Pada 19 Juni 2025, saat Iran dan Israel saling menembakkan rudal dan para pejabat secara diam-diam menyempurnakan rencana untuk mengirim pesawat pengebom Amerika untuk menyerang lokasi nuklir Iran, pendeta Ara Torosian menerbitkan sebuah surat kepada gerejanya.
Torosian, seorang pendeta Iran di Cornerstone West, Los Angeles, memimpin jemaat gereja yang berbahasa Persia. Dia datang ke Amerika Serikat sebagai pengungsi 15 tahun lalu setelah dipenjara karena imannya. Dalam hatinya, ia selalu berdoa, tulis Torosian: “agar Iran menjadi bebas.”
Kini, ledakan-ledakan bom mengguncang Teheran dan kota-kota Iran lainnya, melukai dan menewaskan anak-anak serta para lansia, dan Torosian memikul beban baru dari belahan dunia lain.
“Saat ini ada orang-orang di Iran yang dibaptis di gereja ini dan masih mendengarkan khotbah kami secara rutin. Kami jauh dari mereka,” tulis Torosian, menyerukan jemaat Cornerstone yang berbahasa Inggris dan Spanyol untuk berdiri bersama dan berdoa bagi para jemaat Persia. “Kami orang-orang percaya yang berbahasa Persia menjalani menit demi menit dengan hati yang berat. Kami bertanya: Apakah orang-orang terkasih kami aman? Apakah mereka masih hidup? Apa yang sedang terjadi pada mereka?”
Namun lima hari kemudian, kesengsaraan orang-orang yang ia kasihi tiba-tiba terasa sangat dekat.
Pada hari Selasa, pendeta itu merekam di telepon genggamnya saat para petugas imigrasi federal yang bertopeng menangkap dua anggota gerejanya di trotoar Los Angeles. Menurut Torosian, pasangan suami istri asal Iran itu memiliki kasus suaka yang masih dalam proses. Mereka melarikan diri dari Iran sebab takut dianiaya karena iman Kristen mereka dan telah menjadi bagian dari jemaatnya selama sekitar satu tahun.
Penangkapan tersebut menambah jumlah anggota gereja dan orang-orang Kristen yang sedang mencari perlindungan agama, yang telah ditahan oleh Badan Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE). Sering kali mereka tidak memiliki catatan kriminal yang jelas. Dalam banyak kasus, mereka berada di Amerika Serikat secara sah, mematuhi perintah dari pengadilan imigrasi. ICE biasanya tidak mendeportasi individu dengan permohonan suaka yang sedang dalam proses, yang diizinkan bekerja selama kasus mereka berlangsung.
Awal pekan ini, menurut Torosian, para petugas imigrasi menangkap satu keluarga Kristen Iran lainnya yang beribadah di Cornerstone. Para pemimpin gereja mengatakan kepada CT bahwa mereka mendengar laporan tentang orang-orang Iran lainnya yang ditahan dalam beberapa hari terakhir. Mereka menceritakan kisah tentang orang-orang Kristen lain yang telah dideportasi oleh pemerintah ke negara-negara seperti Panama, di mana beberapa dari mereka masih berada di sana.
Penangkapan oleh pihak imigrasi telah mengguncang komunitas gereja di seluruh negeri. Pada bulan April, Kasper Eriksen, seorang warga negara Denmark dan ayah dari empat anak di Mississippi, ditangkap pada sidang kewarganegaraan terakhirnya setelah adanya kesalahan administrasi. Hingga akhir Mei, ia masih ditahan di tempat penahanan ICE. “Kami memiliki pasukan pejuang doa yang berjuang untuk kami,” tulis istrinya, Savannah, seorang warga negara AS, dalam sebuah kampanye penggalangan dana.
Juga di bulan April, pendeta Maurilio Ambrocio ditahan saat ia hadir untuk pemeriksaan rutin dengan ICE. Dia telah tinggal di Amerika Serikat selama 20 tahun. Gereja Tampa, Florida, yang ia pimpin, berfungsi sebagai tempat pemungutan suara. ICE menjelaskan bahwa alasan penangkapan Ambrocio adalah karena dia berada di negara ini secara ilegal.
Tidak jauh dari sana dan sekitar waktu yang sama, seorang pemimpin kelompok kecil dan diaken di gereja Tampa lainnya juga ditangkap oleh ICE. Gonzalo Antonio Segura sedang keluar rumah untuk bekerja sebagai tukang pada Kamis pagi di awal April. Petugas imigrasi menemui dia di mobil dan menahannya.
Ramon Nina, pendeta Segura di Iglesia Comunidad de Fe, mengatakan kepada CT bahwa teleponnya berdering pada pukul 7 pagi saat dia berdoa. Telepon itu dari istri Segura, yang menangis panik karena para petugas menangkap suaminya, meninggalkan dia dengan kedua anak mereka. “Saya tidak bisa menghapus tangisan itu dari ingatan saya,” kata Nina dalam bahasa Spanyol. “Dia sangat dicintai, dihormati. “Sangat memiliki hati seorang hamba.”
Nina dan gerejanya menyewa seorang pengacara—pendeta lain di Florida—dan bersama-sama mereka berkendara menyusuri negara bagian itu, mencoba menemukan Segura yang dipindahkan di antara pusat-pusat penahanan, dari Clearwater hingga Miami. Tidak ada satu pun fasilitas ICE yang mengizinkan Nina melakukan kunjungan pastoral. Akhirnya Segura dipindahkan ke Texas.
“Gereja saya konservatif. Jemaatnya pun memilih partai konservatif. Namun dengan apa yang terjadi pada Antonio, mereka semua menyadari bahwa proses yang sedang dilakukan ini benar-benar terang-terangan. Ini diskriminatif,” kata Nina. Segura telah tinggal di negara ini selama dua dekade. Menurut catatan negara bagian Florida, dia pernah dihentikan sekali 17 tahun yang lalu karena mengemudi tanpa SIM, sebuah pelanggaran ringan.
“Dia tidak memiliki dokumen. Tentu saja, itu melanggar. Namun menurut saya orang seperti ini pantas mendapatkan pengampunan. Presiden Amerika Serikat baru saja mengampuni sebuah keluarga yang terbukti bersalah melakukan penggelapan pajak,” kata Nina, merujuk pada pengusaha terpidana Paul Walczak.
Pada bulan Mei dan Juni, ketika pemerintah berusaha mencapai target deportasi yang lebih tinggi, mereka mulai menahan lebih banyak imigran yang tidak memiliki catatan kriminal. Menurut data pemerintah, 65 persen dari mereka yang “ditahan” ICE di pusat penahanan bukanlah penjahat. Hanya 7 persen yang dihukum karena tindak pidana kekerasan.
Departemen Keamanan Dalam Negeri AS telah menyatakan dalam berkas pengadilan bahwa pihaknya akan memprioritaskan deportasi bahkan terhadap imigran yang dakwaannya telah dibatalkan, dan bahwa mereka telah mengakhiri perlindungan terhadap sejumlah orang Kristen yang menghadapi penganiayaan di negara asal mereka, seperti warga Afganistan.
Di Los Angeles, Torosian mengatakan bahwa pasangan suami istri Iran dari gerejanya menelepon dia untuk meminta bantuan ketika beberapa pria yang mengenakan rompi Patroli Perbatasan AS mendekati mereka tak jauh dari rumahnya. Saat ia merekam para petugas yang mengikat tangan sang suami, yang namanya tidak dipublikasikan oleh CT, pendeta tersebut mengatakan kepada para petugas itu, “Dia adalah pencari suaka.”
“Itu tidak penting,” kata salah satu petugas dalam video tersebut.
“Dia datang dengan CBP One,” jawab Torosian, merujuk pada aplikasi yang kini sudah dihentikan penggunaannya, yang sebelumnya digunakan para migran di masa pemerintahan Biden untuk mengajukan permohonan masuk secara sah ke AS.
“Itu sudah tidak berlaku lagi. Itulah sebabnya dia ditangkap,” kata petugas lainnya.
Beberapa detik kemudian, istri pria yang ditahan itu jatuh ke rumput karena serangan kepanikan, kejang-kejang dan napasnya terengah-engah. Torosian mendekat, mencoba menenangkannya. Para petugas kemudian memerintahkan Torosian menjauh atau dia sendiri akan ditangkap.
Pendeta itu bertanya apakah dia bisa pergi bersama mereka atau sekadar mengikuti mereka dari belakang. “Mereka membutuhkan saya,” katanya. Seorang petugas mengatakan bahwa pendeta itu tidak dapat pergi bersama mereka.
Torosian memberi tahu para petugas tersebut bahwa pasangan suami istri itu dianiaya di Iran dan melarikan diri karena iman mereka.
Namun para petugas itu tidak menanggapi.
“Mereka datang ke sini demi kebebasan, bukan untuk hal seperti ini,” kata Torosian kepada para petugas itu. “Saya tahu kalian sedang menjalankan tugas, tetapi kalian sangat memalukan. Pemerintah juga sangat memalukan.”
Andy Olsen adalah penulis fitur senior di Christianity Today.
Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.