Di bumi, seorang bayi lahir, seorang raja mendengarnya, pengejaran pun terjadi. Di surga, Invasi Besar telah dimulai: Sang Penguasa kekuatan baik menyerang pusat kejahatan di alam semesta.
Pada tahun 1993 saya membaca berita tentang “penampakan Mesias” di Crown Heights, Brooklyn, New York. Dua puluh ribu orang Yahudi Hasid Lubavitcher tinggal di Crown Heights, dan banyak dari mereka percaya bahwa Mesias tinggal di antara mereka dalam pribadi Rabbi Menachem Mendel Schneerson.
Berita mengenai kemunculan publik sang rabi menyebar bagaikan kilat melalui jalan-jalan di Crown Heights, dan para penduduk Lubavitcher dengan mantel hitam dan rambut keriting mereka segera berlarian menuju sinagoge tempat sang rabi biasanya berdoa. Orang-orang yang beruntung karena terhubung dengan jaringan pager, mendapat informasi lebih dulu. Mereka langsung berlari menuju sinagoge saat mereka merasakan getaran di pager mereka. Ratusan orang berdesakan di aula utama, saling menyikut dan bahkan memanjat pilar supaya ada ruang lebih besar bagi yang lain. Aula dipenuhi suasana antisipasi dan hiruk pikuk yang biasanya ditemukan pada acara olahraga, bukan acara keagamaan.
Rabi itu berusia 91 tahun. Dia menderita stroke tahun sebelumnya dan tidak dapat berbicara sejak saat itu. Ketika tirai akhirnya dibuka, mereka yang telah memadati sinagoge melihat seorang lelaki tua lemah berjanggut panjang yang tidak dapat berbuat apa-apa selain melambaikan tangan, memiringkan kepala, dan menggerakkan alisnya. Meski begitu, tak seorang pun yang hadir tampak keberatan. “Hidup tuan kami, guru kami, dan rabbi kami, Raja, Mesias, selama-lamanya!” mereka bernyanyi serentak, berulang-ulang, dengan volume yang semakin keras hingga sang rabbi membuat gerakan kecil dengan tangannya dan tirai pun tertutup. Mereka bubar perlahan-lahan, menikmati momen itu, dalam keadaan gembira. (Rabbi Schneerson meninggal pada bulan Juni 1994. Sekarang kaum Lubavitcher sedang menantikan kebangkitan tubuhnya.)
Ketika pertama kali membaca berita itu saya hampir tertawa terbahak-bahak. Siapakah yang coba dibodohi orang-orang ini – seorang Mesias bisu yang berusia sembilan puluhan di Brooklyn? Dan kemudian saya tersadar: Saya bereaksi terhadap Rabbi Schneerson persis seperti orang-orang di abad pertama bereaksi terhadap Yesus. Seorang Mesias dari Galilea? Anak seorang tukang kayu, tidak salah?
Penghinaan yang saya rasakan saat membaca tentang sang rabi dan para pengikutnya yang fanatik, memberi saya gambaran sekilas tentang jenis tanggapan yang dihadapi Yesus di sepanjang hidup-Nya. Tetangganya bertanya, “Bukankah nama ibunya Maria, dan bukankah saudara-saudaranya Yakobus, Yusuf, Simon, dan Yudas? Dari mana orang ini memperoleh hikmat dan kuasa ajaib ini?” Orang-orang sebangsanya mengejek, “Nazaret! “Apakah ada hal baik yang bisa dihasilkan dari sana?” Keluarga-Nya sendiri mencoba untuk menyingkirkannya, karena mereka percaya bahwa Dia sudah gila. Para ahli agama berusaha membunuh-Nya. Adapun rakyat biasa, di satu waktu mereka mengatakan Dia kerasukan setan dan gila, di lain waktu mereka dengan paksa mencoba menobatkan-Nya sebagai raja.
Saya percaya, butuh keberanian bagi Allah untuk menanggalkan kekuasaan dan kemuliaan serta mengambil tempat-Nya di antara manusia yang akan menyambut-Nya dengan campuran kesombongan dan skeptisisme yang sama seperti yang saya rasakan saat pertama kali mendengar tentang Rabbi Schneerson dari Brooklyn. Butuh keberanian untuk menanggung rasa malu, dan keberanian bahkan untuk mengambil risiko turun ke sebuah planet yang terkenal dengan kekerasannya, di antara ras yang terkenal menolak para nabinya. Allah yang Maha Kuasa dengan sengaja menempatkan diri-Nya dalam keadaan yang memungkinkan bagi Iblis untuk mencobai-Nya, setan dapat mengejek-Nya, dan manusia hina dapat menampar wajah-Nya serta memaku-Nya di kayu salib. Hal apa lagi yang lebih bodoh yang bisa dilakukan Tuhan?
“Dari semua kepercayaan, kekristenan telah menambahkan keberanian pada sifat-sifat Sang Pencipta,” kata G.K. Chesterton. Perlunya keberanian seperti itu dimulai pada malam pertama Yesus di bumi dan baru berakhir di malam terakhir-Nya.
Siapa Dia yang ada di palungan?
Gambaran seni tentang Natal memperlihatkan keluarga Yesus, Keluarga Kudus, sebagai ikon yang sempurna. Dalam lukisan tersebut, Maria yang tenang menerima berita kabar sukacita sebagai berkat – namun itu sama sekali bukan cara Lukas menceritakan kisah tersebut. Maria “sangat gelisah” dan “takut” atas kedatangan malaikat itu, dan ketika malaikat itu menyampaikan kata-kata agung tentang Sang Putra yang Maha Tinggi, yang kerajaan-Nya tidak akan pernah berakhir, hanya satu hal yang ada di benak Maria: “Tetapi aku masih perawan!”
Suatu ketika, seorang pengacara muda yang belum menikah bernama Cynthia dengan berani berdiri di gereja saya di Chicago dan menceritakan dosa percabulannya di masa lalu, yang sudah kami ketahui: Kami melihat putranya yang hiperaktif berlarian di lorong setiap hari Minggu. Cynthia telah menempuh jalan sepi untuk mengandung dan merawatnya setelah ayah dari anak itu memutuskan untuk meninggalkan kota. Dosa Cynthia tidak lebih buruk dari dosa-dosa banyak orang lain, namun, sebagaimana diceritakannya kepada kami, dosanya memiliki konsekuensi yang sangat nyata. Dia tidak dapat menyembunyikan hasil dari satu tindakan nafsu itu, yang menonjol keluar dari perutnya selama sembilan bulan hingga seorang anak muncul dan mengubah setiap jam, setiap hari dalam sisa hidupnya. Tidak mengherankan jika seorang remaja Yahudi bernama Maria merasa sangat gelisah – dia menghadapi kemungkinan yang sama bahkan walau dia tidak pernah melakukan tindakan penuh nafsu itu dengan siapa pun.
Di Amerika Serikat yang modern, di mana setiap tahunnya ada sejuta gadis remaja yang hamil di luar nikah, kesulitan yang dialami Maria tak diragukan sudah tidak lagi berlaku, tetapi dalam komunitas Yahudi pada abad pertama yang hubungan antar orangnya erat, berita yang disampaikan malaikat mungkin tidak sepenuhnya diterima. Hukum bagi wanita yang telah bertunangan dan hamil karena berzina, adalah dihukum mati dengan dirajam dengan batu.
Matius menceritakan tentang Yusuf yang dengan murah hati setuju untuk menceraikan Maria daripada mengajukan tuntutan, hingga seorang malaikat muncul untuk menenangkan perasaannya karena merasa dikhianati. Lukas menceritakan tentang Maria yang bergegas menemui satu-satunya orang yang mungkin dapat memahami apa yang tengah dialaminya: Kerabatnya, Elisabet, yang secara ajaib hamil di usia tua setelah mendapat kabar dari malaikat. Elisabet sungguh memercayai cerita Maria dan turut merasakan kegembiraannya, namun adegan itu secara menyentuh menggarisbawahi kontras antara kedua wanita itu. Seluruh desa membicarakan mukjizat penyembuhan rahim Elisabet; sementara itu, Maria harus menyembunyikan rasa malu atas mukjizatnya.
Beberapa bulan kemudian, kelahiran Yohanes Pembaptis berlangsung dengan sangat meriah, lengkap dengan bidan, kerabat yang menyayanginya, dan paduan suara desa tradisional yang merayakan kelahiran seorang laki-laki Yahudi. Enam bulan setelah itu, Yesus lahir jauh dari rumah, tanpa bidan, keluarga besar, atau paduan suara desa. Seorang kepala keluarga laki-laki sudah cukup untuk sensus Romawi; apakah Yusuf menyeret istrinya yang sedang hamil ke Betlehem untuk menyelamatkannya dari aib melahirkan di desa asalnya?
C.S. Lewis menulis tentang rencana Allah: “Semuanya makin menyempit, sampai akhirnya bermuara pada satu titik kecil, sekecil ujung tombak – seorang gadis Yahudi yang sedang berdoa.” Hari ini, saat saya membaca kisah kelahiran Yesus, saya gemetar memikirkan nasib dunia yang bergantung pada respons dua remaja desa. Berapa kali Maria harus merenungkan kata-kata malaikat itu saat dia merasakan Anak Allah menendang dinding rahimnya? Berapa kali Yusuf harus meragukan pertemuannya dengan malaikat, bahwa itu bukanlah mimpi? – sambil dia harus menanggung rasa malu yang amat sangat karena tinggal di antara para tetangga yang dapat melihat dengan jelas perubahan bentuk tubuh wanita yang hendak dinikahinya?
Kita tidak tahu apa pun tentang kakek-nenek Yesus. Apa yang mereka rasakan? Apakah mereka menanggapi seperti banyak orang tua anak remaja yang belum menikah dewasa ini, dengan luapan amarah serta ceramah moral dan kemudian mungkin periode hening yang muram hingga akhirnya bayi yang baru lahir dengan mata cemerlang itu tiba untuk mencairkan suasana dan mengatur gencatan senjata keluarga yang rapuh?
Sembilan bulan penjelasan yang canggung, aroma skandal yang masih melekat – seolah-olah Allah mengatur keadaan yang paling memalukan untuk kedatangan-Nya, seolah-olah untuk menghindari tuduhan pilih kasih. Saya terkesan bahwa ketika Anak Allah menjadi manusia, Dia bermain sesuai aturan, aturan yang keras: Kota kecil yang tidak ramah kepada anak laki-laki yang tumbuh dengan ayah yang dipertanyakan.
Malcolm Muggeridge mengamati bahwa di zaman modern, dengan klinik keluarga berencana yang menawarkan cara untuk memperbaiki “kesalahan” yang mungkin mencemarkan nama baik sebuah keluarga, “Sangat tidak mungkin … bahwa Yesus diizinkan untuk dilahirkan. Kehamilan Maria, dalam situasi yang buruk, dan tanpa diketahui siapa ayahnya, akan menjadi kasus yang jelas untuk aborsi; dan perkataannya tentang kehamilannya sebagai hasil dari campur tangan Roh Kudus akan mengarah pada perlunya perawatan psikiatris, dan membuat persoalan untuk mengakhiri kehamilannya menjadi semakin kuat. Oleh karena itu, generasi kita, yang mungkin lebih membutuhkan seorang Juru Selamat daripada generasi mana pun yang pernah ada, akan terlalu manusiawi untuk mengizinkan seseorang dilahirkan.”
Meski demikian, sang Perawan Maria, yang keluarganya tidak direncanakan, memberikan tanggapan yang berbeda. Dia mendengarkan perkataan malaikat itu, memikirkan konsekuensinya yang sangat besar, lalu menjawab, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Setiap pekerjaan Allah memiliki dua sisi, sukacita besar dan kepedihan besar, dan dalam tanggapan yang tenang itu, Maria merangkul keduanya. Dialah orang pertama yang menerima Yesus menurut ketentuan-Nya, tanpa mempertimbangkan dampak pada pribadinya.
Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.