Theology

Karunia Rohani dengan Syarat dan Ketentuan?

Bagaimana konsep timbal balik dapat membangun gereja?

Several gifts set in a row with their ribbons connected.
Christianity Today February 24, 2025
Ilustrasi oleh Elizabeth Kaye/ Sumber Gambar: Pexels

Saya masih ingat momen itu, saya duduk di meja, pensil 2B di tangan, menghitamkan bulatan putih kecil sambil membaca soal demi soal yang ada di depan saya. Saya berusia sekitar 13 tahun, dan saya belum pernah mengerjakan tes pilihan ganda seperti ini. Apa yang akan dikatakan hasil tersebut tentang saya, dan apa artinya bagi masa depan saya?

Jawabannya tidak akan menonjolkan kemampuan matematika atau ilmu sosial saya, melainkan karunia rohani saya. Tes itu adalah puncak dari kelas yang saya ikuti di gereja saya. Selama beberapa minggu, kami duduk di dalam ruang kelas yang sederhana dan bermanfaat untuk belajar tentang bagaimana Roh Kudus memberikan kemampuan khusus kepada kita masing-masing untuk digunakan dalam pelayanan. Saya sangat ingin tahu bagaimana Allah akan memakai saya untuk membangun kerajaan-Nya.

Ketika semua bulatan yang dihitamkan sudah dihitung, saya menatap hasilnya dengan perasaan campur aduk antara bangga dan gemetar. Karunia mengajar mendapat angka tertinggi. Karunia memberi juga mendapat nilai tinggi. Karunia belas kasihan hampir tidak mendapat angka, yang terasa agak memalukan. Untuk beberapa karunia lainnya saya hampir tidak tahu artinya. Apa artinya karunia bernubuat? Apa saya bisa melihat masa depan?

Tiga puluh tahun kemudian, saya dapat mengatakan hasil tes karunia itu tepat dalam beberapa hal, terutama berkaitan dengan mengajar. Namun, saya juga menyadari tes itu mungkin tidak punya standar yang tepat. Pendekatan individualistisnya terhadap karunia rohani tidak tepat sasaran.

Rasul Paulus lebih berfokus pada karunia rohani dibandingkan penulis Alkitab lainnya. Namun, saya tidak dapat membayangkan dia meneliti hasil tes karunia rohaninya atau dengan bangga mengidentifikasi dirinya sebagai Tipe Enneagram Satu. Paulus tidak tertarik pada pemberdayaan pribadi atau penemuan jati diri.

Salah satu hal yang menyebabkan hal ini membingungkan adalah kata karunia. Dalam bahasa Inggris, karunia dapat berarti sesuatu yang kita berikan kepada orang lain atau kekuatan yang dimiliki oleh seseorang. Kita mungkin berkata, “Dia benar-benar berbakat dalam berbicara.” Namun bukan itu yang ada dalam pikiran Paulus.

Paulus menggunakan kata charisma untuk merujuk kepada berbagai pelayanan yang menjadi panggilan Allah bagi orang percaya. Charisma, atau “karunia,” bersumber dari kata Yunani yang berarti “anugerah” ( charis). Karunia-karunia rohani, sebagaimana kita menyebutnya, adalah anugerah yang berwujud. Kita adalah karunia bagi satu sama lain.

Untuk mengetahui mengapa Paulus berbicara tentang karunia rohani dengan cara ini, kita harus melihat bagaimana dia memahami anugerah. Kita biasanya mengasosiasikan anugerah dengan kebaikan hati Allah yang tidak layak kita terima, tetapi Dia tetap berikan juga untuk menyelamatkan kita. Namun orang-orang percaya di abad pertama tidak akan melantunkan pujian “Amazing Grace” (Kasih Karunia yang Mengagumkan), karena anugerah bukanlah kata yang lazim dalam agama pada waktu itu. Kata ini berarti perekat sosial yang mengikat manusia satu sama lain dalam hubungan yang saling mendukung.

Sedikit sejarah seni dapat membantu kita memahami apa arti anugerah bagi Paulus dan gereja mula-mula. Dalam mitologi Yunani ada yang disebut sebagai tiga Graces yang menjadi acuan bagi orang-orang di zaman Paulus untuk memahami anugerah. Sebuah lukisan tentang Graces dalam mitologi Yunani menggambarkan tiga wanita muda yang sedang menari, masing-masing saling berpegangan tangan membentuk lingkaran. Dalam lukisan Sandro Botticelli “Primavera” yang detail ini dari tahun 1400-an, pakaian ketiga perempuan itu nyaris transparan; seperti kemurahan hati dalam pemberian hadiah, tidak ada yang disembunyikan. Bersama-sama, mereka melambangkan tiga dimensi anugerah: Kemurahan hati sang pemberi, pemberian itu sendiri, dan rasa syukur yang ditimbulkan dari pemberian itu.

Wikimedia Commons
Primavera oleh Sandro Botticelli

Anugerah, ternyata, selalu membutuhkan satu sama lain. Satu anugerah saja tidak akan lengkap—misalnya, pemberian yang diterima tanpa rasa syukur. Para wanita dalam lukisan itu berdiri berjinjit, yang menunjukkan adanya gerakan. Tarian timbal balik mereka yang anggun menggambarkan ikatan persahabatan. Itulah anugerah, gaya abad pertama.

Dalam dunia Barat modern, kita menghargai pemberian tanpa pamrih karena pemberian tersebut menjaga otonomi kita, kita tidak terikat pada siapa pun. Dalam konteks kolektivis Paulus, pemberian hadiah tidak pernah menjadi tindakan yang terisolasi, melainkan merupakan bagian dari tarian abadi antara si pemberi dan si penerima yang menciptakan saling ketergantungan dan kesenangan yang berkelanjutan.

Pemberian anugerah adalah undangan untuk memasuki komunitas, berikut hak istimewa dan kewajiban yang menyertainya. Menerima pemberian berarti menerima semua yang menyertainya, termasuk tugas untuk membalas budi si pemberi dengan menggunakan pemberian itu secara terhormat. Dengan kata lain, anugerah datang dengan syarat dan ketentuan tertentu—dalam artian yang terbaik.

Setiap kali Paulus berbicara tentang “anugerah” yang “diberikan”—dan dia melakukannya setidaknya 12 kali dalam surat-suratnya—dia mengacu pada tugas pelayanan tertentu. Dia berkata, “Tetapi kepada kita masing-masing telah dianugerahkan kasih karunia menurut ukuran pemberian Kristus” (Ef. 4:7). Dia tidak berbicara tentang anugerah keselamatan; dia juga tidak berfokus pada kekuatan super individu. Dia hendak menjelaskan peran-peran dari pelayanan. Bahasanya di sini sesuai dengan apa yang dia katakan sebelumnya mengenai pelayanannya sendiri, di pasal 3, ketika dia mengklaim, “Kepadaku, yang paling hina di antara segala orang kudus, telah dianugerahkan kasih karunia ini, untuk memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi kekayaan Kristus, yang tidak terduga itu” (3:8).

Tarian anugerah yang melingkar tampak jelas dalam tulisan Paulus. Baginya, anugerah yang diberikan Allah lebih merupakan sebuah tugas pelayanan daripada suatu kemampuan tertentu. Lalu Paulus menjelaskan secara rinci tujuan dari tugas pelayanan ini:

Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. (4:11–13)

Paulus tidak berbicara tentang karunia rohani sebagai paket ilahi yang tiba di depan pintu rumah setiap orang, melainkan sebagai orang-orang yang diutus untuk membangun gereja. Saat kita memberikan pelayanan kita kepada komunitas gereja, kita memberikan karunia pelayanan tersebut kepada orang lain. Kita menjadi anugerah.

Karunia-karunia, atau anugerah, yang Tuhan berikan kepada gereja-Nya adalah orang-orang yang memupuk kedewasaan kolektif dengan melakukan apa yang Tuhan panggil untuk mereka lakukan. Karunia-karunia ini tidak bekerja sendiri-sendiri, dan karunia-karunia ini bukan milik kita untuk kita simpan. Seperti yang kita pelajari di Sekolah Minggu, pelita kita tidak dimaksudkan untuk disembunyikan di bawah gantang. Pelita-pelita itu dimaksudkan untuk bersinar.

Paulus mengajak kita semua untuk menggunakan karunia yang diberikan Allah demi kepentingan orang lain. Kita tidak mengaktifkan karunia-karunia kita dengan berfokus pada diri kita sendiri, melainkan dengan mengelola anugerah Allah secara kolektif. Tekanan hidup atau dinamika jemaat dapat membuat kita menjadi orang yang pendiam, tetapi kita diciptakan untuk lantai dansa.

Menahan karunia rohani kita—pelayanan kita dan diri kita sendiri—berarti memiskinkan komunitas kita. Paulus menulis, “Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama” (1Kor. 12:7). Kita tidak hanya menerima karunia-karunia Roh; kita adalah karunia-karunia Roh bagi satu sama lain.

Kemudian karunia-karunia ini memiliki syarat dan ketentuan. Jika gereja menolak untuk menerima seseorang melayani untuk memenuhi tugas pelayanan mereka dari Allah, maka tarian kasih karunia akan terhenti.

Anugerah Paulus—panggilannya dari Allah—adalah untuk membawa Injil kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi. Anugerah mendorong Paulus untuk menyampaikan karunia itu dengan melayani gereja yang tidak selalu tahu apa yang harus dilakukan dengannya.

Paulus memperkenalkan dirinya kepada jemaat Galatia sebagai “Paulus, seorang rasul, bukan karena manusia, juga bukan oleh seorang manusia, melainkan oleh Yesus Kristus dan Allah, Bapa, yang telah membangkitkan Dia dari antara orang mati” (Gal. 1:1). Paulus memahami panggilannya sebagai arahan ilahi. Dia telah diutus. Dia adalah sebuah karunia. Dia tahu bahwa dia tidak punya pilihan lain selain menanggapi kasih karunia Allah dengan melayani orang lain, meskipun pelayanannya disertai dengan penderitaan yang luar biasa dan pengorbanan pribadi.

Saya bertanya-tanya apakah tes karunia rohani dan tes kepribadian kita akan membatasi kita pada zona nyaman, padahal kita seharusnya bisa melakukan lebih dari itu. Anugerah tidak selalu selaras dengan karunia dan kemampuan alami kita; terkadang Allah memanggil kita untuk melayani gereja dengan cara yang tidak nyaman. Intinya bukanlah pemenuhan diri sendiri, melainkan pelayanan.

Kemurahan hati adalah skor terendah saya pada tes karunia rohani yang saya ikuti di tahun 90-an. Berdasarkan tes itu, lebih tepat bagi saya untuk menjadi seorang profesor Alkitab dan bukan seorang perawat orang sakit. Peran sebagai perawat tidak cocok bagi saya. Namun, Allah baru-baru ini memberi saya tugas baru untuk mendukung anggota keluarga yang menderita demensia. Yang mengejutkan, sejauh ini tugasnya berjalan mulus. Saya dapat merasakan penguatan dari Roh Kudus saat saya bekerja sama dengan sesama orang percaya yang juga ada di sana untuk membantu. Saya akan kehilangan banyak hal jika mengatakan tidak pada tugas ini.

Tes karunia rohani itu tidak sepenuhnya tepat. Tes itu mengasumsikan bahwa saya perlu mencari ke dalam diri saya sendiri untuk menemukan kekuatan rohani tersembunyi yang akan membantu saya memutuskan bagaimana menjalani hidup. Pendekatan yang lebih baik adalah berdoa kepada Allah, bersama-sama dengan komunitas kita, ke mana Dia ingin kita melayani, kemudian berupaya mengelola kesempatan tersebut dengan setia. Panggilan sering kali ditemukan secara komunal.

Kita membutuhkan satu sama lain untuk menjadi komunitas Kristen yang melaluinya kehadiran Allah dinyatakan kepada dunia. Itulah satu-satunya cara kita dapat mengalami kepenuhan kasih karunia Allah dalam arti yang sesungguhnya dari kata tersebut.

Carmen Joy Imes adalah profesor madya Perjanjian Lama di Universitas Biola dan penulis Bearing God’s Name dan Being God’s Image. Saat ini dia sedang menulis buku berikutnya, Becoming God’s Family: Why the Church Still Matters.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, FacebookTwitter, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Perdukunan di Indonesia

Bolehkah orang Kristen mempraktikkan ‘ilmu putih’ untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan?

News

Wafat: James Dobson, yang Mengajarkan Kaum Injili untuk Berfokus pada Keluarga

Psikolog anak ini menjawab ratusan ribu pertanyaan tentang pengasuhan anak dan mendesak umat Kristen untuk berjuang dalam “perang nilai-nilai” Amerika.

Tuhan Cemburu, tetapi Tidak Pernah Iri Hati

Kita sering memperlakukan dua kata ini sebagai sinonim. Dalam Kitab Suci, keduanya hampir bertolak belakang.

Public Theology Project

Gereja Itu Rapuh—Namun Tak Tergoyahkan

Kita mungkin sedih melihat keadaan gereja, tetapi kita tetap bisa mengasihi dan memperjuangkannya.

Mengapa Kita Sangat Ingin Mengukur Kecerdasan?

Kemampuan manusia untuk bernalar tidak sama dengan AI dalam mengumpulkan informasi.

Tetap Termotivasi dalam Pelayanan (Saat Anda Tidak Merasa Termotivasi)

Ketika pelayanan menjadi rutinitas yang membosankan, motivasi pun mengering. Namun kasih karunia Allah menghidupkan kembali apa yang tidak pernah dapat dihidupkan oleh rasa bersalah dan kerja keras.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube