News

Umat Kristen Menggiatkan Penginjilan seiring Thailand Melegalkan Pernikahan Sesama Jenis

Para pendeta mengutamakan hubungan pribadi dan berbicara langsung dengan kaum LGBTQ yang datang ke gereja mereka.

Couples attend their wedding at a marriage registration event at a shopping mall in Thailand.

Couples attend their wedding at a marriage registration event at a shopping mall in Thailand.

Christianity Today February 26, 2025
Lillian Suwanrumpha / Getty

Pasangan menghadiri pernikahan mereka di acara pendaftaran pernikahan di sebuah pusat perbelanjaan di Thailand.

Perjalanan Choenjuti Buangern mengenal Yesus dimulai di tempat yang tidak terduga: Sebuah ruang kelas sekolah dasar di Hat Yai, Thailand.

Kurikulum pendidikan di negara mayoritas beragama Buddha ini mencakup pelajaran agama yang sering kali sangat terfokus pada agama dominan di negara tersebut. Akan tetapi, sekolah-sekolah biasanya menyediakan beberapa pelajaran tentang agama-agama besar lainnya di dunia.

Suatu hari, guru Choenjuti mengutip perkataan Yesus dari Khotbah di Bukit: “Siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu” (Mat. 5:39).

“Wah, kenapa Dia bicara seperti itu?” kenang Choenjuti. “Saya merasa tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang Yesus dan kekristenan.”

Minat Choenjuti terhadap kekristenan terpendam selama bertahun-tahun. Keluarganya dan budayanya menganut agama Buddha, yang sangat memengaruhi perkembangan spiritualnya.

“Sebelum saya menjadi seorang Kristen … saya merasa karma akan menimpa saya,” katanya. “Saya berpikir, Bagaimana saya bisa lolos dari nasib ini? ”

Suatu hari, jawaban datang, yang Choenjuti alami seperti “bagai gema di tubuh saya” yang memberitahunya untuk “datang kepada Kristus.”

Dia menelepon seorang teman Kristen yang sebelumnya telah memberinya Alkitab dan bertanya apa yang harus dia lakukan. Temannya mengarahkannya ke sebuah versi doa pengakuan dosa yang tercetak di bagian belakang Alkitab. Choenjuti tidak menunggu: Dia membaca kata-kata itu keras-keras dan mengarahkannya kepada Tuhan.

Segera setelah pertobatannya, dia mulai mencari gereja. Pada jemaat pertama yang dikunjunginya, pendeta berdoa agar “kaum LGBT di dunia ini menghilang.” Kata-kata itu mengejutkannya dan membuatnya teringat pada adegan dari Avengers: Infinity War ketika Thanos, si penjahat super, menyebabkan jutaan orang lenyap.

Choenjuti sedang berkencan dengan wanita lain saat itu. Dia juga berambut pendek dan tidak mengenakan pakaian yang feminin. Dia bertanya-tanya apakah doa itu ditujukan kepadanya dan ia pun memutuskan untuk mencoba gereja lain.

Dia akhirnya menemukan jalan ke Gereja Muang Thai dan mengungkapkan diri kepada pendetanya, Vara Mejudhon, saat pertama kali bertemu dengannya. Vara dan gerejanya menganut pemahaman tradisional tentang etika seksual Kristen, tetapi Choenjuti tidak terlalu peduli dengan posisi teologis jemaat gereja tersebut. Dia hanya ingin melihat reaksi Vara.

“Dia tampak terkejut, tetapi dia mempersilakan saya untuk bergabung dengan gereja dan beribadah kepada Tuhan bersama,” kata Choenjuti.

Selama dua tahun berikutnya, Choenjuti mengembangkan relasi yang kuat dengan orang-orang di gereja dan bertumbuh dalam iman barunya. Seiring ia mempelajari lebih banyak tentang kepercayaan Kristen, dia bergumul dengan seksualitasnya. Mengapa dia merasa seperti ini jika itu bukan kehendak Tuhan?

Akhirnya, dia menyimpulkan bahwa hubungan yang lebih dalam dengan Tuhan yang dia inginkan akan membutuhkan ketaatan dalam area kehidupannya ini, dan dia pun memutuskan hubungan dengan pasangannya.

“Saya merasa Tuhan ingin saya menjadi murni,” kata Choenjuti.

Menyaksikan komitmen Choenjuti kepada Kristus memberi semangat pada Vara.

“Dia teguh dalam imannya,” katanya. “Dan dia lebih mengutamakan hubungannya dengan Tuhan dibandingkan dengan hubungan dengan pasangannya maupun keinginannya sendiri.”

Vara tahu betapa sulitnya menjangkau para anggota populasi LGBTQ yang relatif besar di Thailand, terutama dalam masyarakat yang sebagian besar telah menerima hubungan sesama jenis.

Sebagai anggota Cendekiawan Kristen Thailand, sebuah klub yang menyatukan para pendeta dan teolog untuk membuat sumber daya pendidikan bagi gereja Thailand yang lebih luas, Vara telah membantu menulis buku yang menjelaskan kepercayaan Kristen tentang seksualitas dan memberi nasihat kepada gereja tentang cara menjangkau orang-orang LGBTQ. Kelompok ini sedang mengerjakan buku lanjutannya.

Peristiwa-peristiwa terkini mungkin akan meningkatkan permintaan akan bahan-bahan ini. Bulan lalu, undang-undang yang melegalkan pernikahan sesama jenis mulai berlaku. Lebih dari 1.800 pasangan sesama jenis menikah secara resmi pada hari pertama penerapannya.

Aktivis LGBTQ Thailand mengatakan bahwa kemenangan mereka bukanlah sesuatu yang dijamin pasti akan terjadi. Pada tahun 2012, 60 persen warga Thailand menentang pernikahan sesama jenis menurut survei nasional yang dilakukan oleh pemerintah.

Selama tahun-tahun berikutnya, para advokat melobi pembuat undang-undang dan meluncurkan demonstrasi publik. Film-film dan acara televisi Thailand semakin banyak menggambarkan hubungan LGBTQ. Pada tahun 2023, survei pemerintah Thailand lainnya menemukan bahwa 96,6 persen dari populasi sekarang mendukung legalisasi pernikahan sesama jenis.

Terdapat beragam pendapat mengenai hubungan sesama jenis dalam agama Buddha Theravada, agama mayoritas warga Thailand. Namun, secara umum para pemimpin Buddha belum mengambil sikap tegas terhadap undang-undang baru tersebut.

Sebaliknya, “penolakan terhadap pernikahan sesama jenis terutama berasal dari minoritas muslim yang kecil di Thailand,” catat The Nation, sebuah media berita berbahasa Inggris Thailand.

Yang tidak disebutkan adalah minoritas Kristen di Thailand yang bahkan lebih kecil, yang diperkirakan berjumlah sekitar 1 persen dari total penduduk.

Chatchai Charuwatee, pendeta di First Presbyterian Church (Samray) di Bangkok, mengatakan bahwa sebagian besar gereja Thailand memiliki sikap konservatif terhadap isu LGBTQ, dan mencatat bahwa gereja-gereja telah menyampaikan surat keprihatinan kepada Majelis Nasional yang menyatakan penolakan terhadap legalisasi pernikahan sesama jenis.

Namun, ia mengatakan perubahan dalam undang-undang ini “tidak terlalu memengaruhi bagian mana pun dari gereja-gereja lokal,” karena undang-undang tersebut tidak secara khusus ditujukan kepada “entitas keagamaan atau pelayanan keagamaan.” Ia yakin pemerintah Thailand secara umum melindungi komunitas-komunitas agama dan hak mereka untuk menjalankan kepercayaan mereka, yang berarti undang-undang baru tersebut kemungkinan tidak akan menimbulkan masalah hukum bagi gereja. Misalnya, dia tidak berpikir bahwa sebuah gereja akan menghadapi hukuman jika menolak untuk menyelenggarakan upacara pernikahan sesama jenis.

Namun, meskipun Chatchai bersedia secara terbuka membagikan keyakinannya tentang topik-topik kontroversial jika diperlukan (bahkan pernah tampil di sebuah acara televisi Thailand untuk membahas pandangan umat Kristen tentang isu LGBTQ), Chatchai tidak ingin umat Kristen dikenal karena memperdebatkan isu seksualitas di ruang publik. Seperti Vara, ia lebih memilih menjalin hubungan pribadi dan berbicara langsung dengan individu yang sedang bergumul atau memiliki pertanyaan. Pendekatan ini mengurangi risiko kesalahpahaman dan menyinggung perasaan.

“Saya percaya bahwa pesan Injil itu sendiri akan menyadarkan jiwa para pendengarnya dan secara alami akan menuntun mereka untuk ingin mengubah gaya hidup mereka jika mereka adalah individu LGBTQ,” kata Chatchai.

Chatchai teringat saat mengenal pasangan sesama jenis yang menghadiri gereja lain yang pernah ia gembalakan di awal kariernya. Dia berpikir untuk membahas hubungan mereka secara langsung, tetapi akhirnya memutuskan untuk tidak melakukannya.

“Saya rasa mereka tidak akan mendengarkan saya karena mereka akan merasa saya seperti hakim bagi mereka, bukan teman,” kenang Chatchai. “Jadi, saya mulai menjadi teman.”

Pasangan itu menghadiri pelajaran Alkitab dengan Chatchai selama beberapa bulan. Dia juga mulai mengunjungi mereka di rumah dan mempelajari lebih lanjut tentang kehidupan dan hubungan mereka. Akhirnya, kedua wanita itu memberi tahu Chatchai bahwa mereka telah memutuskan untuk tidak lagi menjadi pasangan romantis.

“Mereka ingin mengakhiri hubungan semacam itu,” katanya. “Itu adalah pekerjaan Roh Kudus sendiri.”

Lebih memilih percakapan pribadi daripada pernyataan publik tampaknya menjadi pendekatan umum bagi banyak pemimpin Kristen Thailand. Selain pelayanan gerejanya, Chatchai juga menjabat sebagai dewan CGN Thai, sebuah media yang memproduksi konten Kristen berbahasa Thailand. Sebelumnya media tersebut pernah membahas isu LGBTQ. Namun beberapa tahun lalu ketika staf CGN mengusulkan untuk memproduksi video sepuluh menit yang menjelaskan keyakinan Kristen tentang isu ini, dewan menolak usulan tersebut.

“Kami rasa sepuluh menit tidak akan cukup untuk menjelaskan bagaimana kami mengasihi kaum LGBT dan bagaimana kami menanggapi mereka,” kata Chatchai mengenai keputusan tersebut.

Chatchai juga ingin agar pimpinan tiga kelompok Protestan utama Thailand—Gereja Kristus di Thailand, Persekutuan Injili Thailand, dan Konvensi Baptis Thailand—memimpin pembicaraan mengenai isu ini, terutama setelah pengesahan undang-undang baru. Ia mengatakan tidaklah tepat jika organisasi parachurch seperti CGN mengambil peran utama membahas topik ini.

Chris Flanders, mantan misionaris Amerika di Thailand dan kini menjadi profesor di bidang misi dan pelayanan antarbudaya di Universitas Kristen Abilene, mengatakan bahwa terdapat preseden dalam Perjanjian Baru untuk pendekatan yang lembut dalam pemuridan, seperti yang diutamakan oleh banyak pendeta di Thailand.

Tentu saja, Yesus kadang-kadang berbicara secara terang-terangan, bahkan tegas, selama pelayanan-Nya. Namun Flanders mengatakan bahwa dalam beberapa situasi, Yesus memilih berinteraksi dengan orang-orang secara tidak langsung, yang mana lebih mudah dipahami oleh orang-orang Thailand, dengan merujuk pada tanggapan Yesus kepada Yakobus dan Yohanes dalam Markus 10, serta kisah tentang wanita yang kedapatan berzinah dalam Yohanes 8.

Ketika membahas berbagai filosofi pendekatan ini, umat Kristen Thailand harus ingat bahwa komunitas mereka berjumlah kurang dari satu juta dari 77 juta penduduk negara tersebut, kata Chatchai.

“Jadi fokus dan prioritas kita,” katanya, “harus diarahkan pada penginjilan dan bukan pada perdebatan.”

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, FacebookTwitter, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Gen Z Tidak Butuh Injil yang Lunak

Kenna Hartian

Pemimpin Kristen dapat memenuhi kerinduan kita akan autentisitas dan stabilitas dengan pesan tentang kekudusan dan anugerah dari Kristus.

Public Theology Project

Problem Kepanikan

Di tempat di mana Petrus pernah berdiri di tempat Pan, kita dapat mendengar suara yang mengubah segalanya.

Masalah Besar dalam Kelompok Kecil

Nik Schatz

Seorang pendeta memberikan saran praktis bagi tiga kendala utama dalam kelompok kecil gereja: Penitipan anak, komitmen, dan anggota yang terlalu banyak bicara.

Dunia Berkata: Percepatlah. Gereja Berkata: Tinggallah.

Aryana Petrosky

Berdoa, berpuasa, dan membaca Alkitab bersama komunitas membuat hari-hari kita terasa lebih lapang.

Alkitab Lebih dari Sekadar Buku yang Harus Diketahui

J.T. English

Alkitab adalah kisah yang harus dihidupi dan para rohaniwan harus memimpin jalannya.

Menggembalakan dengan Senyuman Palsu

Wes Faulk

Saya sering menyembunyikan pergumulan saya dari gereja karena saya takut orang-orang akan memanfaatkannya untuk menyerang saya.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube