Pastors

Menggembalakan di Era Dekonstruksi

Tidak semua dekonstruksi itu sama. Seorang pendeta menawarkan tiga kategori untuk membantu Anda mendengarkan lebih baik dan menggembalakan dengan baik.

CT Pastors June 28, 2025
BBuilder / Getty / edits by Christianity Today

Pertama kali saya mendengar istilah dekonstruksi ketika saya masih menjadi seorang pendeta kampus di Universitas Missouri. Saya pikir saya tahu cara menanggapi hal itu. Akan tetapi setelah puluhan percakapan dengan mahasiswa yang sedang mendekonstruksi, menjadi jelas: Saya tidak memiliki sarana untuk membantu para mahasiswa ini kembali terhubung dengan Yesus.

Sering kali, dalam berbagai percakapan, para mahasiswa akan mengemukakan keberatan yang cukup umum terhadap agama Kristen, dan saya pun punya jawaban yang cukup umum untuk pertanyaan mereka. Terkadang, saya merasa jawaban-jawaban ini tepat sasaran. Itu persis yang mereka butuhkan—jawaban yang jelas dan penuh kasih untuk menjawab keraguan mereka.

Namun bagi yang lainnya, ada sesuatu yang kurang pas. Saya memberikan jawaban yang ramah dan rasional terhadap pertanyaan mereka, tetapi itu tidak berhasil. Yang saya maksud dengan “tidak berhasil,” bukan berarti para mahasiswa itu tidak yakin, melainkan mereka hanya tidak tergerak. Mereka sering mengatakan seperti ini, “Ya, saya mengerti apa yang Anda katakan.” Namun ekspresi mereka mengatakan sesuatu yang lain: “Anda tidak mendengar isi hati di balik pertanyaan saya.”

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Saya meneruskan pola ini selama sekitar dua tahun, hingga akhirnya saya menyadari: Jawaban intelektual terhadap pertanyaan para mahasiswa saya itu penting. Sangat penting. Namun bagi banyak anak muda ini—terutama mereka yang menggunakan istilah dekonstruksi—berbagai fakta dan bukti tersebut bukanlah titik awal yang tepat. Semua itu semestinya bukan percakapan pertama yang perlu kita lakukan. Bahkan bukan pula yang kedua atau ketiga.

Seiring waktu, saya mulai memikirkan para mahasiswa saya yang sedang mendekonstruksi dalam tiga kategori umum, atau kelompok, sebelum saya mulai menjawab keraguan, keprihatinan, atau kemarahan mereka terhadap gereja. Di sana ada mahasiswa yang mendekonstruksi, kemudian di sini ada pula mahasiswa yang mendekonstruksi. Mereka semua mungkin menggunakan istilah yang sama, tetapi kaum muda ini berasal dari tempat-tempat yang sangat berbeda.

Jadi percakapan pertama yang saya pelajari untuk dilakukan dengan para mahasiswa adalah ini: “Apa yang Anda maksud dengan dekonstruksi?” Terkadang saya bahkan menjabarkannya dalam tiga kategori. Dalam hampir semua kasus, para mahasiswa merasa kategori-kategori ini sangat membantu. Sebagai seorang pendeta, pengategorian tersebut memberi saya pemaknaan yang lebih jelas tentang cara berjalan bersama mereka dengan bijaksana dan baik.

Saat Anda berinteraksi dengan orang muda (atau yang lebih tua!) yang sedang mendekonstruksi iman mereka, saya berharap dan berdoa kategori-kategori berikut ini dapat bermanfaat bagi percakapan penggembalaan Anda:

Kategori 1: Orang yang Ragu. Mereka adalah orang-orang yang sangat ingin mendengar jawaban apologetika kita. Mereka tidak merasa marah terhadap gereja atau tersakiti secara pribadi. Mereka sangat termotivasi untuk percaya. Namun, ada retakan di permukaan. Mereka masih memiliki keraguan yang tersisa—ketakutan yang tak terucapkan dan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu tentang iman dan diri mereka sendiri.

Kadang-kadang mereka dijauhi atau diperlakukan seperti orang murtad, hanya karena keingintahuan intelektual mereka tentang agama Kristen. Mereka diberitahu bahwa “orang Kristen sejati” tidak mempertanyakan. Jadi mereka belajar untuk tetap diam atau berasumsi bahwa mereka berada di ambang batas untuk meninggalkan iman.

Menggembalakan orang-orang ini berarti mengejutkan mereka dengan jawaban yang penuh kasih dan perhatian terhadap keraguan mereka. Ini berarti kita mengundang mereka untuk secara bebas mengekspresikan keprihatinan mereka. Ini berarti menunjukkan kepada mereka bahwa Yesus tidak cemas dengan pertanyaan-pertanyaan mereka yang sulit dan bahwa pertanyaan-pertanyaan sulit sering kali merupakan undangan menuju iman yang lebih dalam.

Terkadang—tidak sering—para peragu itu mungkin menggambarkan pertanyaan mereka sebagai “dekonstruksi.” Itu mungkin karena mereka telah melihat orang-orang di daring yang dengan terbuka mendekonstruksi iman mereka, mengekspresikan keprihatinan atau keraguan serupa sebagai alasan untuk meninggalkan iman sepenuhnya. Mungkin juga karena mereka belum pernah menjadi bagian dari gereja yang sehat di mana keraguan diekspresikan dan ditangani dengan bijaksana. Jadi, alih-alih memahami pertanyaan mereka sebagai hal yang normal dan keraguan mereka sebagai bagian dari pertumbuhan, mereka takut bahwa mereka sedang menyimpang.

Inilah sebabnya saya sering menganjurkan para mahasiswa itu untuk menggunakan kata yang berbeda—keraguan. Seperti yang akan kita lihat berikut ini, perbedaan itu sangat penting.

Kategori 2: Orang yang Kecewa. Orang-orang yang kecewa juga sering kali memiliki berbagai macam keraguan, tetapi pergumulan mereka bukanlah pergumulan intelektual—melainkan pergumulan emosional dan kultural. Mereka kecewa. Bingung. Putus asa. Terutama jika menyangkut proyek kaum Injili Amerika.

Saya percaya—dan statistik mendukung hal ini—bahwa kelompok ini mewakili sebagian besar orang yang telah meninggalkan gereja. Dua dekade lalu, ketika saya meninggalkan gereja, saya ada dalam kategori ini. Saya pernah menerima jawaban yang baik dan mendalam atas pertanyaan-pertanyaan saya. Bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah ketidaksesuaian yang saya lihat antara ajaran Yesus, sejarah gereja, dan gerakan kaum Injili Amerika.

Bukan karena kaum Injili Amerika adalah pendosa atau bahkan bukan pula karena banyak pemimpin terkemuka telah jatuh. Yang mengganggu saya adalah mereka tampaknya tidak memiliki misi yang sama dengan Yesus, gereja mula-mula, atau bahkan para leluhur Protestan kita.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Michael Graham dan Jim Davis, hampir dua pertiga responden yang telah meninggalkan gereja mengatakan bahwa ekspresi iman Injili dari orang tua mereka berperan penting dalam menjauhkan mereka dari iman tersebut. Lima alasan teratas?

• Penekanan mereka pada perang budaya membuat saya kehilangan arah seiring berjalannya waktu (14%)

• Kurangnya kasih, sukacita, kelemahlembutan, kebaikan, dan kemurahan hati (14%)

• Ketidakmampuan mereka untuk mendengarkan (14%)

• Ketidakmampuan mereka untuk berinteraksi dengan orang yang memiliki sudut pandang yang berbeda (13%)

• Sikap atau tindakan rasial mereka (13%)

Hal itu sesuai dengan pengalaman saya. Yang lebih mengejutkan lagi, banyak dari mereka yang meninggalkan gereja ternyata masih berpegang teguh pada keyakinan teologi yang ortodoks. Seperti saya dua dekade lalu, mereka tidak merasa siap untuk meninggalkan Yesus atau bahkan gereja secara keseluruhan. Mereka hanya sangat kecewa dengan visi gereja Injili Amerika tentang misinya sendiri. Itu tidak selaras.

Jadi apa yang mereka butuhkan?

Ini adalah kurva pembelajaran yang tercuram bagi saya selama bertahun-tahun berinteraksi dengan mahasiswa. Namun akhirnya, saya berhasil memecahkan kodenya, dan ternyata tidak serumit itu. Para mahasiswa membutuhkan apa yang saya butuhkan 20 tahun lalu. Mereka membutuhkan saya untuk (1) mengafirmasi kekhawatiran mereka tentang gerakan Injili Amerika; (2) memperluas visi mereka untuk mencakup gereja global dan historis, dan (3) memfokuskan kembali percakapan kami pada pesan Injil Yesus.

Itulah sebabnya dalam buku saya The Light in Our Eyes, saya mencurahkan beberapa bab untuk membahas tentang hal ini. Saya menyebutkan apa yang rusak dalam gerakan Injili Amerika. Kemudian saya memperkenalkan pembaca kepada konteks sejarah kita, membandingkannya dengan visi gereja mula-mula, gereja Protestan yang historis, dan visi awal dari gerakan Injili. Terakhir, saya memakai kategori Protestan yang historis (Yesus sebagai Nabi, Imam, dan Raja kita—seperti yang dijelaskan dalam Katekismus Heidelberg) untuk memperkenalkan kembali para pembaca kepada visi Yesus yang lebih besar, lebih baik, dan lebih indah bagi gereja.

Kategori 3: Orang yang Mendekonstruksi. Terakhir, ada orang-orang yang memang melakukan dekonstruksi—mereka yang beranjak melampaui keraguan atau kekecewaan dan telah membuat lompatan—secara sadar atau tidak sadar—ke dalam kerangka sekuler kekristenan.

Jacques Derrida—profesor sastra yang menciptakan istilah dekonstruksi—mendefinisikan visi kehidupan ini sebagai pandangan yang melihat semua “kebenaran” berasal dari struktur kekuasaan. Artinya, bagi dekonstruktor sejati, sejarah gereja, Alkitab, dan pendeta lokal tidak mempunyai otoritas riil atas definisi kekristenan. Mereka dipandang sebagai bagian dari masalah.

Ironisnya, penolakan terhadap pengaruh eksternal ini sering kali mengarah pada keimanan yang sangat mirip dengan visi kehidupan orang Amerika dan dunia Barat. Paradoks besar dari individualisme adalah bahwa individu, dengan menolak semua otoritas, gagal menyadari bagaimana individualitas mereka sendiri sangat dipengaruhi oleh otoritas informal di sekitar mereka: Tayangan televisi, musik, asumsi budaya yang dibentuk oleh sejarah dan filsafat berabad-abad, ritme kehidupan dunia Barat, dan masih banyak lagi.

Dekonstruktor sejati membutuhkan semacam praktik pra-penginjilan yang sama seperti yang akan kita tawarkan kepada seseorang yang belum percaya. Visi sekuler mereka tentang kasih, kebebasan, dan keindahan mungkin terdengar menginspirasi, tetapi itu sebenarnya tidak ada gunanya. Visi itu menjanjikan apa yang tidak dapat diberikannya dan membiarkan orang-orang menginginkannya.

Sebagai pendeta, tugas kita adalah mengafirmasi kerinduan mendalam di balik pertanyaan-pertanyaan mereka—kerinduan akan keutuhan, keadilan, dan rasa memiliki—lalu dengan lembut mengungkapkan bagaimana visi sekuler yang mereka adopsi tidaklah memadai. Hanya Yesus—sebagai Imam kita yang pengasih, Nabi yang membebaskan, dan Raja damai—yang mampu membawa segala cita-cita ini dari harapan menuju penggenapan.

Nicholas McDonald melayani sebagai pendeta pendamping di Redeemer Presbyterian di Indianapolis. Dia adalah penulis buku The Light in Our Eyes dan Faker.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Apakah Sudah Saatnya Menghentikan ‘Saat Teduh’?

Keterlibatan alkitabiah yang efektif haruslah lebih dari sekadar pengalaman pribadi seseorang dengan Kitab Suci.

Public Theology Project

Berhati-hatilah dengan yang Anda Pura-purakan

Anda dapat memalsukan cara Anda untuk kejahatan, tetapi tidak untuk kebaikan.

Ketika Jemaat Menyimpan Derita

Cara berkhotbah dan memimpin di kala jemaat Anda mengalami trauma.

Bagaimana Kabar Saya? Buruk!

Gereja bukanlah tempat untuk senyum yang dipaksakan dan kata-kata penghiburan yang dibuat-buat.

Perdukunan di Indonesia

Bolehkah orang Kristen mempraktikkan ‘ilmu putih’ untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan?

News

Wafat: James Dobson, yang Mengajarkan Kaum Injili untuk Berfokus pada Keluarga

Psikolog anak ini menjawab ratusan ribu pertanyaan tentang pengasuhan anak dan mendesak umat Kristen untuk berjuang dalam “perang nilai-nilai” Amerika.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube