Markus 14:32–42
Sahabat yang terbaik sekalipun kadang-kadang bisa mengecewakan saat kita membutuhkannya. Terkadang, mereka mengecewakan karena kita belum mengungkapkan kebutuhan kita dengan jelas. Pada lain waktu, mereka mengecewakan karena mereka tidak menyadari betapa beratnya situasi kita, kewalahan dengan kesulitan mereka sendiri, atau terlalu sibuk dengan orang lain.
Rasul Paulus, yang sedang menghadapi hukuman mati di tangan kaisar Nero, menulis kepada Timotius dalam surat terakhirnya: “Pada waktu pembelaanku yang pertama tidak seorangpun yang membantu aku, semuanya meninggalkan aku” (2Tim. 4:16). Namun Paulus, yang dikuatkan oleh imannya, menambahkan, “Kiranya hal itu jangan ditanggungkan atas mereka.” Tuhan mengizinkan anak-anak-Nya mengalami ujian yang berat dan masa-masa pengabaian. Dia memakai ujian-ujian ini untuk menguatkan iman kita dan membantu kita melihat apakah kita tetap memercayai Kristus saat kita jatuh tersandung, goyah, atau mengalami keduanya.
Dari perkataan Paulus, kita tidak merasakan adanya kepahitan atau dendam. Sebaliknya, Paulus terdengar seperti Yesus, yang berdoa, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Sementara teladan Paulus seharusnya menuntun kita untuk bersyukur, teladan Yesus seharusnya menuntun kita untuk menyembah. Tidak seperti Paulus, Yesus tidak pernah bisa berkata, “Akulah yang paling berdosa,” karena Dia tidak mengenal dosa.
Penderitaan Yesus bukan hanya demi Injil—melainkan karena Dia menanggung beban dosa manusia. Dan bila dipikir lebih mendalam, Yesus dengan rela menderita bagi kita—bagi Anda.
Yang seharusnya membuat kita heran dengan Yesus adalah bahwa di saat-saat Ia paling membutuhkan, ketika sahabat-sahabat terdekat Dia—yaitu Petrus, Yakobus, dan Yohanes—gagal berempati terhadap-Nya, Hamba Tuhan yang menderita ini justru menarik diri dan datang ke hadirat Bapa, seperti sebuah kapal yang mencari tempat berlabuh yang aman di tengah badai yang mengamuk. “Pada-Mu, TUHAN, aku berlindung” (Mzm. 31:2) menangkap inti doa Yesus. Meski dalam keadaan babak belur secara rohani, namun Ia tetap memiliki iman yang tertambat pada Allah. Dia berhenti sejenak untuk mencari kekuatan agar bisa meneruskan perjalanan. Yesus berada tepat di tempat yang telah ditetapkan Allah: Di taman, bersiap untuk meminum cawan penghakiman Allah yang adil bagi umat-Nya.
Yesus memberikan teladan tentang bagaimana rasanya datang ke dalam hadirat Tuhan dengan terjatuh—menyakitkan tetapi penuh harapan. Dia menghampiri Bapa dalam kelemahan, tetapi memperlihatkan kekuatan yang sempurna. Injil Markus menekankan penderitaan emosional Yesus, dengan menggambarkannya sebagai “sangat takut dan gentar” dan “sangat sedih, seperti mau mati rasanya” (Mrk. 14:33-34). Beberapa orang memandang penderitaan emosional sebagai dosa, tetapi kita tahu itu tidak benar, karena Yesus—Sang Korban yang tanpa dosa—mengalaminya. Yesus berseru dengan iman, memercayakan penderitaan-Nya kepada Bapa. Ketika kita membawa keresahan kita kepada Tuhan, tempat berlabuh yang paling aman, kita menyenangkan Dia.
Lebih jauh lagi, penderitaan Yesus mengungkapkan kasih-Nya kepada kita dan beratnya beban tugas Dia. Demi sukacita yang ada di hadapan-Nya, Dia menanggung penderitaan. Yesus di Getsemani mengajarkan kita bagaimana emosi-emosi, ketika diakui dan diserahkan kepada Allah, dapat memperdalam keintiman kita dengan Bapa. Emosi itu seperti api—memberikan kehangatan dan cahaya jika ditangani dengan benar, tetapi dapat merusak jika salah penanganan.
Pada hari Rabu Pengkhianatan (atau Rabu Suci) ini, marilah kita kagumi Sang Hamba yang menderita yang telah menjadi Juru Selamat kita dengan memikul salib dan kehinaan. Kiranya kita mengagumi Yesus, yang memimpin dengan “lutut yang goyah,” menghadapi pengkhianatan oleh lingkaran terdekat-Nya dan oleh Yudas. Yudas dengan egois minum dari cawan pengkhianatan, tetapi Yesus meminum dari cawan yang dikhususkan bagi Dia sendiri—cawan murka Allah.
Cawan yang hendak diminum Yesus melambangkan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar penderitaan fisik; itu adalah cawan penghakiman Allah yang adil. Dalam Perjanjian Lama, “cawan” melambangkan murka Allah terhadap dosa (Yes. 51:17). Yesus dengan rela tunduk untuk menanggung penghakiman itu bagi kita. Penderitaan-Nya bukan hanya soal rasa sakit secara fisik melainkan juga soal beban rohani akibat dosa manusia. Ketika Dia berdoa, “…tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki” (Mrk. 14:36), Yesus memperlihatkan penyerahan diri yang sempurna, dengan mengundang kita untuk tetap memercayai Allah, meski di saat-saat tergelap kita sekalipun.
Saat kita mengalami kesepian dan pengkhianatan, kiranya kita memutuskan untuk memercayai Dia yang tetap setia, bahkan sampai mati. Seperti Paulus, marilah kita menyatakan, “kiranya hal itu jangan ditanggungkan atas mereka. Tetapi Tuhan telah mendampingi aku dan menguatkan aku” (2Tim. 4:16-17).
Jadi, bagaimana kita dapat bersandar kepada Allah saat kita mengalami penderitaan emosional yang mendalam? Pertama, seperti Yesus, kita harus memperlambat langkah untuk menyadari beratnya beban yang kita pikul. Kedua, sediakan waktu untuk menyampaikan beban itu kepada Tuhan. Bahkan doa yang paling sederhana sekalipun dapat membantu pada saat yang demikian, seperti:
“Bapa, mendekatlah kepadaku sebagaimana aku mendekat kepada-Mu.”
“Yesus, tolonglah aku untuk percaya kepada-Mu saat ini.”
“Roh Kudus, bimbinglah pikiranku dan berilah aku ketenangan.”
Sisihkan waktu untuk berdoa lebih lama, bukan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi, melainkan karena Anda memiliki Dia yang selalu ada bersama Anda—bahkan sampai mati. Akhirnya, berdoalah dengan berani, dan serahkan keinginan Anda dengan berani—hati Bapa ada untuk Anda. Dia akan memeluk Anda dengan kasih setia-Nya.
Jamaal Williams adalah gembala jemaat Sojourn Church Midtown di Louisville, Kentucky, dan presiden Harbor Network. Dia adalah salah satu penulis buku In Church as It Is in Heaven. Jamaal tinggal di Louisville bersama istrinya, Amber, dan kelima anak mereka.
Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.