Ideas

Wahai Firaun, Tahukah Engkau?

Editor in Chief

Bagaimana para gembala membalikkan kekuasaan Mesir.

Christianity Today November 29, 2024
Illustration by Abigail Erickson / Source Images: Wikimedia Commons

Mereka yang akrab dengan Alkitab tahu bagaimana membayangkan Firaun di kitab Keluaran: Hatinya mengeras ketika mendengar dari Musa dan Harun, “Biarkanlah umat-Ku pergi.” Namun, kita jarang memikirkan tentang bagaimana beberapa kata yang diucapkan berabad-abad kemudian mungkin bahkan lebih memuakkan baginya:

Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. Tiba-tiba berdirilah seorang malaikat Tuhan di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka. (Luk. 2:8–9)

Mungkin apa yang perlu kita pahami tentang kisah Natal adalah bagaimana kisah itu akan mengguncang piramida.

Yusuf yang kita pikirkan pada masa itu adalah Yusuf dari Nazaret, ayah angkat Tuhan kita Yesus. Namun, ada Yusuf yang jauh lebih awal, yang hadir di latar belakang kisah familiar dalam Lukas 2. Dalam Kejadian 46, Yusuf ini—tokoh penting di istana Firaun—membawa keluarganya yang telah lama hilang dan kini ditemukan kembali, ke Mesir untuk menyelamatkan mereka dari kelaparan. Yusuf memberi tahu mereka,

Apabila Firaun memanggil kamu dan bertanya: Apakah pekerjaanmu? maka jawablah: Hamba-hambamu ini pemelihara ternak, sejak dari kecil sampai sekarang, baik kami maupun nenek moyang kami — dengan maksud supaya kamu boleh diam di tanah Gosyen. (ay. 33–34)

Yusuf nampaknya melatih mereka untuk meyakinkan Firaun bahwa mereka datang bukan untuk mengambil alih, tetapi hanya untuk melaksanakan pekerjaan mereka tanpa mengganggu kehidupan orang Mesir. Alkitab memberi tahu kita alasannya: “Sebab segala gembala kambing domba adalah suatu kekejian bagi orang Mesir” (ay. 34).

Pekerjaan rendahan yang dianggap kekejian oleh orang Mesir ini menjadi tema yang berulang dalam kisah Alkitab. Di kemudian hari, Musa (yang, seperti Yusuf, pernah menjadi orang dalam di istana Firaun) melarikan diri demi menyelamatkan nyawanya dan, sebelum perjumpaannya dengan Allah di semak yang terbakar, ia menghabiskan waktu cukup lama menggembalakan kawanan ternak (Kel. 3:1). Hanya setelah menjadi kekejian bagi budaya kekuasaan Mesir, Musa dapat menjadi pemimpin dalam karya pembebasan umat Allah dari cengkeraman kekaisaran itu.

Disuruh-Nya umat-Nya berangkat seperti domba-domba, dipimpin-Nya mereka seperti kawanan hewan di padang gurun; dituntun-Nya mereka dengan tenteram, sehingga tidak gemetar, sedang musuh mereka dilingkupi laut. (Mzm. 78:52–53)

Dan takhta Daud yang akan diwarisi oleh bayi Yesus saat lahir tidak berasal dari seorang bangsawan, melainkan dari seorang gembala (1Sam. 16:11–13). Bahkan, seluruh janji keselamatan dan pembaruan digambarkan oleh Yesus hanya dalam istilah ini: Seorang gembala yang baik mengumpulkan kawanan domba (Yoh. 10:11–18).

Merefleksikan For the Time Being karya W.H. Auden, Alan Jacobs mencatat bahwa pencarian orang Majus untuk menemukan bayi yang lahir sebaga raja membuat Herodes kesal karena mereka “tidak berusaha menggantikannya di takhta kerajaannya, tetapi untuk menghadirkan sebuah Kerajaan yang sepenuhnya baru.” Seorang gembala tidak memimpin dengan paksaan dan kekuatan Darwinian, tetapi dengan suara-Nya (Yoh. 10:1–5). Pilihan Allah atas para gembala untuk mendengar pengumuman dari malaikat (sementara Herodes harus mendapatkan informasi tersebut secara tidak langsung dari delegasi asing), semakin menegaskan karakter kerajaan yang baru ini.

Sama seperti gembala dipandang sebagai kekejian bagi orang Mesir kuno, salib juga merupakan kekejian bagi orang Romawi. Penyaliban adalah cara bagi Kaisar Roma untuk mendominasi siapa pun yang dapat menantang kekuasaannya, sebagaimana perbudakan yang dilakukan oleh Firaun zaman dahulu. Mereka yang disalibkan harus dilupakan; bentuk kematian mereka adalah jenis kengerian yang akan membuat orang mengalihkan pandangan mereka. Namun, “apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti” (1Kor. 1:28).

Hal yang bertahan jauh melampaui kekuatan manusia adalah kuasa yang didengar oleh para gembala yang dianggap “kekejian” itu saat kemuliaan Allah bersinar di sekitar mereka: “Kesukaan besar untuk seluruh bangsa. Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk. 2:10-11). Yang bertahan bukanlah bungkusan mumi, melainkan bayi yang dibungkus dengan kain lampin. Piramida dan koloseum runtuh. Apa yang dilihat para gembala di palungan—itulah yang kekal. Para gembala mengenali suara Gembala yang lebih baik ketika mereka mendengarnya, bukan hanya dalam nyanyian para malaikat melainkan juga dalam tangisan bayi.

Russell Moore adalah pemimpin redaksi CT.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, FacebookTwitter, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Inkarnasi Lebih dari Sekadar Palungan

Bagaimana seorang uskup Afrika kuno memperjuangkan kisah penebusan dalam inkarnasi.

Yusuf Adalah ‘Ayah Kandung’ Yesus

Saya tidak memerlukan ikatan biologis untuk menjadi ayah dari embrio yang saya dan istri adopsi.

Cover Story

Sisi Lain dari Natal

Dibutuhkan keberanian bagi Allah untuk menanggalkan kekuasaan dan kemuliaan-Nya serta mengambil tempat bagi-Nya di antara manusia.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube