Ideas

Tuhan Cemburu, tetapi Tidak Pernah Iri Hati

Columnist; Contributor

Kita sering memperlakukan dua kata ini sebagai sinonim. Dalam Kitab Suci, keduanya hampir bertolak belakang.

A broken heart and golden calf.
Christianity Today August 20, 2025
Illustration by Elizabeth Kaye / Source Images: Getty, Wikimedia Commons

Dalam kitab Ulangan, saat Musa berbicara kepada umat Israel pada malam sebelum memasuki Tanah Perjanjian, dia berulang kali menyebutkan tentang kecemburuan Allah. Ini mungkin salah satu sifat Allah yang paling jarang dibicarakan. Dan salah satu sifat-Nya yang paling sering disalahpahami.

Dalam budaya kita, kecemburuan hampir selalu digambarkan sebagai hal buruk. “Oh, tuanku, waspadalah terhadap kecemburuan,” kata Iago kepada Othello dalam drama Shakespeare. “Itulah monster bermata hijau yang mengejek/ Daging yang dimakannya.” Atau lihatlah bagian refrain dari lagu “Mr. Brightside” oleh The Killers, dengan jeritan melawan “kecemburuan,/ Mengubah orang suci menjadi lautan, / Berenang diiringi lagu pengantar tidur yang memuakkan, / Tersedak oleh alibi-alibimu.” Banyak yang bahkan menggunakan kata itu—yang menurut saya salah,—untuk menggambarkan kebencian mendalam yang mungkin dirasakan saudara kandung yang saling bermusuhan karena berebut mainan.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Dalam konteks ini, memproklamirkan kecemburuan Allah dapat terasa seperti pengingat yang memalukan akan kepicikan agama Zaman Perunggu. Tuhan yang cemburu? Primitif sekali! Kecanggungan ini meninggalkan kesenjangan yang nyata dalam ibadah kita dan kehidupan rohani pribadi kita. Kapan terakhir kali Anda menyanyikan lagu yang memuji Allah karena kecemburuan-Nya? Kapan terakhir kali Anda mendengar khotbah tentang topik ini? Kapan terakhir kali Anda menyebutkannya dalam doa?

Namun, kecemburuan Allah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari cara Alkitab menggambarkan-Nya. Hal ini tercantum dalam Sepuluh Perintah Allah: “sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu” (Kel. 20:5). Hal ini diungkapkan sebagai bagian dari nama Tuhan: “Sebab janganlah engkau sujud menyembah kepada allah lain, karena TUHAN, yang nama-Nya Cemburuan, adalah Allah yang cemburu” (34:14). Hal ini diulang beberapa kali dalam kitab Ulangan, dan ini menjadi dasar teologi Yehezkiel, Nahum, dan Zakharia khususnya. Tidak ada cara untuk menghindarinya.

Inilah masalahnya. Dalam bahasa Inggris modern, kebanyakan orang tidak membedakan antara cemburu dan iri hati. Kedua kata tersebut terdengar identik. Namun pada kenyataannya, keduanya hampir bertolak belakang. Iri hati adalah keinginan yang kuat terhadap sesuatu yang seharusnya menjadi milik orang lain. Dalam Alkitab, iri hati diungkapkan sebagai perbuatan daging yang menabur kekacauan (Yak. 3:16), membusukkan tulang (Ams. 14:30), dan membunuh Kristus (Mat. 27:18). Sebaliknya, cemburu adalah keinginan yang kuat terhadap sesuatu yang seharusnya menjadi milik Anda. Iri hati adalah ketika Anda ingin tidur dengan suami atau istri orang lain. Cemburu adalah ketika Anda tidak ingin orang lain tidur dengan pasangan Anda.

Ketika kita memahami hal itu, kita dapat melihat mengapa seorang kekasih yang sangat setia akan merasa cemburu saat ditinggalkan oleh orang yang dicintainya. Bahkan, tidak ada respons lain yang lebih tepat dari hal ini. Jika saya tidak merasa cemburu saat ada orang lain yang berselingkuh dengan istri saya atau mengambil anak-anak saya, itu menunjukkan betapa kecilnya rasa cinta saya kepada mereka.

Hal ini akan jauh lebih tajam ketika kita mempertimbangkan segala sesuatu dari sudut pandang Tuhan. Setelah membawa orang Israel keluar dari Mesir dan membimbing mereka melewati padang gurun, bagaimana Dia bisa menyambut umat-Nya yang membuat patung-patung berhala dan menyembah dewa-dewa asing dengan apa pun juga selain cemburu yang hebat? Begitulah cara kekasih bereaksi saat dikhianati—dan semakin besar cinta, semakin besar pula rasa dikhianati dan cemburu.

Ini sangat personal bagi Musa dalam Ulangan 4. Dia telah mengalami konsekuensi dari kecemburuan Tuhan terhadap Israel: “Tetapi TUHAN menjadi murka terhadap aku oleh karena kamu, dan Ia bersumpah, bahwa aku tidak akan menyeberangi sungai Yordan….aku akan mati di negeri ini” (ay. 21–22). Namun dia tidak pahit hati. Sebaliknya, dia mendesak agar umat Israel belajar dari pengalamannya. “Hati-hatilah, supaya jangan kamu melupakan perjanjian TUHAN, Allahmu, yang telah diikat-Nya dengan kamu, dan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang oleh TUHAN, Allahmu, dilarang kauperbuat” (ay. 23), karena “TUHAN, Allahmu, adalah api yang menghanguskan, Allah yang cemburu” (ay. 24).

Untungnya, khotbah Musa tidak berhenti di situ. Memang, ayat itu segera menyebutkan kemungkinan—yang kemudian menjadi kenyataan—bahwa Israel dapat memancing kecemburuan Allah dengan terjerumus ke dalam penyembahan berhala setelah menetap di tanah itu (ay. 25) serta menghadapi kehancuran dan pembuangan sebagai akibatnya (ay. 26–27). Namun kemudian muncullah harapan. Jika, setelah semua ini terjadi, Israel kembali sadar di tengah pembuangan yang penuh penderitaan dan mencari Tuhan, maka “kamu akan mencari TUHAN, Allahmu, dan menemukan-Nya, asal engkau menanyakan Dia dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu” (ay. 29).

Ini adalah sebuah nubuat, bukan sekadar kemungkinan (ay. 30). Sebab, selain menjadi Allah yang cemburu, “TUHAN, Allahmu, adalah Allah Penyayang” (ay. 31). Kecemburuan-Nya mendatangkan penghakiman, tetapi belas kasihan-Nya mendatangkan pemulihan. Kecemburuan-Nya akan membawa umat-Nya ke pembuangan, dan belas kasihan-Nya akan membawa mereka kembali pulang. Dan pada akhirnya, api yang menghanguskan dari Allah yang cemburu dan air yang melimpah dari belas kasihan-Nya akan bertemu di kayu salib.

Andrew Wilson adalah pendeta pengajar di King’s Church London dan penulis Remaking the World: How 1776 Created the Post-Christian West.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Alkitab Lebih dari Sekadar Buku yang Harus Diketahui

Alkitab adalah kisah yang harus dihidupi dan para rohaniwan harus memimpin jalannya.

Menggembalakan dengan Senyuman Palsu

Saya sering menyembunyikan pergumulan saya dari gereja karena saya takut orang-orang akan memanfaatkannya untuk menyerang saya.

Apakah Sudah Saatnya Menghentikan ‘Saat Teduh’?

Keterlibatan alkitabiah yang efektif haruslah lebih dari sekadar pengalaman pribadi seseorang dengan Kitab Suci.

Public Theology Project

Berhati-hatilah dengan yang Anda Pura-purakan

Anda dapat memalsukan cara Anda untuk kejahatan, tetapi tidak untuk kebaikan.

Ketika Jemaat Menyimpan Derita

Cara berkhotbah dan memimpin di kala jemaat Anda mengalami trauma.

Bagaimana Kabar Saya? Buruk!

Gereja bukanlah tempat untuk senyum yang dipaksakan dan kata-kata penghiburan yang dibuat-buat.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube