersebut, bukan melestarikannya. Dan, menurut pemikiran Carroll, kerusakan bangunan lama itu tetap tidak tak terhindarkan, sekalipun jika tempat itu benar-benar tempat di mana Yesus dibangkitkan dari kematian.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Carroll melanjutkan, “Meskipun inkarnasi Yesus Kristus berarti Dia memilih untuk tinggal di belukar penuh kerusakan ini, bukan berarti basilika kuno itu pada akhirnya akan terhindar dari keruntuhan total.”

Ia benar, sampai titik tertentu. Janji Yesus untuk membangun gereja-Nya di atas batu karang di mana “alam maut tidak akan menguasainya” (Mat. 16:18) bukanlah janji bahwa jemaat tertentu—apalagi bangunan tertentu—akan bertahan. Bahkan, poin ini diperkuat oleh ayat itu sendiri, yang telah memecah-belah gereja terkait apakah “batu karang” yang dimaksud merujuk pada jabatan kerasulan Petrus yang berkelanjutan atau tidak.

Dari apa yang dikomunikasikan Yesus dalam pewahyuan-Nya kepada Yohanes di pulau Patmos, kita tahu bahwa gereja-gereja lebih rapuh daripada yang kita kira. Sebuah gereja dapat kehilangan kaki diannya. Sebuah gereja bisa mati. Sebuah gereja dapat mendengar ketukan di pintu, tetapi menolak untuk mendengar. Kita perlu menyadari hal ini, kata Yesus, jika kita ingin “kuatkanlah apa yang masih tinggal yang sudah hampir mati” (Why. 3:2). Namun bukan itu saja yang Yesus katakan kepada kita.

Banyak di antara kita—yang menyaksikan semua kemunduran dan kemerosotan, pertikaian internal dan kedagingan di gereja Injili mana pun saat ini—sangat menyadari betapa rapuhnya institusi dan gerakan yang kita cintai ini. Menghadapi hal itu, mungkin kita perlu diingatkan bahwa gereja juga lebih kuat dari yang kita duga. Dan itu membawa saya kembali ke kitab Wahyu.

Banyak orang Kristen—terutama kaum Injili yang tumbuh dengan bagan nubuatan yang aneh dan spekulatif serta teori akhir zaman—cenderung menyukai beberapa pasal pertama dan terakhir kitab Wahyu, tetapi merasa pasal-pasal di antaranya membingungkan.

Misalnya, Yohanes dalam penglihatannya diperintahkan, “Bangunlah dan ukurlah Bait Suci Allah dan mezbah dan mereka yang beribadah di dalamnya. Tetapi kecualikan pelataran Bait Suci yang di sebelah luar, janganlah engkau mengukurnya, karena ia telah diberikan kepada bangsa-bangsa lain dan mereka akan menginjak-injak Kota Suci empat puluh dua bulan lamanya” (11:1–2).

Ayat-ayat yang samar seperti ini, atau ayat lain yang merujuk pada “satu masa dan dua masa dan setengah masa” (12:14), dapat terdengar seperti pesan tersirat yang ditujukan kepada orang lain, mungkin orang-orang Kristen yang telah lama meninggal yang hidup di masa pemerintahan kaisar yang memusuhi orang Kristen atau orang-orang Kristen masa depan yang berada di ambang penghakiman terakhir. Namun kitab Wahyu secara khusus mengatakan bahwa kitab ini ditulis untuk para pembaca—untuk setiap kita—terlepas dari di mana kita berada dalam ruang dan waktu (1:3).

Ingatlah bahwa Yesus memberi tahu kita bahwa Bait Suci adalah tubuh-Nya. Bait Suci akan dirobohkan, dan Dia akan membangunnya kembali dalam tiga hari (Yoh. 2:19). Bait Suci juga merupakan tempat kediaman Allah, dan Perjanjian Baru mengidentifikasi tempat itu sebagai gereja, batu hidup yang membentuk rumah Allah, yang dibangun di atas batu penjuru, yaitu Kristus sendiri (Ef. 2:20; 1Ptr. 2:5).

Lalu, mengapa Yohanes diperintahkan untuk tidak mengukur pelataran luar yang digambarkan di hadapannya dalam penglihatan itu? Pelataran luar itu, kata Yesus kepada Yohanes, memang akan diserang dan dikepung. Namun hanya batas luarnya saja. Apa yang tampak hancur dan rusak tidak memengaruhi Ruang Mahakudus di dalamnya, mezbah di mana dosa-dosa diampuni, yang melaluinya kita menemukan kedamaian bersama Allah.

Bencana di pelataran luar berlangsung selama tiga setengah tahun—jumlah sempurna tujuh tahun dibagi dua. Dengan kata lain, kekacauan itu nyata, tetapi bukan sesuatu yang tidak terduga dan tidak akan berlangsung selamanya. Tembok luar yang dapat kita lihat di hadapan kita, pada kenyataannya, belum ditaklukkan. Allah telah menyerahkannya kepada bangsa-bangsa lain, tetapi hanya untuk sementara waktu saja.

Gereja terkadang membuat kita berduka, tetapi tidak seperti mereka yang tidak memiliki pengharapan. Empat puluh dua bulan terasa seperti selamanya, tetapi kenyataannya tidak. Itulah sebabnya kita masih bisa mengasihi gereja.

Kita dapat bekerja untuk mencegah gereja dikuasai oleh para pemasar, politisi atau penjahat—membiarkan hal itu terjadi berarti bergabung dengan bangsa-bangsa yang menginjak-injak di pelataran luar. Dan kita dapat melakukan pekerjaan kasih itu tanpa putus asa karena mezbah tetap ada. Bait Suci itu tetap ada. Gereja layak dikasihi dan diperjuangkan.

Ketika putra J.R.R. Tolkien, Michael, hampir kehilangan imannya karena kekonyolan dan kejahatan yang dia saksikan dalam gereja, Tolkien menulis surat kepada putranya bahwa, baginya pun, “Gereja yang dulu terasa seperti tempat berlindung, kini sering terasa seperti jebakan.” Namun Tolkien bertanya-tanya apakah “perasaan putus asa ini, keadaan terakhir dari kesetiaan yang masih bertahan,” sebenarnya adalah sebuah berkat?

Hal ini, tulis Tolkien, memberi kita kesempatan “untuk mengasah kebajikan dari kesetiaan, yang sesungguhnya hanya menjadi kebajikan ketika seseorang berada di bawah tekanan untuk meninggalkannya.” Sang ayah menasihati putranya untuk pergi ke gereja—bersama orang-orang yang mengganggu Anda, dengan organisasi yang mungkin dapat membuat Anda jengkel.

Gereja Makam Kudus bukanlah seperti yang kita harapkan—mulai dari kerusakan struktural hingga suvenir murahan yang dapat dibeli di luar pintunya. Seiring waktu, bangunan itu akan runtuh. Mungkin suatu hari, gereja itu akan terlupakan sama sekali.

Apa bedanya? Tidaklah bijaksana untuk berspekulasi tentang seperti apa pengalaman kita setelah penyelesaian segala sesuatu di bawah kekuasaan Kristus. Namun mungkin, ya mungkin saja, di Kerajaan Allah yang akan datang, salah satu dari kita mungkin ingin mengunjungi bekas makam Tuhan kita. Kita mungkin bertanya, “Di mana letak Gereja Makam Kudus di peta yang sudah berubah?”

Dan mungkin Yesus akan berkata kepada kita, “Mengapa mencari yang hidup di antara orang mati? Aku ada di sini, dan Aku selalu ada di sini selama ini.”

Struktur itu rapuh. Namun Kristus yang bangkit—dan gereja-Nya—tidaklah demikian.

Russell Moore adalah pemimpin redaksi di CT.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Alkitab Lebih dari Sekadar Buku yang Harus Diketahui

Alkitab adalah kisah yang harus dihidupi dan para rohaniwan harus memimpin jalannya.

Menggembalakan dengan Senyuman Palsu

Saya sering menyembunyikan pergumulan saya dari gereja karena saya takut orang-orang akan memanfaatkannya untuk menyerang saya.

Apakah Sudah Saatnya Menghentikan ‘Saat Teduh’?

Keterlibatan alkitabiah yang efektif haruslah lebih dari sekadar pengalaman pribadi seseorang dengan Kitab Suci.

Public Theology Project

Berhati-hatilah dengan yang Anda Pura-purakan

Anda dapat memalsukan cara Anda untuk kejahatan, tetapi tidak untuk kebaikan.

Ketika Jemaat Menyimpan Derita

Cara berkhotbah dan memimpin di kala jemaat Anda mengalami trauma.

Bagaimana Kabar Saya? Buruk!

Gereja bukanlah tempat untuk senyum yang dipaksakan dan kata-kata penghiburan yang dibuat-buat.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube