News

Terbebas dari Penipuan Siber, Para Korban Hadapi Tantangan Baru

Lembaga-lembaga pelayanan Kristen di Thailand membantu ribuan korban yang baru dibebaskan untuk menemukan jalan pulang.

Scam center victims sit on the ground during a crackdown operation by the Karen Border Guard Force (BGF) in Myanmar.

Para korban pusat penipuan siber duduk di tanah saat operasi penertiban di Februari 2025 oleh Pasukan Penjaga Perbatasan Karen (BGF) di Myanmar.

Christianity Today June 26, 2025
STR / Getty

November lalu, Bea (27 tahun) merasa sangat lega saat ia menaiki pesawat di Bandara Suvarnabhumi Bangkok untuk pulang ke kampung halamannya di Filipina Tengah. Itu adalah akhir dari mimpi buruk selama dua tahun yang dimulai dari sebuah pesan Facebook.

Pada Juni 2023, Bea sedang mengajar Bahasa Inggris sebagai Bahasa Kedua (ESL) di sebuah pusat pengalihdayaan proses bisnis di Filipina ketika dia menerima iklan lowongan kerja melalui Facebook untuk posisi layanan pelanggan di Thailand. Si perekrut, yang memiliki profil Facebook yang meyakinkan, mengatakan bahwa perusahaan akan membayarnya $1.200 per bulan—kenaikan gaji yang sangat besar—serta menyediakan akomodasi dan tiket pesawat gratis.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Namun saat ia tiba di Bangkok, seorang sopir membawanya ke sebuah kompleks perkampungan melintasi perbatasan di Myanmar, tempat geng kriminal Tiongkok menyandera dia dan memaksanya untuk menipu para korban tak bersalah di AS secara daring. Jika dia tidak memenuhi kuota bulanan mereka, para penculiknya akan memukuli dia. Christianity Today tidak menggunakan nama asli Bea karena khawatir para pelaku kriminal dapat menemukan dan mengancamnya karena membagikan kisahnya.

Selama dua tahun berikutnya, dia terperangkap dalam kompleks itu, dan dia dijual dua kali dari satu operator penipuan ke operator lainnya. Kemudian pada Oktober 2024, International Justice Mission (IJM) berhasil “memanfaatkan modal dan jaringan kolaboratif” untuk membantu membebaskan Bea, ungkap juru bicara IJM kepada CT. Dia ingat saat dua perwira militer Burma datang ke kompleks itu dan meminta melihat paspornya, yang berhasil dia sembunyikan dari para penculiknya. Mereka membawanya ke sebuah fasilitas militer sebelum dia bisa menyeberangi perbatasan kembali ke Thailand.

Di sana, dua pekerja dari kelompok Kristen Global Advance Projects (GAP) menunggu kedatangannya. GAP membiayai penginapannya di sebuah hotel di kota perbatasan Mae Sot selama ia menunggu pemerintah Thailand menempatkannya di tempat penampungan. Sementara itu, GAP membantunya mengisi formulir dan membuktikan bahwa dia telah menjadi korban perdagangan manusia dan secara tidak sengaja telah melewati masa berlaku visa perjalanan Thailand-nya. Sebulan kemudian, kedutaan besar Filipina membiayai tiket penerbangannya pulang ke rumah.

Saat menunggu di bandara, dia ingat pernah berpikir, “Saya ingin sekali memeluk orang-orang yang telah banyak membantu saya karena saya merasa butuh seseorang untuk … berbagi segalanya.”

Baru-baru ini, GAP, IJM, dan kelompok Kristen lainnya, Acts of Mercy International, menjadi sibuk sekali, karena jumlah orang yang dibebaskan dari pusat-pusat penipuan tersebut melonjak drastis sejak Februari, ketika pemerintah Tiongkok, Thailand, dan Myanmar menindak pusat-pusat penipuan siber tersebut. Sejauh ini, 7.200 orang, sebagian besar dari Tiongkok, telah dipulangkan ke negara asal mereka sejak dibebaskan dari kompleks tersebut, menurut pemerintah Thailand. Sebanyak 1.700 orang lainnya masih berada di Myanmar di kamp-kamp yang dikelola oleh milisi etnis.

Pejabat Thailand tidak akan mengizinkan mereka melintasi perbatasan kecuali pemerintah negara asal mereka telah mengatur keberangkatan mereka dengan segera. Pada April, sekitar 270 orang di antaranya, sebagian besar dari Etiopia, berdemonstrasi dan menyerbu gerbang, putus asa karena ingin menyeberang ke Thailand.

“Kami telah memperingatkan [pihak berwenang Thailand] selama berminggu-minggu bahwa mereka menjadi sangat, sangat gelisah dan mereka mungkin mencoba melarikan diri menyeberangi sungai ke Thailand,” kata Amy Miller, direktur regional Asia Tenggara untuk Acts of Mercy International. Pihak berwenang Thailand memperkirakan masih ada 100.000 orang yang dipaksa bekerja sebagai pelaku penipuan siber di sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar.

Selama dua bulan terakhir, tim Miller sibuk membantu para korban yang dibebaskan di Mae Sot. Bersama lembaga nirlaba lainnya, mereka memberikan para korban makanan dan air, membantu mereka mengisi dokumen, menghubungkan mereka dengan kedutaan besar mereka, dan menyediakan perawatan personal pasca trauma yang mereka alami.

“Kami sering kali menjadi wajah pertama yang dilihat para korban saat mereka keluar,” kata Miller. Di tengah situasi yang sibuk dan birokratis, “Saya memikirkan apa yang dialami korban.” Ia berpikir dalam hati, “Bagaimana saya bisa hadir sebagai pribadi yang ramah, lembut, dan manusiawi bagi mereka, di tengah proses interaksi antar-pemerintah seperti ini?”

Bahkan sebelum geng kriminal melepaskan kelompok besar korban tahap pertama pada 12 Februari, Miller sudah berupaya menyelamatkan para korban individu yang menghubunginya selama dua tahun terakhir. Pada Januari, Beijing mulai mendesak Thailand dan Myanmar untuk menindak tegas kompleks-kompleks tersebut setelah munculnya kasus besar di mana seorang aktor Tiongkok menjadi korban perdagangan manusia. Pemerintah Thailand kemudian memutus aliran listrik, internet, dan gas ke kota-kota perbatasan tempat pusat-pusat penipuan itu berada. Milisi etnis yang menguasai wilayah tersebut mengawal para korban untuk keluar.

Pada hari pembebasan besar yang pertama, Andrew Wasuwongse, kepala kantor IJM di Thailand, tengah bersiap untuk memulai pelatihan anti-perdagangan manusia bagi 100 petugas polisi Thailand ketika ia menerima pesan dari rekannya bahwa 260 orang dari 19 negara baru saja dibebaskan kepada militer Thailand di perbatasan.

“Wah. Baiklah. Luar biasa. Ini benar-benar terjadi!” katanya. Itu adalah momen yang ia harapkan sejak 2022, saat ia mulai membantu para korban perdagangan manusia yang dipaksa bekerja sebagai pelaku penipuan siber.

Setelah pelatihannya, Wasuwongse mengatur agar empat staf IJM berkendara ke Mae Sot keesokan harinya. Di sana, mereka memulai tugas besar untuk mengidentifikasi korban-korban perdagangan manusia. Para korban yang diselamatkan bertemu dengan staf dari lembaga-lembaga nirlaba serta para pejabat pemerintah Thailand. Anggota-anggota IJM bertugas sebagai penerjemah bahasa Thailand-Inggris dan menyediakan makanan bagi para penyintas yang dibebaskan, serta memenuhi kebutuhan mendesak lainnya seperti akses ke layanan medis.

Banyak penyintas menghadapi trauma fisik dan mental: Seorang warga Etiopia berusia 19 tahun bernama Yotor berbicara kepada media Thailand dan menunjukkan luka-luka di sekujur kakinya, serta mengatakan bahwa ia telah menerima sengatan listrik setiap hari selama berada di kompleks tersebut. Beberapa pemerintah memperlakukan korban yang dibebaskan itu sebagai penjahat saat mereka kembali ke negara asal atau mengucilkan mereka karena mereka pernah terlibat dalam kegiatan kriminal.

Sindikat kejahatan siber di Asia Tenggara diperkirakan menghasilkan keuntungan sebesar $43,8 miliar per tahun, yang merupakan 35 persen dari gabungan PDB (produk domestik bruto) Laos, Kamboja, dan Myanmar, menurut laporan Center for Strategic & International Studies. Sebuah laporan FBI tahun 2023 menemukan bahwa warga Amerika mengalami kerugian lebih dari $12,5 miliar akibat penipuan daring pada tahun 2023, meningkat 22 persen dari tahun sebelumnya.

