Saya termasuk orang yang kompetitif, menurut sebagian orang. Kebencian saya terhadap kekalahan melebihi kegembiraan saya terhadap kemenangan. Seperti yang saya katakan kepada anak saya yang berusia 6 tahun sebelum pertandingan sepak bolanya, “Selamat bersenang-senang hari ini. Namun ingat: Menang lebih menyenangkan.” Istri saya tidak menyukainya, tetapi itu benar.
Saya suka berjuang untuk bisa menjadi yang terbaik dan melatih disiplin. Saya ingin menjadi yang terbaik—berlatih lebih keras, bekerja lebih keras, dan unggul dalam kompetisi. Rasa tidak ingin kalah ini telah membantu saya dalam hampir setiap aspek kehidupan saya. Saya sangat menyukai sifat yang saya miliki ini. Namun dalam kehidupan Kristen, saya juga berpikir dorongan saya untuk menjadi yang terbaik dapat menjadikan saya orang paling buruk secara rohani.
Saat menelusuri dunia media sosial, saya memperhatikan generasi baru para influenser, kebanyakan pria, yang menargetkan pria seperti saya. Saya seorang milenial, dan tampaknya algoritma media sosial berusaha memikat saya dengan iming-iming kesuksesan lewat kerja keras tanpa henti, yang awalnya tampak menggoda.
David Goggins, seorang pensiunan Navy SEAL yang terkenal karena prestasi ultra-atletisnya, mempromosikan 75 Hard Challenge yang mencakup diet, olahraga harian, membaca, dan gambar harian. Hal ini sebagian adalah disiplin, sebagian pengembangan diri. Tujuannya adalah berkomitmen pada sesuatu yang sulit dan melakukannya setiap hari.
Andrew Huberman, seorang ahli saraf dan profesor di Stanford, memiliki siniar yang viral di mana dia memopulerkan penelitian tentang kinerja manusia dan pertumbuhan pola pikir—mulai dari kapan harus makan dan berolahraga hingga manfaat terjun ke air dingin. Saya pernah melihat Andy Elliott, seorang pelatih dalam bidang penjualan dan bisnis, mengajak orang-orang untuk menanggalkan bajunya dan mempermalukan lemak mereka. Atau, dalam video lain yang lebih sedikit umpatannya, Elliott meminta orang-orang untuk berdoa, “Tuhan, hilangkan kelemahan-kelemahanku.”
Daftarnya bisa panjang: Ryan Pineda yang membahas pembelian real estat dan menghasilkan banyak uang. Kris Krohn bangun pukul 4 pagi untuk mendengarkan bacaan dari sebuah buku dengan kecepatan ganda, membangun istana pikiran, dan membisikkan afirmasi kepada istrinya, yang berolahraga di sampingnya di treadmill. Alex Hormozi, yang memberi tahu kita cara bernapas lebih baik dengan strip hidungnya yang terkenal—dan juga cara sukses dalam pekerjaan sampingan. Banyak dari orang-orang ini menggunakan iman atau kekristenan untuk berbicara tentang apa yang juga mereka lakukan.
Tampaknya orang-orang ini menghasilkan banyak uang (dan mereka akan meminta banyak uang dari Anda untuk membantu Anda). Mereka menjanjikan bahwa kekayaan akan memberi Anda kehidupan yang Anda inginkan. Orang-orang membayar dan memperhatikan—terutama kaum muda.
Dalam kondisi terbaiknya, kelompok guru baru ini mengenali realitas kehidupan yang berwujud. Anda tidak dapat menjadi sehat hanya dengan berpikir saja. Terkadang pria, khususnya pria Kristen, perlu keluar dari pikiran mereka dan memasuki dunia konkret di sekitar mereka.
Para guru ini mengajarkan bahwa sinar matahari baik untuk kesehatan Anda, jadi pergilah keluar. Ritme bersifat formatif, jadi pastikan Anda mengembangkan ritme yang baik. Uang itu berharga, jadi berusahalah bekerja keras untuk mendapatkannya. Mereka dapat mengajak kaum muda menuju standar yang lebih tinggi dan menanamkan tujuan serta disiplin kepada kaum muda yang tidak memiliki tujuan.
Pesan-pesan seperti itu juga tidak absen dari iman Kristen. “Latihlah dirimu beribadah” (1Tim. 4:7) tulis rasul Paulus, menggunakan kata Yunani yang memiliki akar kata yang sama dengan kata gymnasium. Lalu di bagian lain, dia memerintahkan “Kerjakan keselamatanmu” (Flp. 2:12). Dia juga menggunakan istilah peperangan saat menyemangati jemaat di Efesus untuk mengenakan perlengkapan senjata Allah agar dapat melawan tipu muslihat Iblis (Ef. 6). Menang! Disiplin! Lawan!
Namun di balik pesan-pesan modern ini terdapat pula keinginan yang lebih dalam dan lebih menyimpang: Selalu ada lebih banyak hal untuk dilakukan, lebih banyak hal untuk dibaca, lebih banyak uang untuk dihasilkan, lebih banyak pengalaman untuk dimiliki, lebih banyak orang untuk dikalahkan. Hidup ini dirancang untuk bekerja keras. Tampillah. Lakukan lebih baik. Uang adalah kekuatan, jadi dapatkanlah. Lalu yang belum diketahui oleh generasi muda adalah bahwa pola pikir ini membuat Anda lelah.
Dalam kekristenan, kita menyerukan standar kasih karunia yang lebih tinggi, yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau perjuangan kita.
Anda tidak dapat mencapai kekudusan dengan cara gampang, sebab kekudusan adalah proses yang lambat—sebuah “ketaatan yang panjang dalam arah yang sama”, sebagaimana dikatakan Eugene Peterson. Pembentukan bukan soal produktivitas, melainkan lebih soal ketenangan. Cara hidup ini memerlukan kedisiplinan, tetapi ini adalah disiplin dalam ketiadaan, bukan kinerja. Seruan perang dari pembentukan bukanlah selalu “Berperang untuk Tuhan!” tetapi “TUHAN akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja” (Kel. 14:14).
Kata-kata ini tidak menggugah kepekaan saya sebagai orang Barat. Saya ingin mendapatkan apa yang pantas saya dapatkan.
”Pantas” adalah bahasa orang Amerika yang sangat kuat. Ini adalah adil dan benar. Inilah standar keberhasilan. Inilah salah satu alasan mengapa tradisi monastik menganjurkan untuk menjalani kehidupan kontemplatif setelah usia 40 tahun. Sebelum itu, kita terlalu ambisius. Keinginan kita untuk menjadi produktif terlalu kuat untuk mencari wajah Allah.
Persoalan dengan para mentor daring ini adalah saya tidak tahu apakah mereka mempertimbangkan kematian. (Bahkan ada film dokumenter Netflix yang populer tentang seorang pria yang berpikir dia dapat mengalahkan kematian.) Mereka mencintai masa muda karena mereka mencintai kehidupan, dan masa muda identik dengan kehidupan di dunia modern. Inilah bagian tersulitnya: Kita semua sedang menuju kematian. Kita sedang menuju penuaan, kerutan, kelemahan. Jika kita tidak merasa nyaman dengan kematian yang lambat saat ini, maka kita akan mengalami kesulitan dalam masa penuaan di kemudian hari.
Dalam sebuah surat kepada aktivis sosial Katolik Dorothy Day, biarawan Katolik Thomas Merton menulis tentang perjuangan dan ketidakselarasan serta apa yang harus dilakukan terhadap hal tersebut. Kata ketekunan muncul—melewati semua tantangan hidup dan tetap maju. Inilah yang ditulis Merton:
Ketekunan—ya, semakin banyak orang yang melihat bahwa itu adalah hal yang hebat. Namun ada satu hal yang tidak boleh diabaikan. Ketekunan bukanlah bertahan pada arah yang telah kita tentukan dan menolak untuk melepaskannya. Ketekunan bahkan bukan soal memegang teguh iman dan tidak membiarkan iblis melepaskan kita darinya—meskipun banyak orang kudus membuatnya tampak seperti itu.
Karena sifat kompetitif saya, saya ingin bertahan. Saya ingin bertarung. Saya ingin menang. Saya ingin menjadi orang suci yang tidak melepaskan usaha keras saya. Dalam kehidupan pekerjaan saya, mentalitas ini efektif. Saya dapat bekerja keras dengan cara saya untuk mencapai kesuksesan. Namun dalam kehidupan jiwa, kekuatan saya mungkin adalah kelemahan saya. Berusaha keras sering kali bukan jalan menuju kekudusan.
Merton melanjutkan:
Sungguh, ada sesuatu yang kurang dalam harapan seperti itu. Pengharapan adalah skandal yang lebih besar dari yang kita duga. Saya mulai berpikir bahwa Allah … sangat mengasihi dan menolong mereka yang sangat terpuruk dan tidak memiliki apa-apa saat mereka akan meninggal, sehingga seolah-olah mereka tidak bertekun dalam apa pun, tetapi secara bertahap kehilangan segalanya, sedikit demi sedikit, sampai tidak ada yang tersisa kecuali Allah. Oleh karena itu, ketekunan bukanlah bertahan, melainkan melepaskan. Hal itu tentu saja mengerikan.
Rasul Paulus mengatakan sesuatu yang serupa dalam 2 Korintus 11–12. Alih-alih membanggakan silsilah rohani dan pengalamannya kepada jemaat Korintus untuk membuktikan legitimasinya, dia membanggakan kegagalan dan kelemahannya: pemenjaraan, cambukan, bahaya, kelaparan, kehausan.
Alasannya adalah karena sejak Tuhan berkata kepada Paulus, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna,” Paulus mengambil keputusan untuk “bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku” (2Kor. 12:9).
Bagi Paulus, ketekunan mencakup melepaskan. Pembentukan berarti penyerahan diri. Kelemahannya membuktikan kuasa Allah, yang berarti skandal ketekunan adalah ini: Bahkan di dalam kekosongan, Allah mengasihi kita.
“Kita bukanlah apa yang kita lakukan. Kita bukanlah apa yang kita miliki. “Kita bukanlah apa yang orang lain pikirkan tentang kita,” tulis Henri Nouwen. “Pulang ke rumah berarti mengklaim kebenaran. Saya adalah anak kesayangan Sang Pencipta yang penuh kasih.” Kita adalah anak-anak kesayangan Allah, tidak peduli seberapa baik kita berpegang teguh pada iman, tidak peduli apa pun tips kebugaran yang kita lakukan, tidak peduli berapa pun tingkat pendapatan kita, dan bahkan tidak peduli rutinitas apa yang kita buat.
Jadi pada momen-momen ketika Anda kehabisan tenaga karena tergesa-gesa dan merasa sudah di ujung tanduk, Allah hadir, dan Anda tetap anak kesayangan-Nya. Ini adalah kebenaran yang menggetarkan. Namun ini juga merupakan berita yang sangat bagus.
Alexander Sosler adalah profesor madya Alkitab dan pelayanan di Montreat College dan pendeta pembantu di Gereja Anglikan Redeemer di Asheville, Carolina Utara. Dia adalah penulis A Short Guide to Spiritual Formation: Finding Life in Truth, Goodness, Beauty, and Community, pemenang Christian Living Book of the Year dari Christianity Today di tahun 2024.
Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.