1 Petrus 2:22–24
Jumat Agung menyatukan dua kebenaran yang mengejutkan: “Ia tidak berbuat dosa” dan “Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh.”
Tidak Berbuat Dosa
Dosa adalah hal yang sangat umum sehingga ketiadaannya sungguh mengejutkan. Kita adalah orang-orang yang terbiasa dengan kebobrokan, kebobrokan orang lain dan terutama kebobrokan diri kita sendiri. Begitu kesadaran diri muncul pada diri kita, kita mulai menjalin hubungan dengan dosa. Tentu saja, dosa bukanlah sesuatu yang alami. Dosa tidak ada saat Tuhan menciptakan nenek moyang pertama kita. Adam dan Hawa membawa dosa masuk ke dalam dunia dengan segala kekuatannya untuk merusak kebaikan yang telah Allah ciptakan. Oleh karena itu, dosa merusak tatanan alamiah atau yang semula dari segala sesuatu. Dosa sudah ada begitu lama di dalam diri kita sehingga, meskipun tidak alami, dosa terasa biasa saja. Kita mungkin bertanya pada diri sendiri, Bagaimana kita bisa lepas dari dosa?
Namun Yesus “tidak berbuat dosa.” Yesus tidak sama lazimnya dengan dosa. Tuhan bukan saja tidak berbuat dosa; Dia bahkan tidak menggunakan perkataan-Nya untuk menipu. Menipu adalah cara si Ular. Dengan lidah bercabang, Iblis memperdagangkan setengah kebenaran dan kebohongan sekaligus. Dia adalah Bapa Segala Dusta, dan kita pernah menjadi anak-anaknya. Jadi manusia yang jeli akan tercengang ketika ada Pribadi yang masuk dalam sejarah, yang tidak berbuat dosa dan tidak pernah berdusta. Kalau bisa, kita mestinya membayangkan kesucian dari hati sampai bibir, dari perilaku sampai ucapan. Bahkan caci maki dan penderitaan pun tidak mampu membuat Dia melanggar hukum Allah yang kudus. Yesus sama seperti kita dalam segala hal, hanya tidak berbuat dosa (Ibr. 4:15).
Penanggung Dosa
Bahkan yang lebih menakjubkan dari kesempurnaan Yesus—jika ada sesuatu yang lebih menakjubkan—adalah bahwa “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran.” Dia yang tanpa dosa menjadi satu-satunya penanggung dosa.
Tak terlukiskan
Petrus dengan tegas mengingatkan kita bahwa “Ia sendiri telah memikul dosa kita.” Dengan kata lain, Tuhan Yesus tidak mendelegasikan urusan memikul dosa kepada orang lain. Dia tidak memilih bawahan untuk menjalankan tugas suci-Nya. Malaikat adalah roh-roh yang melayani yang diutus demi kepentingan keselamatan kita (Ibr. 1:14). Kristus dapat memerintahkan pasukan bala tentara malaikat. Namun Yesus sendiri, secara pribadi, memikul beban yang sangat berat dari dosa kita. Karya penebusan dosa adalah milik-Nya semata dan unik. Milik Dia sendiri.
Lebih jauh lagi, Tuhan “memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya.” Memikul dosa bukanlah sebuah khayalan, abstraksi intelektual atau sekedar prinsip spiritual. Sebaliknya, memikul dosa memiliki konsekuensi fisik. Seperti yang diajarkan penulis Ibrani kepada kita:
Sebab tidak mungkin darah lembu jantan atau darah domba jantan menghapus dosa.
Karena itu, ketika Ia masuk ke dunia,
Ia berkata, “Korban dan persembahan tidak Engkau kehendaki–tetapi Engkau telah menyediakan tubuh bagiku.
Kepada korban bakaran dan korban penghapus dosa Engkau tidak berkenan. (10:4–6)
Bapa menyediakan tubuh bagi Putra-Nya karena segala korban bakaran dan persembahan lainnya tidak Ia perkenan. Sang Bapa tidak menginginkan semua korban dan persembahan itu. Segala korban dan persembahan di Bait Suci hanyalah penunjuk kepada tubuh yang lain, tubuh manusia, yang secara khusus dipersiapkan untuk menanggung dosa. Dalam Tubuh inilah, yang dihancurkan demi kita, Bapa berkenan. Dalam Tubuh inilah, kemungkinan baru terbuka bagi kita—“supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran.”
Namun bagaimana caranya?
Penyembuh yang Terluka
“Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh.” Dia yang tidak berdosa menjadi penanggung dosa demi kesembuhan kita.
Luka-luka fisik di kayu salib yang kasar itu, oleh kasih karunia Allah, menjadi agen penyembuhan dalam keselamatan kita. Di atas kayu salib itu, Yesus Kristus menjadi apoteker surga, memberikan satu-satunya obat yang sangat dibutuhkan oleh jiwa kita—yaitu darah-Nya.
Tubuh yang terkoyak-koyak oleh cambuk Romawi. Kepala yang tertancap mahkota duri. Paku-paku logam yang menusuk di pergelangan tangan dan kaki. Lambung yang tertikam oleh tombak. Luka-luka apakah semua ini? Luka yang tidak menyembuhkan dirinya sendiri, melainkan orang-orang lain. Luka yang menyembuhkanmu. Bagaimana mungkin Yesus disesah dan kita malah dikuatkan? Bagaimana mungkin Yesus disiksa, tetapi kita dipulihkan? Bagaimana mungkin Yesus dianiaya dengan begitu mengerikan, namun kita disembuhkan secara total?
Thabiti Anyabwile melayani sebagai pendeta di Anacostia River Church di Washington, DC, dan merupakan presiden dari The Crete Collective. Ia penulis beberapa buku dan dia menikah dengan Kristie, juga merupakan ayah dari tiga orang anak yang telah dewasa.
Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.