Kejahatan yang bersifat lintas negara ini membuat pelakunya sulit diselidiki dan diadili, kata Wasuwongse. Sering kali, para korban dari seluruh dunia diperdagangkan melalui negara seperti Thailand ke negara lain, seperti Myanmar. Vonis hukuman sangat jarang terjadi.

Miller mengatakan bahwa pada hari itu di Februari, mereka memperkirakan operasi itu akan membebaskan 50 orang, namun ternyata jumlahnya lebih dari empat kali lipat. Sebagai bagian dari proses penyaringan, mereka yang dibebaskan biasanya dipindahkan dari satu ruang tahanan ke ruang tahanan lain dalam suasana yang sangat resmi, yang mungkin terkesan tidak personal dan dingin, kata Miller.

Jadi Miller sangat memperhatikan tentang bagaimana dia dan staf lembaga-lembaga Kristen mendekati para korban. Setidaknya pada satu kesempatan, mereka membawa jurnal berisi “sumber-sumber Injil dan pesan harapan,” kata Miller. “[Kami menawarkan] gambaran kemanusiaan untuk menatap mata mereka, memulihkan martabat mereka, dan menyampaikan kepada mereka bahwa Tuhan punya rencana bagi hidup mereka.”

Ketika pemerintah negara asal korban tidak dapat memulangkan mereka karena kendala anggaran, seperti halnya korban dari Etiopia, maka Acts of Mercy International dan lembaga nirlaba lainnya akan menggalang dana untuk membiayai tiket pesawat pulang mereka. Namun, beberapa kedutaan telah memberi tahu para korban bahwa nama mereka tidak tercantum dalam daftar resmi Myanmar sebagai orang-orang yang menunggu pemulangan (repatriasi), yang berarti mereka mungkin tidak bisa pulang meskipun mereka memiliki tiket.

“Yang saya lakukan saat itu adalah menyambut mereka kembali,” kata Miller, “memberitahu mereka bahwa kami sangat senang mereka bebas, kami tahu bahwa mereka telah menderita dan menanggung banyak hal, dan kami merasa sangat terhormat bisa berjalan bersama mereka.”

Ketika Bea kembali ke Filipina, dia meluangkan waktu untuk beristirahat, karena dia merasa kelelahan secara mental dan fisik. Pemerintah Filipina memberikan sejumlah bantuan finansial. Pada Februari, dia mulai mencari pekerjaan dan sekarang bekerja kembali sebagai guru ESL secara daring.

“Saya juga menjadi lebih berhati-hati saat menggunakan media sosial, karena saya tahu ada orang yang mencoba menipu atau memperdaya orang lain,” ungkapnya. “Setiap kali saya melihat sesuatu yang mencurigakan, saya melaporkannya dan meninggalkan komentar untuk memperingatkan orang lain bahwa itu mungkin penipuan.”

Komunitasnya di gereja Katolik yang ia hadiri telah membantu keluarganya mengatasi situasi ini. “Baru-baru ini, salah seorang biarawati di gereja bertanya kepada nenek saya tentang bagaimana keadaan cucunya yang menjadi korban penipuan,” kata Bea. Dia mengatakan neneknya menjawab, “Akhirnya, dia … kembali ke sini.”

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Alkitab Lebih dari Sekadar Buku yang Harus Diketahui

Alkitab adalah kisah yang harus dihidupi dan para rohaniwan harus memimpin jalannya.

Menggembalakan dengan Senyuman Palsu

Saya sering menyembunyikan pergumulan saya dari gereja karena saya takut orang-orang akan memanfaatkannya untuk menyerang saya.

Apakah Sudah Saatnya Menghentikan ‘Saat Teduh’?

Keterlibatan alkitabiah yang efektif haruslah lebih dari sekadar pengalaman pribadi seseorang dengan Kitab Suci.

Public Theology Project

Berhati-hatilah dengan yang Anda Pura-purakan

Anda dapat memalsukan cara Anda untuk kejahatan, tetapi tidak untuk kebaikan.

Ketika Jemaat Menyimpan Derita

Cara berkhotbah dan memimpin di kala jemaat Anda mengalami trauma.

Bagaimana Kabar Saya? Buruk!

Gereja bukanlah tempat untuk senyum yang dipaksakan dan kata-kata penghiburan yang dibuat-buat.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube