“Bapa, jikalau Engkau mau, sembuhkanlah hamba-Mu ini; tetapi bukanlah kehendak kami, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” Saat masih kecil, saya ingat pernah mendengar doa semacam ini dan merasa sangat bingung. Jikalau Engkau mau? pikir saya. Mengapa Tuhan tidak mau untuk menyembuhkan hamba-Nya?
Doa-doa seperti itu tidaklah salah secara teologis—itu semua menggemakan perkataan Kristus sendiri dan, jika dipahami dengan benar, orang percaya pun seharusnya berdoa dengan cara yang sama. Namun jika dipahami secara salah, doa-doa seperti itu dapat sangat membingungkan dan meresahkan.
Bayangkan seorang anak kecil mendengar orang-orang mengucapkan doa itu untuk ibunya yang menderita kanker stadium akhir. Apa yang akan ia pikirkan? Mengapa Allah tidak ingin menyembuhkan ibunya—apakah Dia ingin ibu menderita dan mati? Apakah Allah tidak mengasihi ibu dan aku?
Bahkan orang dewasa yang paling matang secara rohani pun dapat bergumul dengan tujuan dan dampak dari doa-doa mereka—khususnya ketika Allah tampaknya tidak hadir atau senyap di saat mereka sangat membutuhkan-Nya, terlepas dari seberapa tekun dan sungguh-sungguhnya mereka berdoa. Jika Allah itu sangat baik, maha kuasa, dan mengetahui kebutuhan kita sebelum kita memintanya (seperti yang diajarkan Yesus dalam Matius 6:8), bagaimana mungkin doa kita dapat membuat perbedaan dalam tindakan Allah? Bukankah Allah sudah tahu, akan, dan pasti melakukan apa pun yang lebih baik bagi kita, terlepas dari apakah kita atau bagaimana kita berdoa?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah mudah untuk dijawab dan memunculkan dilema teologis yang pelik, seperti misalnya bagaimana kedaulatan Allah dan kehendak bebas manusia dapat hidup berdampingan. Terkait persoalan ini, orang Kristen memiliki pandangan yang beragam, ada yang melihatnya sebagai suatu bentuk determinisme ilahi, suatu visi optimis tentang kemitraan manusia dengan Allah, atau hal lainnya. Sebagian orang memandang doa terutama sebagai praktik devosi pribadi yang tidak memengaruhi tindakan ilahi, sedangkan yang lain berasumsi bahwa doa yang tidak dijawab mencerminkan kurangnya iman dari orang yang berdoa.
Dalam kasus-kasus seperti ini, sangat penting bagi kita untuk kembali kepada teks Alkitab. Secara khusus, kita dapat belajar banyak dari contoh bagaimana Yesus sendiri berdoa dalam Perjanjian Baru.
Para penulis Injil mencatat kata-kata doa Yesus dalam sejumlah kesempatan yang terbatas. Beberapa di antaranya adalah Doa Bapa Kami, Doa Imam Besar dalam Yohanes 17, dan doa Kristus di taman Getsemani sesaat sebelum kematian-Nya, di mana Ia sangat menderita sehingga berkeringat darah. Meskipun singkat, doa-doa Kristus di taman Getsemani sangat mendalam dan memberikan pencerahan yang signifikan tentang cara berdoa dengan setia di tengah pertanyaan-pertanyaan seperti itu.
Saat itu adalah malam sebelum Yesus disalib. Dalam kesedihan yang mendalam, Dia menarik diri untuk berdoa, sebagaimana yang sering dilakukan-Nya. Diselimuti oleh kegelapan yang sangat pekat, merasa “sangat sedih, seperti mau mati rasanya” (Mat. 26:38), Yesus memerintahkan para murid-Nya untuk berdoa, lalu maju sedikit, dan “sujud dan berdoa.” Ia berdoa, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat. 26:39).
Jikalau sekiranya mungkin? Bagaimana mungkin ada yang tidak mungkin bagi Allah? Yesus juga berdoa, “Ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu” (Mrk. 14:36). Lalu, mengapa Dia berdoa, “jikalau sekiranya mungkin”?
Secara keseluruhan, ayat-ayat ini menunjukkan bahwa, di satu sisi, segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah—karena Dia Mahakuasa, Allah dapat melakukan apa pun yang tidak melibatkan kontradiksi logis. Namun di sisi lain, beberapa hasilnya dapat tidak mungkin bagi Allah—misalnya, hasil yang mengharuskan Dia mengingkari janji-janji-Nya, berperilaku yang bertentangan dengan natur-Nya, atau bertindak melawan kehendak-Nya yang menyeluruh.
Mungkinkah Kristus menghindari salib? Dia tentu saja memiliki kuasa untuk melakukan hal itu. Kemudian, ketika Petrus mencoba menyelamatkan Yesus dengan memotong telinga salah seorang yang diutus untuk menangkap Dia, Yesus menegurnya dan berkata, “Atau kausangka, bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku? Jika begitu, bagaimanakah akan digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci, yang mengatakan, bahwa harus terjadi demikian?” (Mat. 26:53–54).
Pertanyaan sebenarnya adalah, dapatkah Kristus menghindari salib dan tetap menyelamatkan orang berdosa? Jawabannya adalah tidak. Teks ini menunjukkan kepada kita bahwa mustahil bagi Kristus untuk memenuhi misi-Nya yang paling utama—yaitu untuk menyelamatkan dunia dari dosa serta mengalahkan penderitaan dan maut—tanpa menghadapi salib.
“Jikalau sekiranya mungkin” tampaknya menunjukkan bahwa ada opsi-opsi yang tidak bisa dipilih Allah karena tidak sejalan dengan tujuan dan komitmen-Nya. Allah berkomitmen untuk membenarkan orang-orang berdosa (sementara Ia sendiri tetap adil secara sempurna) dan menunjukkan kasih-Nya sedemikian rupa sehingga kegelapan akan dikalahkan untuk selamanya (Rm. 3:25–26; 5:8; Why. 21:4). Oleh karena itu, Allah tidak dapat mewujudkan keinginan-Nya yang lebih besar untuk menyelamatkan manusia tanpa penderitaan di kayu salib. Dalam tindakan kasih dan keadilan yang tertinggi, Yesus dengan rela memilih untuk menyerahkan nyawa-Nya (Yoh. 1:17-18) dan “tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia” (Ibr. 12:2).
Namun, doa Kristus pada tengah malam di taman Getsemani tidak berakhir di sana. Setelah berdoa, “Jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku,” Dia menambahkan, “tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat. 26:39). Kemudian, Kristus berdoa dua kali lagi, “Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!” (ay. 42, 44). Menariknya, frasa terakhir ini muncul lebih awal dalam kitab Matius saat Yesus mengajarkan para pengikut-Nya bagaimana berdoa dalam Doa Bapa Kami (Mat. 6:9–13). Memahami konteks ini semakin memperjelas doa Yesus di Getsemani.
Doa Bapa Kami mencakup tujuh permohonan, dimulai dengan “dikuduskanlah nama-Mu;” “datanglah Kerajaan-Mu;” dan “jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga” (ay. 9–10). Ketiga permintaan pertama ini saling berkaitan erat. Berdoa agar kehendak Allah terjadi di bumi seperti di surga menunjukkan kehendak-Nya tidak selalu terjadi—setidaknya tidak di sini dan saat ini. Demikian pula, berdoa agar kerajaan Allah datang menunjukkan bahwa kerajaan itu belum sepenuhnya terwujud di tengah-tengah kita.
Yang terpenting, memohon agar nama Allah dikuduskan menunjukkan adanya kebutuhan agar nama (reputasi) Allah terbukti benar. Namun nama Allah tidak dapat terbukti benar secara penuh kecuali dan sampai kejahatan dikalahkan serta kerajaan musuh dimusnahkan. Jadi, ketiga permohonan pertama pada akhirnya menunjuk kepada permohonan terakhir—“dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan,” (ay. 13)—karena berdoa agar nama Allah dikuduskan berarti berdoa agar kerajaan-Nya datang dan kehendak-Nya terjadi. Dalam kata-kata David Crump, “Sebagaimana berdoa agar kerajaan Allah datang berarti memohon pengudusan nama Allah, demikian pula halnya dengan memohon agar ‘kehendak Bapa terjadi.’”
Dengan cara-cara ini dan cara-cara lainnya, Doa Bapa Kami menunjuk kepada konflik kosmik yang sedang berlangsung antara kerajaan terang milik Allah dan kerajaan kegelapan yang bersifat sementara milik Iblis (Why. 12:7–10).
Yesus sendiri berulang kali mengidentifikasi Iblis sebagai “penguasa dunia ini” (Yoh. 12:31), yang mengindikasikan bahwa Iblis memiliki kuasa (meskipun terbatas dan sementara) di dunia ini, walaupun kesudahannya semakin mendekat (Why. 12:12, Rm. 16:20). Kita tahu Iblis menipu seluruh dunia (Why. 12:9), bekerja melawan kehendak Tuhan (Ef. 6:11–12) dan mengancam keberadaan kerajaan Allah (Kis. 26:18). Namun, di setiap kesempatan, Kristus melawan dan menggagalkan rencana jahat Iblis.
Seperti yang dicatat oleh Brian Han Gregg, “konflik antara Tuhan dan Iblis jelas merupakan ciri utama pengajaran dan pelayanan Yesus.” Sesungguhnya, Kristus “menyatakan diri-Nya, yaitu supaya Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu” (1Yoh. 3:8) sehingga “oleh kematian-Nya Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yang berkuasa atas maut” (Ibr. 2:14).
Konflik kosmik antara Allah dan Iblis bukan hanya konflik kekuasaan semata, sebab tidak ada makhluk apa pun yang dapat terlibat dalam konflik dengan Allah yang Mahakuasa pada tingkat kekuasaan-Nya yang murni. Sebaliknya, Alkitab menggambarkannya sebagai konflik atas tuduhan-tuduhan Iblis yang memfitnah nama Allah (Ayb. 1–2; Why. 12:9–11). Allah tidak menyangkal tuduhan-tuduhan semacam itu dengan unjuk kekuasaan, melainkan hanya dengan menunjukkan kasih dan kebenaran-Nya (Rm. 3:25-26; 5:8)—yang dinyatakan dengan agung dalam karya penebusan Kristus, dan yang mengantar pada kerajaan-Nya.
Saya akan membahas lebih lanjut tentang bagaimana kerangka konflik kosmik ini menjelaskan doa permohonan dalam buku saya yang akan datang, tetapi di sini, cukuplah untuk mengatakan bahwa doa terkadang membuat perbedaan yang berkaitan dengan cara-cara yang “tersedia secara moral” bagi Allah untuk menepati segala janji dan komitmen-Nya—termasuk apa yang saya sebut sebagai “aturan keterlibatan” dalam konflik kosmik (lihat, misalnya, pernyataan Yesus dalam Markus 9:29).
Lalu sekarang, bagaimana kita seharusnya berdoa selama masih di dunia, di mana “seluruh dunia berada di bawah kuasa si jahat” (1Yoh. 5:19)? Singkatnya, kita dapat berdoa seperti Yesus di taman Getsemani. Terutama ketika kita menghadapi masa-masa penderitaan dan kegelapan yang pekat dalam hidup, kita dapat berdoa bukan hanya agar kehendak Allah yang terjadi, melainkan juga, “jikalau sekiranya mungkin, cawan ini berlalu.”
Bukanlah keinginan atau pilihan Bapa agar Kristus menderita dan mati—seperti yang dikatakan Kitab Suci, Allah tidak berkenan pada kematian siapa pun (2Ptr. 3:9; Yeh. 18:32), apalagi kematian Anak-Nya yang terkasih. Namun Yesaya mengatakan, “TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan” (53:10). Dalam arti apa? Karena ini adalah satu-satunya cara Allah untuk menebus orang berdosa dan menyelamatkan alam semesta dari kegelapan.
Kehendak Allah untuk memperbaiki semua yang salah di dunia kita yang telah jatuh ke dalam dosa ini adalah apa yang saya sebut sebagai kehendak remedial-Nya. Hal ini berbeda dengan kehendak ideal-Nya—yang dijelaskan dalam Alkitab bahwa sejak semula tidak ada dosa, kejahatan, atau penderitaan yang terjadi sama sekali.
Dengan pemahaman ini, kita dapat berdoa memohon kelepasan dari penderitaan dan kematian, dengan keyakinan bahwa doa tersebut selaras dengan kehendak ideal Tuhan. Namun, kita juga menyadari bahwa kehendak remedial dari Allah mungkin mengambil jalan lain, karena ada banyak faktor lain dalam konflik kosmik, yang sebagian besar tidak dapat kita lihat. Oleh karena itu, kita harus meneladani Kristus dalam berdoa, “jikalau sekiranya mungkin”—dengan mengingat apa yang tersedia dan lebih baik, serta dengan mengingat segala sesuatu yang Allah ketahui tentang semua faktor yang terlibat, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat.
Bagaimanapun cara kita berdoa, kerangka kerja dari konflik kosmik ini menyoroti bahwa ada lebih banyak faktor yang terlibat dalam tindakan (dan kelambanan) Allah daripada yang dapat kita pahami. Kita mungkin memohon keringanan dari cobaan apa pun yang kita hadapi atau yang dihadapi oleh orang yang kita kasihi, tetapi ketika kita memohon, kita harus menyadari bahwa Allah memperhitungkan banyak faktor yang tidak terlihat dari sudut pandang kita. Oleh karena itu, kita dapat berdoa dengan sungguh-sungguh memohon campur tangan Tuhan, sekalipun mungkin terkadang kita berseru kepada-Nya bahwa kita merasa ditinggalkan oleh-Nya (Mat. 27:46).
Pada penghujung hari, kita dapat mengetahui bahwa Tuhan tidak menghendaki atau gembira atas penderitaan kita. Sebaliknya, Dia memilih untuk menyelaraskan diri-Nya dengan semua penderitaan manusia di dalam pribadi Yesus Kristus. Pada akhirnya, kita dapat menaruh kepercayaan kita pada kebaikan, keadilan, dan kasih Allah yang tak tergoyahkan—yang telah dinyatakan dengan jelas oleh Kristus dalam kematian-Nya di kayu salib.
John C. Peckham adalah profesor riset teologi dan filsafat Kristen di Universitas Andrews. Buku terbarunya adalah Why We Pray: Understanding Prayer in the Context of Cosmic Conflict.
Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.