News

Makin Banyak Orang Kristen Menonton Pornografi, Namun Sedikit yang Berpikir Itu Masalah

Pelayanan diperluas hingga menjangkau 54 persen jemaat gereja yang mengaku menonton pornografi daring.

Christianity Today January 31, 2025
Illustration by Christianity Today / Source Images: Getty

Penggunaan pornografi terus meningkat selama dekade terakhir, terutama di kalangan anak muda yang terpapar gambar eksplisit lebih dini dari sebelumnya. Namun sebagian besar orang Amerika saat ini tidak melihat pornografi sebagai hal buruk bagi masyarakat, dan banyak orang Kristen mengatakan mereka tidak khawatir dengan dampaknya.

Demikian menurut laporan baru yang dirilis oleh Barna dan Pure Desire, sebuah pelayanan bagi orang-orang yang kecanduan pornografi.

Para peneliti menemukan bahwa 61 persen orang Amerika mengatakan mereka menonton film porno setidaknya sesekali, naik dari 55 persen dalam survei Barna tahun 2015 tentang topik tersebut. Lebih banyak wanita menonton film porno dibandingkan sebelumnya (44% berbanding 39% sembilan tahun lalu).

Di gereja, pendeta sekarang lebih cenderung melaporkan riwayat pribadi penggunaan pornografi (67% berbanding 57% sembilan tahun lalu). Hampir 1 dari 5 pendeta mengatakan mereka saat ini berjuang melawan pornografi. Dan di antara orang Kristen yang menghadiri kebaktian dalam sebulan terakhir, lebih dari separuhnya mengatakan mereka menonton pornografi setidaknya sesekali.

“Konsumsi pornografi tidak lagi terbatas pada kelompok demografi atau subkultur tertentu,” menurut laporan itu. “Hal ini menyentuh semua lapisan masyarakat (dari muda hingga tua) tanpa memandang jenis kelamin, status sosial, atau keyakinan agama.”

Data baru ini selaras dengan penelitian lain yang menunjukkan peningkatan dramatis dalam jumlah pornografi daring yang dibuat dan dikonsumsi selama beberapa tahun terakhir.

Sebuah studi terkini menunjukkan 2,5 juta orang menonton pornografi daring setiap menit, dan konsumsi pornografi daring telah meningkat sebesar 91 persen sejak tahun 2000. Meningkatnya ketersediaan, kemudahan akses ke pornografi di internet, dan bahkan isolasi sosial yang diperburuk oleh karantina akibat pandemi COVID-19 dipandang sebagai faktor utama yang menyebabkan peningkatan tersebut.

Beberapa upaya berbasis agama untuk mengekang pertumbuhan industri pornografi daring menganjurkan pembatasan hukum, termasuk dorongan untuk disahkannya undang-undang verifikasi usia dan peraturan yang lebih ketat pada pembuat perangkat teknologi. Pelayanan-pelayanan lain berfokus pada membantu individu mengatasi kebiasaan pornografi.

Para pemimpin dari Barna dan Pure Desire mengatakan mereka berharap penelitian mereka menyoroti meluasnya pornografi dan mendorong lebih banyak pendeta serta staf gereja untuk memprioritaskan dukungan bagi mereka yang sedang bergumul akan pornografi. Namun, statistik mungkin mengungkap rintangan yang bahkan lebih besar: Banyak orang, termasuk orang Kristen, tidak melihat adanya masalah dengan hal itu.

“Dari lima orang, ada lebih dari tiga orang Kristen (62%) mengatakan kepada Barna bahwa mereka setuju seseorang dapat secara teratur menonton pornografi dan menjalani kehidupan seksual yang sehat,” tulis laporan tersebut. Angka itu hanya beda empat persen dari seluruh orang dewasa AS (66%) yang tidak menganggap menonton pornografi sebagai sesuatu yang berbahaya.

Terlebih lagi, 49 persen orang Kristen yang taat, yang mengakui secara pribadi pernah menonton pornografi, mengatakan bahwa mereka “nyaman dengan seberapa banyak pornografi” yang mereka tonton.

“Hal itu sama sekali bukan masalah besar bagi mereka … tidak ada rasa urgensi sama sekali,” kata Sean McDowell, seorang profesor di Universitas Biola dan pembawa acara siniar Think Biblically. “Menurut saya, ini adalah contoh di mana orang-orang lebih banyak mengambil petunjuk dari budaya dan ide-ide di sekitar kita dibanding dari Kitab Suci dan wawasan dunia Kristen mereka.”

Akan tetapi, dalam penelitian tersebut, responden yang mengatakan bahwa mereka menonton pornografi setidaknya semi-reguler lebih mungkin melaporkan sering merasa cemas, kritis terhadap diri sendiri, mudah merasa kewalahan, dan depresi.

“Secara umum, ada korelasi langsung antara semakin banyak Anda menonton film porno dengan semakin tidak sehat Anda secara mental, emosional, dan relasional,” kata Nick Stumbo, direktur eksekutif di Pure Desire. “Kita tidak bisa baik-baik saja dengan perilaku yang merusak kesehatan mental, emosional, dan hubungan kita.”

Jajak pendapat terkini yang dilakukan Institute for Family Studies/YouGov melaporkan temuan serupa yang menghubungkan pemanfaatan pornografi dengan kesepian dan depresi. Para peneliti menandai kecanduan pornografi yang meluas sebagai masalah kesehatan masyarakat, dengan mencatat bagaimana situs-situs porno “menggunakan teknik yang sama seperti platform media sosial, seperti gulir tak terbatas, putar otomatis, dan konten yang dipersonalisasi, untuk membuat pengguna tetap terlibat,” dan seberapa sering pengguna mencari video yang lebih ekstrem saat mereka menjadi tidak peka.

Laporan Barna mencakup serangkaian pertanyaan yang difokuskan pada “trauma pengkhianatan,” atau dampak penggunaan pornografi seseorang terhadap pasangannya atau orang terdekatnya.

Perbedaan antara pria dan wanita sangat mencolok. Wanita setidaknya dua kali lebih mungkin mengatakan penggunaan pornografi oleh pasangannya merusak hubungan mereka dalam beberapa hal. Empat puluh empat persen wanita mengatakan mereka khawatir pasangannya tidak tertarik lagi pada mereka, yang merupakan kekhawatiran utama. Namun, jumlah pria yang sama—44 persen—melaporkan tidak ada kekhawatiran mengenai penggunaan pornografi oleh pasangannya.

Lalu ada dampak pornografi terhadap kaum muda. Laporan tersebut menunjukkan bahwa 39 persen orang dewasa Gen Z menonton film porno setiap hari atau setiap minggu. Ditambah lagi, lebih dari separuh generasi milenial muda dan orang dewasa Gen Z (usia 18–37) mengatakan mereka telah mengirimkan gambar telanjang diri mereka, dan tiga perempatnya mengatakan mereka telah menerimanya, demikian temuan Barna.

Penelitian terkini lainnya menunjukkan bahwa anak-anak melihat pornografi jauh lebih dini daripada generasi sebelumnya—usia rata-rata anak-anak pertama kali terpapar pornografi saat ini adalah 12 tahun.

Stumbo mengatakan Pure Desire sedang mengembangkan kurikulum pelatihan bagi orang tua yang mencari cara untuk membicarakan pornografi dengan anak-anak mereka. Namun, strategi itu pun menghadapi rintangan: Studi Barna bertanya kepada responden siapa atau apa yang memiliki dampak terbesar pada pandangan mereka tentang seks dan perilaku seksual. “Ibu saya” dan “ayah saya” berada pada peringkat yang lebih rendah dibandingkan dengan “teman-teman saya,” “televisi atau film,” “penelitian internet,” dan pornografi itu sendiri.

“Jika Anda benar-benar ingin membantu anak remaja Anda, salah satu hal terbaik yang dapat Anda lakukan adalah mengatasi kisah Anda sendiri dan kehancuran Anda dalam seksualitas Anda,” katanya. “Semakin sehat Anda, semakin sehat pula Anda dapat membantu anak remaja Anda untuk tumbuh.”

McDowell mengatakan penting bagi gereja untuk menyediakan sumber daya bagi orang-orang yang berjuang melawan pornografi, meskipun mereka mengaku tidak melihat adanya masalah dengan hal itu. Survei menemukan bahwa 83 persen orang dewasa yang memiliki riwayat penggunaan pornografi tidak memiliki seorang pun dalam hidup mereka yang membantu mereka untuk menghindar dari hal itu.

“Dugaan saya, [orang Kristen] tidak memperhatikan soal pornografi secara seksama karena mereka menganggap argumen yang menentangnya tidak meyakinkan,” katanya. “Sering kali ada rasa terluka, kehancuran, kecemasan, ada … pemicu stres yang mendasari dan teologi buruk yang menghalangi orang untuk mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.”

Dia menganjurkan agar selain mengajarkan tentang seksualitas yang sehat dari mimbar, setiap gereja hendaknya memiliki kelompok pendukung bagi orang-orang yang berjuang melawan segala jenis kecanduan, baik yang bersifat seksual maupun tidak.

Juli Slattery, seorang psikolog dan pendiri Authentic Intimacy, setuju bahwa menawarkan komunitas yang aman bagi orang-orang yang berjuang melawan pornografi adalah kuncinya. Dia adalah salah satu pakar yang memberikan tanggapan terhadap temuan laporan tersebut.

“Anda dapat memberi tahu orang-orang ‘Tuhan berkata berhentilah menonton film porno,’” tulis Slattery._ “Namun jika Anda tidak menyediakan alat dan komunitas bagi mereka untuk mengatasi masalah yang lebih dalam, banyak orang akan merasa benar-benar terjebak. [Banyak orang Kristen] tidak memahami apa yang hilang ketika seksualitas rusak karena mereka melihat seksualitas lebih sebagai etika perilaku dan bukan medan pertempuran rohani yang mendalam.”

Stumbo di Pure Desire mengatakan dia memperhatikan berkurangnya minat untuk menyelenggarakan pelayanan pemulihan pornografi di gereja-gereja selama beberapa tahun terakhir, setelah melonjaknya kesadaran dan minat akan hal tersebut di awal tahun 2000-an.

Kemajuan internet mendorong berdirinya beberapa pelayanan pemulihan pornografi, termasuk Covenant Eyes, yang menawarkan perangkat lunak untuk membantu orang menghindari pornografi daring, dan XXXchurch. Masalah ini terus menarik perhatian pada tahun-tahun berikutnya, terutama setelah peluncuran telepon pintar.

Survei Barna sebelumnya tentang penggunaan pornografi, “The Porn Phenomenon,” dirilis pada tahun 2016. Pada saat itu, “tampaknya ini adalah masa di mana gelembung ini meledak dan gereja-gereja berkata, ‘Kita harus melakukan sesuatu tentang pornografi,’” kata Stumbo. Dua tahun sebelumnya, Pure Desire telah merilis Conquer Series yang populer, sebuah kurikulum video pemulihan kecanduan pornografi yang kini telah ditonton oleh lebih dari 2 juta pria di lebih dari 100 negara.

“Pure Desire tumbuh pesat dalam beberapa tahun tersebut,” kata Stumbo. Sekitar waktu yang sama, pada tahun 2016, Covenant Eyes memperluas misinya dan mulai bermitra dengan pelayanan lain untuk meningkatkan kesadaran tentang pornografi di gereja. Setahun sebelumnya, orang Kristen mendirikan Protect Young Eyes, sebuah pelayanan untuk membantu sekolah dan keluarga membuat kebijakan teknologi yang aman untuk anak-anak.

Stumbo mengatakan fokus terhadap isu tersebut telah sedikit memudar sejak saat itu: “Jika kita melihat ke belakang … Saya pikir gereja telah berubah.”

Sikap apatis gereja terhadap pornografi secara tidak sengaja dapat memperkuat mitos umum lainnya: Survei Barna menunjukkan 66 persen orang dewasa percaya bahwa “dengan tekad yang cukup, seseorang dapat mengatasi kecanduan pornografi sendiri.”

Namun, seperti kecanduan apa pun, langkah pertama menuju pemulihan adalah mengakui bahwa Anda memiliki masalah. Jika hampir dua pertiga orang Kristen meyakini bahwa menonton pornografi secara teratur dan tetap menjalani hidup sehat adalah hal yang memungkinkan, maka langkah pertama itu mungkin adalah yang tersulit.

Normalisasi moral penggunaan pornografi bisa saja memiliki satu keuntungan kecil: CEO Barna, David Kinnaman, mengatakan responden survei jauh lebih bersedia untuk bersikap terbuka dan jujur mengenai kebiasaan menonton pornografi mereka dibandingkan sebelumnya—tren yang berguna bagi peneliti ilmu sosial untuk menangkap besarnya masalah tersebut. Dia menyamakan keterbukaan ini dengan meningkatnya keterbukaan generasi milenial dan Gen Z tentang pergumulan mereka akan kesehatan mental.

“Hal semacam ini dulunya lebih sulit ditanyakan,” kata Kinnaman. “Sungguh luar biasa betapa jujurnya orang-orang … terutama di dunia maya.”

Kinnaman mengatakan, dia berharap penelitian ini akan meyakinkan para pendeta untuk memperhatikan pergumulan jemaat mereka terhadap pornografi di semua bidang pemuridan. Artinya, mengajarkan pandangan biblikal tentang keutuhan seksual dari mimbar dan membina komunitas sejati di antara kelompok-kelompok kecil, tempat orang-orang dapat menemukan alternatif dari “naskah internal” yang membuat mereka merasionalisasi dosa-dosa mereka.

Namun dia khawatir masalah itu tidak akan hilang dalam waktu dekat. Setiap survei mendorong peneliti untuk mulai memikirkan pertanyaan yang akan mereka ajukan lain kali, katanya, dan survei ini tidak terkecuali.

“Kami pikir kita sekarang hidup di era pornografi,” katanya. “Tunggu saja sampai era AI.”

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui emailFacebookTwitterInstagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Perdukunan di Indonesia

Bolehkah orang Kristen mempraktikkan ‘ilmu putih’ untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan?

News

Wafat: James Dobson, yang Mengajarkan Kaum Injili untuk Berfokus pada Keluarga

Psikolog anak ini menjawab ratusan ribu pertanyaan tentang pengasuhan anak dan mendesak umat Kristen untuk berjuang dalam “perang nilai-nilai” Amerika.

Tuhan Cemburu, tetapi Tidak Pernah Iri Hati

Kita sering memperlakukan dua kata ini sebagai sinonim. Dalam Kitab Suci, keduanya hampir bertolak belakang.

Public Theology Project

Gereja Itu Rapuh—Namun Tak Tergoyahkan

Kita mungkin sedih melihat keadaan gereja, tetapi kita tetap bisa mengasihi dan memperjuangkannya.

Mengapa Kita Sangat Ingin Mengukur Kecerdasan?

Kemampuan manusia untuk bernalar tidak sama dengan AI dalam mengumpulkan informasi.

Tetap Termotivasi dalam Pelayanan (Saat Anda Tidak Merasa Termotivasi)

Ketika pelayanan menjadi rutinitas yang membosankan, motivasi pun mengering. Namun kasih karunia Allah menghidupkan kembali apa yang tidak pernah dapat dihidupkan oleh rasa bersalah dan kerja keras.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube