Filipi 2:5–11
Minggu Palma merayakan Yesus memasuki Yerusalem dengan penuh kemenangan, sambil menunggang keledai dan dielu-elukan oleh orang banyak. Namun, untuk memahami kenapa disebut “Yesus memasuki Yerusalem dengan penuh kemenangan,” kita perlu mengetahui bagaimana akhir dari kisah ini. Yesus sedang menuju pengkhianatan, pemenjaraan dengan tuduhan palsu, dan kematian yang menyiksa. Sepintas lalu, semua hal itu sama sekali tidak memperlihatkan “kemenangan,” tetapi begitulah cara Yesus bekerja sesuai dengan rencana Bapa-Nya. Kemuliaan (atau kemenangan) datang melalui pengorbanan. Filipi 2 menunjukkan hal ini kepada kita.
Dalam Filipi 2:5, orang-orang percaya dipanggil untuk “menaruh pikiran dan perasaan.” Pikiran apa? Pikiran “yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.” Paulus tidak memberi tahu kita seperti apa seharusnya pikiran dan perspektif yang perlu kita miliki bersama itu. Sebaliknya, dia menjelaskan tentang Yesus kepada kita, karena di dalam Dialah kita memiliki pikiran tersebut (perspektif, proses berpikir, nilai-nilai, kepercayaan). Jadi mari bersama-sama kita merenungkan tentang Yesus.
Yesus mengesampingkan kesetaraan dengan Allah. Dia tidak memegang erat-erat status-Nya yang sah sebagai yang paling tinggi dan melebihi segalanya. Ini bukan berarti Dia melepaskan keilahian-Nya, melainkan Dia dengan sukarela menjadi tidak dimuliakan dan tidak surgawi. Dia mengambil arah yang berlawanan dengan naluri manusia; kita mempertahankan status dan kekuasaan apa pun yang kita miliki. (Menurut Anda mengapa para pemimpin masyarakat, pustakawan sekolah, dan asisten manajer ritel bisa menjadi tiran seperti itu? Menurut Anda mengapa kita begitu mudah membentak anak-anak kita?) Kita tidak mau melepaskan reputasi untuk alasan apa pun. Namun Yesus melepaskannya dengan sukarela.
Dengan mengesampingkan status-Nya yang sah, Yesus mengosongkan diri-Nya dari yang mulia dan menjadi seorang hamba. Melayani adalah kelemahan. Melayani berarti tidak terlihat. Melayani adalah pekerjaan yang kita limpahkan kepada mereka yang “tidak memiliki keterampilan” atau dianggap lebih rendah dalam masyarakat, meskipun kita terlalu sopan untuk mengatakannya demikian. Kita mengejar kemuliaan dan ingin dikaitkan dengan orang-orang yang berkuasa. Kita mendambakan ketenaran, entah itu hanya beberapa jam saja menjadi viral di media sosial atau kesuksesan profesional. Kita mencatut nama dan mengumbar cerita untuk meningkatkan reputasi kita. Yesus melakukan sebaliknya; Dia membalikkan cara kita menetapkan keberhargaan, dan Dia melakukannya karena Dia adalah penentu dan pemberi segala kemuliaan sejati. Dalam ekonomi kerajaan Allah yang Yesus hadirkan, yang terakhir akan menjadi yang pertama dan yang miskin di hadapan Allah akan diberkati.
Yesus melakukan semua ini dengan berserah seutuhnya, segenap hati, dan penuh sukacita kepada kehendak Bapa-Nya. Karena keterbatasan kita yang penuh dosa, mudah bagi kita untuk berpikir bahwa rencana Allah dipaksakan kepada Yesus atau bahwa Yesus dengan susah payah mengambil peran sebagai Hamba Penyelamat yang menyelamatkan umat manusia. Namun sesungguhnya yang terjadi sama sekali bukan demikian. Sejak sebelum dunia dijadikan, hingga selama-lamanya, Yesus dan Bapa selalu sehati sepikir. Ketika Yesus mengesampingkan status, kemuliaan dan kuasa-Nya, Dia melakukannya karena “sukacita yang disediakan bagi Dia” (Ibr. 12:2). Dia melakukan hal itu untuk memuliakan Bapa (Yoh. 17:4). Dia melakukannya untuk menyelamatkan orang-orang berdosa yang tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri (Rm. 5:8).
Dalam hal ini, kita melihat pembalikan yang indah dari kerajaan Allah—atau mungkin lebih tepat dikatakan bahwa kita melihat bagaimana kerajaan Allah menjungkirbalikkan kerusakan kita. Melalui kerendahan hati, Yesus dimuliakan. Karena Dia mengesampingkan status-Nya, maka Bapa menempatkan-Nya di atas takhta. Karena Dia telah mengorbankan nyawa-Nya bagi dunia, suatu hari nanti dunia akan sujud hormat kepada-Nya. Di bawah pemerintahan Yesus, kerendahan hati adalah jalan menuju kemuliaan sejati. Masuknya Yesus ke Yerusalem dengan penuh kemenangan menunjukkan hal ini. Yesus menempuh perjalanan menuju titik terendah dan paling hina dalam seluruh sejarah manusia, dan melalui hal itu datanglah kemenangan atas dosa dan maut.
Sekarang kita kembali pada pertanyaan: “Pikiran yang bagaimana?” Pikiran seperti apa yang harus kita miliki? Pikiran yang begitu terpaku pada Yesus sehingga kita menghargai apa yang Dia hargai, mencintai apa yang Dia cintai, dan mengejar apa yang Dia kejar. Pikiran yang tunduk kepada kehendak Bapa surgawi sebagaimana Yesus tunduk kepada kehendak Bapa-Nya. Pikiran yang dengan sepenuh hati mengejar kemuliaan Bapa seperti yang telah Dia lakukan. Pikiran yang bersukacita dalam kemuliaan yang akan datang, seraya kita berserah kepada Bapa dan meneladani Yesus.
Barnabas Piper melayani sebagai pendeta di Immanuel Church di Nashville. Dia adalah penulis buku The Pastor’s Kid dan Belong. Dia menikah dengan istrinya, Lauren, dan memiliki tiga anak.
Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.