Church Life

Perdukunan di Indonesia

Bolehkah orang Kristen mempraktikkan ‘ilmu putih’ untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan?

People sitting in smoke with a shaman praying
Christianity Today August 25, 2025
Illustration by Christianity Today / Source Images: Getty

Ketika saya berusia 14 tahun, seorang teman Kristen memperkenalkan saya pada “ilmu putih,” sebuah kekuatan mistis yang konon berasal dari Tuhan, yang berbeda dengan “ilmu hitam” yang dari setan. Saya menghafal mantra, berpuasa, bermeditasi, dan melakukan ritual-ritual khusus. Setelah menguasai cukup banyak ilmu ini untuk menjadi seorang “dukun ilmu putih,” saya menggunakan kekuatan yang saya rasa telah saya peroleh untuk menyembuhkan orang sakit, mengusir setan, dan melindungi orang dari serangan ilmu hitam, yang terjadi melalui guna-guna atau jimat yang dipakai untuk menyakiti orang lain.

Namun, semakin dalam saya menyelami ilmu putih, semakin gelap hati, pikiran, dan emosi saya. Saya tetap datang ke gereja, tetapi saya tidak merasakan kedamaian. Pikiran saya tidak memahami Alkitab, dan emosi saya tidak terkendali, meskipun saya mampu melakukan hal-hal baik yang menolong orang lain.

Di tengah kebingungan ini, saya membaca 2 Korintus 11:13–14 dan menyadari bahwa ilmu putih yang selama ini saya pelajari adalah tipu daya Iblis, yang menyamar sebagai malaikat terang. Setelah hampir tiga tahun saya menjadi dukun ilmu putih, saya bertobat dan mengalami kelahiran baru. Sejak saat itu, pemahaman saya tentang Firman Tuhan semakin bertumbuh.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Praktik perdukunan adalah hal yang cukup umum di Indonesia, dan pengaruhnya mengakar kuat dalam budaya bangsa ini. Para dukun tampak memiliki kekuatan supernatural untuk menjaga atau mengacaukan harmoni alam. Jika mereka berdoa dan melakukan ritual untuk menyembuhkan orang sakit, mengusir roh jahat, mendukung bisnis, atau memelihara harmoni kehidupan, orang-orang percaya bahwa kekuatan mereka berasal dari dewa/dewi atau roh yang baik. Individu-individu ini sering disebut sebagai dukun ilmu putih. Tokoh-tokoh agama, termasuk pendeta, sering digambarkan demikian.

Sebaliknya, apabila ada orang-orang tertentu yang mengganggu harmoni kehidupan melalui ritualnya dengan menimbulkan penyakit, kerugian ekonomi, dan penderitaan bagi orang lain, maka orang-orang percaya bahwa kekuatan mereka berasal dari roh jahat dan mereka dikategorikan sebagai dukun ilmu hitam. Mereka dapat dengan mudah menjadi sasaran kemarahan dan kebencian massa. Dari tahun 1998 hingga 1999, sekelompok orang yang main hakim sendiri membunuh lebih dari 250 orang yang diduga dukun ilmu hitam di Jawa Timur.

Karena ingatan traumatis dari pembunuhan tahun 1998, kata dalam bahasa Jawa untuk praktisi ilmu gaib, yaitu dukun, jadi mengandung konotasi negatif. Mereka yang melakukan praktik ilmu gaib lebih suka disebut “paranormal” atau kyai dalam bahasa Jawa.

Peristiwa-peristiwa terkini mengungkap bahwa para dukun masih memiliki pengaruh besar dalam masyarakat Indonesia.

Pada Maret 2022, seorang pawang (dukun) hujan melakukan ritual di sebuah sirkuit di pulau Lombok untuk menghentikan hujan lebat sehingga balapan motor internasional dapat berlangsung lancar. Meskipun sebagian orang menentang aksinya, banyak pula yang mendukung, terutama karena hujan memang berhenti. April lalu, pihak berwenang menangkap seorang dukun desa di Jawa Tengah karena membunuh sedikitnya 12 orang yang telah ditipunya dalam skema penggandaan uang.

Secara umum, umat Kristen di Indonesia menolak praktik-praktik perdukunan. Ulangan 18:10–12 dengan tegas menyatakan bahwa ritual-ritual perdukunan adalah “kekejian bagi Tuhan.” Kisah kegagalan Saul dalam 1 Tawarikh 10:13–14 juga menjadi peringatan keras bagi umat Tuhan bahwa meminta petujuk dari arwah, yang merupakan salah satu bentuk perdukunan, dapat mendatangkan penghakiman yang berat dari Allah.

Beberapa gereja, khususnya yang berakar kuat pada budaya tradisional, mencoba mengontekstualisasikan Injil dengan mengadaptasi ritual-ritual yang biasa dilakukan oleh dukun ilmu putih. Misalnya, Gereja Kristen Jawa mengganti upacara-upacara yang secara tradisional dipimpin oleh dukun ilmu putih—seperti midodareni (upacara pra-pernikahan), mitoni (perayaan kehamilan tujuh bulan), dan nyewu dina (upacara seribu hari setelah kematian)—dengan kebaktian syukur yang dipimpin oleh pendeta.

Bagaimanapun, pengaruh dikotomi sakral-sekuler dalam kekristenan Indonesia memupuk praktik-praktik perdukunan spiritual di dalam gereja. Dikotomi ini membuat sebagian orang menjadi percaya bahwa ada orang-orang dan benda-benda tertentu yang memiliki kekuatan supernatural, yang memungkinkan mereka bertindak sebagai perantara dengan dunia roh.

Dalam gereja, dikotomi ini membuat pendeta, salib, cawan Perjamuan Kudus, dan minyak urapan dipandang memiliki kekuatan supernatural, yang berfungsi sebagai perantara dengan Allah. Akibatnya, jemaat mungkin percaya bahwa hanya doa pendeta yang didengar oleh Tuhan dan bahwa dengan menyentuh atau mencium salib atau cawan Perjamuan Kudus atau diurapi dengan minyak, mereka akan diberkati dan disembuhkan oleh Allah.

Dikotomi sakral-sekuler ini seharusnya semakin disingkirkan. Para pemimpin gereja Injili perlu terlibat dalam pembimbingan dan pemuridan yang terarah sehingga jemaat akan semakin memahami dan menaati Firman Tuhan. Seminari juga dapat melakukan lebih banyak penelitian dan kajian tentang Injil dan budaya untuk menghasilkan teologi yang lebih kontekstual.

Kristian Kusumawardana adalah kepala program studi sarjana teologi di Sekolah Tinggi Teologi Bandung. Baca selengkapnya dalam artikel utama seri kami, Shamans, Sorcerers, and Spirits: How Christians in Asia Grapple with the Supernatural.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Alkitab Lebih dari Sekadar Buku yang Harus Diketahui

Alkitab adalah kisah yang harus dihidupi dan para rohaniwan harus memimpin jalannya.

Menggembalakan dengan Senyuman Palsu

Saya sering menyembunyikan pergumulan saya dari gereja karena saya takut orang-orang akan memanfaatkannya untuk menyerang saya.

Apakah Sudah Saatnya Menghentikan ‘Saat Teduh’?

Keterlibatan alkitabiah yang efektif haruslah lebih dari sekadar pengalaman pribadi seseorang dengan Kitab Suci.

Public Theology Project

Berhati-hatilah dengan yang Anda Pura-purakan

Anda dapat memalsukan cara Anda untuk kejahatan, tetapi tidak untuk kebaikan.

Ketika Jemaat Menyimpan Derita

Cara berkhotbah dan memimpin di kala jemaat Anda mengalami trauma.

Bagaimana Kabar Saya? Buruk!

Gereja bukanlah tempat untuk senyum yang dipaksakan dan kata-kata penghiburan yang dibuat-buat.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube