Menjadi Pendeta Berarti Mengenal Pengkhianatan

Meneladani Yesus dalam sebuah panggilan berupa salib.

Christianity Today June 27, 2024
Edits by Christianity Today. Sources: Getty / Ilbusca / Max Dannenbaum / Stringer / Wikimedia Commons

Pada awal pelayanan saya, seorang imam senior memberi tahu saya bahwa, ada satu masa dalam pelayanannya, dia sempat berhenti sejenak dari gereja. Saya pikir ini aneh bagi seorang imam—bahkan mungkin keliru. Dia tidak memberikan pembelaan dirinya di hadapan saya. Dia hanya menjelaskan bahwa dia dan keluarganya telah sangat tersakiti oleh pelayanan jemaat gereja sehingga mereka memerlukan waktu untuk pulih sebelum mereka dapat melanjutkan pelayanan publik dengan itikad yang baik.

Apa yang menurut saya aneh pada tahun-tahun awal pelayanan saya, sekarang tampaknya tidak mengherankan lagi. Ketika saya menghitung para pendeta yang saya amati dengan cermat selama satu dekade terakhir—dari berbagai denominasi dan generasi—sebagian besar dari mereka pernah mengalami penderitaan yang sangat memilukan di tangan orang-orang di gereja mereka.

Pelayanan memang tidak pernah mudah, tetapi selalu bersifat pribadi. Kita yang melayani dan memimpin gereja berada di garis depan dalam menghadapi kehancuran manusia—dan sering kali kita memiliki bekas luka sebagai buktinya.

Panggilan untuk menjadi pendeta adalah panggilan untuk mengasihi. Dalam pelayanan, kita memberi lebih dari sekadar serangkaian keterampilan atau teknik—kita memberikan diri kita sendiri. Para pendeta mengalami rasa pengkhianatan yang mendalam ketika orang-orang yang kita kasihi malah menyerang, meremehkan, atau berbalik melawan kita. Rasa sakit akibat pengkhianatan tampaknya merupakan bagian yang tidak dapat diubah dalam panggilan pastoral.

Seni Kerentanan

Derita yang disebabkan oleh pengkhianatan adalah salah satu alasan mengapa para pendeta, meskipun terus-menerus terlibat dengan orang lain, bisa merasa sangat kesepian. Ini adalah pekerjaan yang mengharuskan Anda menjadi rentan berulang kali, tanpa jaminan keamanan, umur panjang, atau keselamatan dalam hubungan. Tingkat risiko relasional bisa terasa sangat tinggi. Oleh karena itu para pendeta—dan keluarga mereka—seringkali menanggung luka relasi mereka sendirian, tanpa banyak orang yang bisa mereka percaya untuk berbagi dengan aman. Tanpa dukungan yang memadai dari teman-teman dan mentor-mentor yang dapat dipercaya, luka pelayanan ini dapat semakin membusuk dan pada akhirnya melahap kita.

Namun ada kabar baiknya: Menghindari kerentanan—dan risiko-risiko yang melekat di dalamnya—bukanlah tujuannya.

Mungkin kita tergoda untuk mengisolasi diri dari rasa sakit akibat penolakan atau pengkhianatan dengan belajar untuk tidak terlalu peduli. Kita bekerja, menyampaikan khotbah, menerima gaji, dan menjaga ekspektasi kita tetap rendah. Kelumpuhan emosi seperti ini mungkin terasa lebih aman, tetapi hal ini merampas harapan kita dan menjadi cara mematangkan sikap apatis dan kelesuan dalam pelayanan.

Dalam pelayanan saya sendiri, godaan ini paling sering saya rasakan dalam relasi dengan sesama pemimpin di gereja. Mungkin saya membawa ekspektasi yang tidak realistis terhadap pendeta-pendeta lain. Mungkin semakin banyaknya jumlah skandal pelecehan dan upaya menutup-nutupinya, serta kenyataan buruk perang denominasi telah mengurangi kepercayaan saya terhadap integritas para pemimpin gereja. Saya telah menyerahkan hidup saya pada gereja; meninggalkannya bukanlah sebuah pilihan. Namun terkadang, saya menyadari dalam diri saya ada kecenderungan untuk bersikap acuh tak acuh dan sinisme yang lebih menyerupai perlindungan diri daripada hal lainnya.

Dalam sebuah gereja yang penuh dengan gembala dan domba yang hancur hati, sikap melindungi diri sangat dapat dimengerti. Namun hal ini sangat tidak serupa Kristus.

Yesus, Gembala yang sempurna, tidak menutup diri dari kerentanan. Sebaliknya, Ia membiarkan diri-Nya dikecewakan dan bahkan disakiti oleh para murid-Nya. Ketika mereka tertidur di saat yang paling Ia butuhkan, Ia bertanya kepada mereka, “Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?” (Mat. 26:40). Lalu Ia membasuh kaki orang yang akan mengkhianati-Nya.

Yesus tahu bagaimana rasa-Nya ditinggalkan oleh umat-Nya—bahkan oleh sesama rekan pemimpin. Ia juga tahu bagaimana rasanya mati bagi mereka: “Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya, demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya” (Yoh. 13:1).

Dalam kegelapan Getsemani, di malam menjelang penyaliban-Nya, Yesus mencontohkan keteguhan hati yang tidak bisa disamakan dengan ketabahan. Dia tetap setia pada panggilan-Nya, meskipun para murid-Nya tidak mendukung Dia, tetapi Ia juga dengan jujur mengakui penderitaan-Nya di hadapan Bapa dan menerima pelayanan malaikat untuk menguatkan Dia (Luk. 22:43). Pemahaman ini mengajak kita untuk merengkuh semacam kekuatan yang tidak takut terhadap kritik atau pengucilan dari orang lain, tetapi juga tidak menyerah ke dalam ketidakpedulian. Ini adalah jenis kekuatan yang menguatkan kita untuk menyerahkan hidup kita.

Pelayanan personal kita tidak akan pernah sebanding dengan pelayanan Yesus. Ia adalah Gembala yang Baik; kita adalah penerima pertama dan terutama dari anugerah dan penyelamatan-Nya. Namun sebagai orang-orang yang telah Ia panggil untuk melayani sebagai gembala-gembala di bawah naungan-Nya bagi kawanan domba-Nya (1Ptr. 5:2), kita dapat dan seharusnya mengharapkan pelayanan kita menjadi pelayanan berupa salib.

Persekutuan dalam Penderitaan-Nya

Ketika kita merasa dikhianati oleh jemaat kita, mudah bagi kita untuk bertanya, “Di mana kesalahan saya?” Akan tetapi pengalaman-pengalaman yang menyakitkan ini bukanlah tanda kegagalan dalam pelayanan. Semua itu adalah aspek dari partisipasi kita di dalam Kristus. Turut serta dalam pelayanan Kristus berarti berbagi dalam penderitaan-Nya. Ketika kita merengkuh pelayanan pengorbanan diri yang mahal ini, berusaha untuk dengan setia mengasihi umat Tuhan yang tidak setia, kita secara unik menghidupi panggilan kita sebagai pendeta. Kita telah ditunjuk untuk menggembalakan dan merawat umat-Nya meskipun mereka mungkin telah menyakiti kita.

Panggilan ini adalah panggilan yang berbentuk salib, tetapi juga bersifat formatif. Dalam dunia yang menjunjung tinggi selebritas dan menyamakan kesuksesan dengan popularitas, pengalaman kita akan keterasingan dan pengkhianatan mengingatkan bahwa kita sedang meneladani Tuhan yang tersalib. Kita dapat berharap—dan bahkan berupaya, bila perlu—akan rekonsiliasi untuk hubungan yang rusak, karena Tuhan kita juga adalah Allah kebangkitan. Persekutuan yang dipulihkan adalah masa depan kita di dalam Dia. Namun ketika rekonsiliasi tetap tidak mungkin terjadi di sisi dunia ini, kita masih bisa menemukan makna dalam penderitaan yang kita alami. Meski hanya mendapatkan bagian yang kecil saja dalam pelayanan-Nya, kita sudah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena nama-Nya (Kis. 5:41). Rasa sakit hati karena pengkhianatan mengundang kita untuk bersatu lebih dalam dengan Yesus, mengubah keterasingan menjadi keintiman.

Dalam tradisi Anglikan saya, ketika para imam ditahbiskan, mereka dipersilakan untuk berbaring telungkup dengan tangan terentang membentuk rupa salib. Perwujudan liturgi dari sumpah ikrar kami ini mengingatkan bahwa pelayanan keimaman, dalam banyak hal, adalah pelayanan kematian—kehidupan yang dicurahkan sebagai persembahan kepada Tuhan atas nama umat-Nya (Fil. 2:17). Selama masa-masa yang sangat menyakitkan dalam pelayanannya, seorang teman saya yang juga seorang imam, mengambil sikap ini lagi dalam sebuah momen doa dan meratap secara pribadi. Saat dia meletakkan pipinya di lantai kapel doanya, dia merasakan Yesus berbaring di sampingnya, dengan tangan terentang, ujung jari-Nya menyentuh ujung jari teman saya. Di sanalah, di lantai, dalam kerendahan hati saat bersujud, dia membayangkan Yesus berkata, “Jangan khawatir. Aku selalu melakukan ini.”

Dalam jalan pelayanan yang menyakitkan dan terkadang membingungkan, Yesus adalah Pemandu kita. Dia telah menunjukkan kepada kita seperti apa kasih yang berupa salib itu. Dia masih dengan setia mengasihi mempelai-Nya yang berkhianat. Dan Dia akan menopang kita seiring kita berusaha untuk melakukan hal yang sama.

Hannah King adalah seorang imam dan penulis di Gereja Anglikan Amerika Utara. Dia melayani sebagai pendeta pendamping di Village Church di Greenville, Carolina Selatan.

Diterjemahkan oleh: Vika Rahelia

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Apakah Fungsi Orang Tua?

Alkitab memiliki visi yang jelas bagi orang tua sebagai penatalayan anak-anak kita. Ini bukan buku petunjuk bagi perdebatan pola asuh orang tua masa kini.

Laporan Lausanne: Sebagian Besar Misionaris Menjangkau yang Sudah Terjangkau

Laporan Keadaan Amanat Agung (The State of the Great Commission) menelaah tantangan dan peluang di tengah lanskap misi yang terus berubah.

Ketika Pelayanan Melukai Keluarga Anda

Nasihat yang berasal dari pengalaman sulit untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan Tuhan.

Saya Menemukan Penghiburan dalam Pahlawan Ilahi

Sebuah mazmur yang mencengangkan mengubah pandangan saya tentang kehadiran Allah selama masa-masa pencobaan.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube