Generasi Z Protestan tidak ingin dikenal karena iman mereka.
Sebaliknya, mereka ingin bakat, minat, hobi, dan tingkat pendidikan menjadi cara mereka untuk dikenal.
Mereka memandang iman mereka sebagai dukungan selama masa-masa sulit. Berdoa merupakan cara kedua yang paling umum dilakukan Generasi Z untuk mengatasi stres, selain mengalihkan perhatian dengan menonton atau membaca sesuatu.
Meskipun mereka sering dianggap sebagai “generasi yang cemas,” mereka optimis tentang masa depan. Empat dari lima orang Generasi Z Protestan meyakini bahwa mereka dapat memberikan dampak yang berarti di dunia bagi generasi mendatang.
Young Life memberikan CT pandangan eksklusif pada terobosan orang-orang Protestan generasi ini dari rilisan penelitian terbaru mereka The Relate Project, sebuah studi yang meneliti keyakinan dan aspirasi 7.261 anak muda berusia antara 13 dan 24 tahun.
Para peneliti memutuskan untuk tidak menggunakan istilah Injili dalam laporan karena “istilah tersebut dapat memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda di negara yang berbeda,” kata Kimberly Nollan, direktur penelitian dan evaluasi di Young Life.
“Fokus dari The Relate Project adalah untuk lebih memahami relasi Generasi Z dengan diri mereka sendiri, dengan orang lain, dan dengan Tuhan,” kata Nollan. “Untuk menjaga fokus tersebut dan menghindari salah tafsir, kami memilih untuk menghindari istilah tersebut.”
Studi ini mencakup delapan negara: AS, Inggris, Meksiko, India, Kenya, Uganda, Etiopia, dan Tanzania. Survei ini dilakukan terhadap remaja dari berbagai keyakinan pada bulan Juli dan Agustus 2023. Sampel umat Kristen dari penelitian ini juga mencakup mereka yang mengidentifikasi diri sebagai Katolik, Ortodoks, Koptik, atau lainnya.
Secara keseluruhan, ditemukan bahwa kepercayaan kepada Tuhan merupakan bagian penting dalam meningkatkan tujuan hidup dan kesejahteraan Generasi Z.
“Kaum muda dapat mengalami perkembangan hidup tanpa iman, tetapi penelitian kami menemukan bahwa mereka yang tidak memiliki kerangka iman (misalnya, ateis, agnostik, dan mereka yang menyebut diri sebagai nones atau tidak memiliki afiliasi agama) melaporkan tingkat perkembangan hidup yang lebih rendah,” demikian pernyataan laporan tersebut.
Para peneliti juga mencatat bahwa perbedaan budaya mungkin menjadi faktor yang memengaruhi beragamnya respons. Misalnya, kelompok diskusi menemukan bahwa orang dewasa muda di empat negara Afrika Timur dan India umumnya lebih enggan untuk berbicara dengan orang dewasa yang lebih tua karena mereka takut menghadapi ketidaksetujuan mereka.
Dalam artikel ini, “global” mengacu pada delapan negara yang disurvei oleh Young Life.
Reputasi dan pengakuan
Setidaknya separuh dari kaum muda Protestan di AS dan Inggris mengatakan bahwa mereka ingin dikenal karena bakat mereka (54%), serta minat atau hobi mereka (52%).
Hanya sekitar 1 dari 3 (32%) yang ingin diakui karena agama atau kepercayaannya.
Hasil survei serupa ditemukan di Afrika Timur, India, dan Meksiko. Hampir separuh (43%) Generasi Z Protestan di negara-negara ini lebih suka dikenal karena kualifikasi pendidikan mereka, sementara 2 dari 5 (40%) ingin bakat mereka diakui terlebih dahulu.
Keinginan untuk dikenal berdasarkan agama atau keyakinan mereka menduduki peringkat keempat (27%).
Temuan ini konsisten dengan apa yang diamati Alexis Kwamy tentang orang percaya Generasi Z di Dar Es Salaam, Tanzania, tempat ia tinggal.
“Pergeseran ini menunjukkan cara baru dalam mengintegrasikan iman ke dalam kehidupan sehari-hari, di mana identitas agama tidak selalu diungkapkan secara terbuka, melainkan justru terjalin dengan pencapaian pribadi dan kontribusi sosial,” tutur Kwamy kepada CT.
Chris Agnew, seorang pemimpin Pioneer Mission di Coastal Church di Portrush, Irlandia Utara, setuju. “Agama dianggap sebagai sesuatu yang negatif, atau hal yang bersifat pribadi,” katanya. “Spiritualitas mungkin lebih mudah diterima, tetapi lebih mudah untuk mengatakan kepada seseorang [bahwa] Anda pandai bernyanyi atau bermain sepak bola daripada memiliki iman atau terlibat aktif di gereja.”
Sejumlah pemimpin lain berpendapat hasil survei ini masih bisa diperdebatkan.
“Anak muda yang diperkenalkan kepada Kristus sejak usia dini menghargai [dikenal karena] keyakinan agama mereka,” kata Patrick Barasa, sekretaris umum pelayanan kampus Focus Uganda. “Sementara mereka yang cenderung ke arah sekularisme hidup berdasarkan minat pribadi.”
Format tradisional partisipasi gereja juga dapat berkontribusi pada bagaimana identitas Generasi Z Protestan ini terbentuk, kata Mary Olguin, sekretaris umum pelayanan mahasiswa Compa (Compañerismo Estudiantil) di Meksiko.
Ada anggapan bahwa “seorang Kristen menjadi unggul berdasarkan cara mereka melayani (misalnya, dengan menunjukkan bakat mereka dalam ibadah), bukan berdasarkan buah-buahnya,” ungkapnya.
Raychel Sanders, 21, adalah seorang pelari dan pemanjat tebing yang antusias. Namun, dia juga telah belajar untuk merasa nyaman membangun identitas Kristen secara publik.
Sebagai mahasiswa baru di Mississippi State University, dia pernah mengomentari keindahan dan kerumitan ciptaan selama percakapan dengan seorang profesor agnostik di sekolah. Dia ingat profesor tersebut menatapnya dengan aneh.
Namun, sejak kejadian itu, Sanders telah menjawab pertanyaan profesornya tentang kekristenan dan berbagi imannya dengan profesornya beberapa kali.
Selain dikenal karena kegiatannya di luar, dia ingin dikenal karena “memiliki belas kasihan kepada orang lain demi memenangkan mereka bagi Kristus, tetapi tanpa mengorbankan apa yang benar,” katanya.
Orang muda dewasa lainnya, seperti Ananya Rachel Mathew dari Uttar Pradesh, India, menegaskan bahwa kemampuan seseorang dapat dipakai untuk mewakili dan menghormati Tuhan. “Semua bakat kita merupakan anugerah dari Bapa di surga,” kata pemudi berusia 21 tahun yang gemar menyanyi, menari, dan melukis tersebut. “Bapa yang telah memberikan talenta kepada kita, akan senang jika kita menggunakannya untuk memuji dan memuliakan nama-Nya.”
Doa dan stres
Secara global, doa menempati peringkat kedua (43%) di kalangan Generasi Z Protestan sebagai mekanisme mengatasi stres dan terkait dengan mengalihkan perhatian dengan menonton atau membaca sesuatu (43%). Mendengarkan musik menduduki peringkat pertama (62%), sementara membaca atau merenungkan Kitab Suci menduduki peringkat kelima dari bawah (19%).
Generasi Z cenderung menjalani kehidupan yang serba cepat dan mungkin tidak meluangkan waktu untuk berdoa secara pribadi, kata Olguin di Meksiko. “Dinamika ini sering kali membuat doa, yang sering dianggap sebagai praktik pasif atau tidak langsung terkait dengan pencapaian langsung mereka, menjadi terabaikan atau dilakukan secara cepat dan mekanis,” katanya.
Namun Olguin memperhatikan bahwa lebih banyak mahasiswa menghadiri pertemuan doa Compa setelah pandemi dan percaya hal ini karena mereka senang berdoa dalam komunitas.
Meskipun doa di depan umum mungkin dilakukan dengan mudah oleh generasi muda Kristen di Meksiko, hal itu tidak terjadi dengan para remaja yang bekerja bersama Bruce Campbell di pelayanan kaum mudanya yang berbasis di Irlandia Utara, Exodus.
“Ketakutan paling umum yang saya dengar dari anak muda terkait doa adalah ketakutan mereka untuk berdoa dengan suara keras di tengah kelompok,” katanya.
Campbell telah memperhatikan adanya peningkatan minat untuk mendengarkan musik penyembahan di kalangan orang muda Kristen di wilayahnya, yang ia duga mungkin terkait dengan meningkatnya keinginan mereka untuk mencari pengalaman emosional.
“Meskipun saya melihat hal ini sebagai hal yang positif, saya terkadang berhati-hati tentang bagaimana tren ini dapat mengarah pada pemuridan yang kurang membutuhkan pengorbanan,” kata Campbell. “Jauh lebih mudah untuk bersantai mendengarkan album Bethel daripada membaca kitab nabi-nabi kecil atau bercerita kepada teman Anda tentang Yesus.”
Kepedulian terhadap kesehatan mental
Memelihara kesehatan mental pribadi dan kesejahteraan mental komunitas merupakan prioritas utama bagi Generasi Z Protestan di delapan negara yang disurvei, melebihi masalah lain seperti kesempatan kerja yang memadai, perubahan iklim, dan ketegangan agama.
Di Inggris, kesehatan mental yang buruk “telah mencapai tingkat yang hampir seperti pandemi,” kata Sonia Mawhinney, direktur regional Young Life untuk Inggris dan Irlandia. Kurangnya bantuan profesional yang tersedia juga telah menempatkan “beban berat bagi para pemimpin muda, baik yang bekerja penuh waktu maupun sukarelawan, untuk mencoba membantu kaum muda dalam krisis kesehatan mental ini,” katanya.
Saat ini, lembaga pelayanan tersebut sedang menjajaki cara untuk bermitra dengan sekolah, gereja, klub olahraga, dan lembaga pemerintah di seluruh wilayah untuk memberikan dukungan dan perawatan bagi kaum muda.
“Dorongan untuk pertolongan mandiri (self help) dan meningkatkan kesejahteraan di masyarakat saat ini dapat membingungkan kaum muda,” kata Agnew, salah satu pemimpin yang berbasis di Irlandia Utara. Ia mencatat bahwa sulit bagi orang-orang percaya dari Generasi Z untuk memahami di mana peran Yesus dalam kehidupan mereka.
“Tantangannya adalah dengan lembut mendampingi orang-orang dalam perjalanan mereka, tetapi juga tidak membiarkan perjuangan pribadi siapa pun menghapus undangan ilahi untuk bermitra dengan Allah [dalam] apa yang Dia lakukan di dunia,” katanya.
Membangun hubungan antargenerasi yang lebih kuat merupakan faktor penting lainnya dalam mengatasi perjuangan kesehatan mental yang dihadapi oleh orang-orang percaya dari Generasi Z, kata para pemimpin kepada CT. “Kebisuan seputar topik kesehatan mental dari generasi yang lebih tua menciptakan jarak dengan generasi berikutnya,” kata Tanita Maddox, asisten direktur regional Young Life di Spokane, Washington. “[Kita seharusnya] menjadi seperti Yesus yang menangis di makam Lazarus, meskipun Yesus tahu bahwa Ia akan membangkitkan Lazarus lagi.”
Pada Maret 2024, Olguin dan timnya menyelesaikan sebuah panduan berjudul Salud mental en la pastoral universitaria (kesehatan mental dalam pelayanan kampus) yang membekali para pemimpin yang bekerja sama dengan Generasi Z di Meksiko.
Panduan tersebut, yang mencakup topik-topik seperti teologi emosi dan sindrom kelelahan (burnout), dibuat bersama dengan Logos and Cosmos Initiative dari International Fellowship of Evangelical Students (IFES). Edisi kedua saat ini sedang dalam proses pengerjaan dan dijadwalkan terbit pada Februari 2025.
Sementara itu, Young Life Meksiko sedang melakukan penelitian untuk memeriksa kesehatan mental, fisik, dan emosional para pemimpin dan anak-anak yang terlibat dalam pelayanan tersebut, menurut direktur regionalnya, Pratt Butler.
Dampak masa depan
Lebih dari 4 dalam 5 (83%) orang Generasi Z Protestan percaya mereka dapat mengubah dunia menjadi lebih baik.
Generasi Z yang berafiliasi dengan agama merasa lebih diberdayakan untuk melakukan perubahan, demikian hasil temuan Relate Project. “Umat Kristen Protestan dan Ortodoks memiliki rasa kemampuan bertindak yang paling kuat, sementara rasa tersebut paling rendah ada di kalangan ateis, agnostik, dan ‘nones’,” menurut laporan tersebut.
Menyebarkan Injil “kepada sebanyak mungkin orang di sekitar” adalah cara Mathew, pemuda berusia 21 tahun di India, membayangkan untuk menciptakan dampak yang berarti bagi generasi mendatang. “Kita adalah umat-Nya yang telah ditetapkan untuk menjalankan tugas yang sangat spesifik—yaitu menyebarkan firman-Nya kepada orang lain yang belum mengenal Tuhan kita,” katanya. Namun, sejumlah pemimpin berpendapat bahwa iman seseorang tidak serta-merta menaikkan tingkat pengaruhnya, khususnya jika iman hanya dianggap sebagai hubungan yang bersifat pribadi dan personal dengan Allah.
“Bagi kaum muda kita, tindakan untuk menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik masih terpisah-pisah atau terputus dari iman Kristen mereka,” kata Maddox, asisten direktur regional Young Life AS. “[Namun] hubungan kita dengan Allah seharusnya mendorong kita untuk menghadirkan Kerajaan Surga di bumi ini dengan peduli terhadap hal-hal yang Allah pedulikan, dan bertindak sesuai dengan hal-hal tersebut.”
Generasi ini sangat penuh belas kasih, kata Mawhinney, direktur Young Life Inggris dan Irlandia. “Kaum muda merasa sangat takjub ketika mereka menemukan apa yang Alkitab katakan tentang hasrat mereka akan keadilan dan kepedulian terhadap ciptaan,” katanya.
“Ketika kita mengajarkan mereka seluruh meta-narasi Kitab Suci dan bagaimana visi penebusan Allah mencakup perlunya mengasihi sesama dan dunia yang Ia ciptakan, kaum muda terkejut sekaligus terinspirasi untuk melihat bahwa hasrat mereka selaras dengan kehendak Allah.”
Pelaporan tambahan oleh Surinder Kaur
Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.