Ya, Karisma Memiliki Tempat di Mimbar

Namun jangan salah mengartikannya sebagai panggilan.

Christianity Today May 30, 2024
Illustration by Tim McDonagh

Karisma telah mengalami masa-masa sulit di gereja. Atau setidaknya sebagian dari kita sudah menjadi curiga terhadapnya. Keretakan-keretakannya sudah terlihat sejak beberapa tahun lalu. Sembilan tahun lalu, jauh sebelum Oxford University Press menobatkan rizz (bahasa gaul untuk jenis karisma yang mengilhami ketertarikan romantis) sebagai kata terbaik tahun 2023, Rick Warren mengamati, “Karisma sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepemimpinan.”

Namun kita semua tahu bahwa karisma memang ada hubungannya dengan kepemimpinan, bukan?

Kita menyukai pemimpin dengan kepribadian yang dinamis. Kita tertarik pada mereka, baik di gereja maupun di dunia politik. Baik atau buruk, karisma adalah salah satu faktornya. Pemimpin yang berkarisma adalah ciri umum dari kisah awal mula banyak organisasi dan denominasi Kristen (dan non-Kristen). Banyak gerakan yang bermula dari orang dengan kepribadian menarik dan ambisi yang besar untuk Tuhan, yang efektivitas pelayanan mereka tampaknya lebih disebabkan oleh kepribadian mereka daripada panggilan Tuhan.

Sebagai contoh, Alkitab mengatakan bahwa Saul, raja pertama Israel, “seorang muda yang elok rupanya; tidak ada seorangpun dari antara orang Israel yang lebih elok dari padanya: dari bahu ke atas ia lebih tinggi dari pada setiap orang sebangsanya” (1Sam. 9:2). Kesan yang didapat dari penampilan fisik Saul menunjukkan bahwa ia akan menjadi raja yang ideal.

Pengalaman selanjutnya membuktikan sebaliknya. Ketika nabi Samuel mencari pengganti Saul di antara anak-anak Isai, Tuhan memperingatkan dia agar tidak terpengaruh oleh hal-hal seperti itu. “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah" kata-Nya. "Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati” (1Sam. 16:7).

Namun, ketika Daud dibawa ke hadapannya, 1 Samuel 16:12 menyatakan bahwa ia ”kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok.”

Karisma, seperti halnya kecantikan atau ketampanan, ada di mata orang yang melihatnya. Jadi ada dimensi budaya dalam karisma. Salah satu alasan mengapa 1 Samuel menekankan penampilan fisik Saul dan Daud adalah karena raja juga seorang pahlawan. Orang-orang melihat raja sebagai seorang pembebas (1Sam. 8:19-20). Tinggi badan Saul dan kesehatan Daud menambah kehebatan mereka dalam pertempuran dan membuat mereka tampak seperti raja.

Namun Alkitab dengan jelas mengatakan: Keberhasilan apa pun yang mereka alami disebabkan oleh hal yang melebihi bakat natural mereka. Inilah fungsi karisma dalam pengertian teologis yang sesungguhnya. Mereka berhasil karena Roh Kudus turun ke atas mereka dengan penuh kuasa (1Sam. 10:10; 11:6; 16:13).

Namun kemudian mereka masing-masing berdosa secara terang-terangan. Kegagalan serupa dari para pemimpin berkarisma masa kini telah menjadi berita utama nasional dan dijadikan bahan untuk siniar dan film dokumenter. Kisah-kisah mereka menjadi pengingat yang tajam bahwa terkadang karisma, seperti halnya kecantikan atau ketampanan, hanya sebatas kulit semata.

Namun alur cerita mereka yang familier juga membuktikan bahwa karisma memberikan semacam kekuatan, entah kita menginginkannya atau tidak. Kita hanya tidak yakin jenisnya seperti apa. Apakah itu otoritas yang berasal dari Tuhan? Atau sekadar perbuatan daging?

Pemimpin yang berkarisma telah ada di sepanjang sejarah. Namun cita-cita pemimpin karismatik dibawa ke permukaan oleh sosiolog abad ke-20, Max Weber.

Dengan mengacu pada gagasan alkitabiah tentang kepemimpinan sebagai anugerah dari Tuhan (Rm. 12:8), Weber mendefinisikan karisma sebagai “kualitas tertentu dari seseorang yang membuatnya berbeda dari orang-orang biasa dan diperlakukan sebagai orang yang memiliki kemampuan supranatural, manusia super, atau setidaknya memiliki kekuatan atau kualitas yang luar biasa.” Bagi Weber, esensi dari karisma adalah kepribadian yang kuat dari seorang pemimpin yang mempengaruhi orang lain untuk mengikutinya.

Namun, menurut Weber, kepribadian yang kuat bukanlah satu-satunya hal yang menjadikan pemimpin tersebut menjadi karismatik. Karisma adalah hasil kumpulan sifat, termasuk kesucian karakter. Menurut definisi Weber, kombinasi yang membentuk karisma sangat langka.

Jika definisi sosiologis dari karisma adalah “kekuatan melalui kepribadian,” maka gagasan Alkitab tentang karisma menempatkan kekuatan di tempat lain. Karisma, menurut Alkitab, adalah kuasa Roh Kudus yang diberikan oleh anugerah Kristus. Kuasa yang diberikan Tuhan ini ditunjukkan melalui (dan terkadang terlepas dari) kepribadian. Dalam definisi alkitabiah ini, kepribadian adalah media yang digunakan untuk menunjukkan kuasa Allah, bukan sumber dari kuasa itu sendiri.

Dalam definisi ini, semua kepemimpinan bersifat karismatik karena kepemimpinan adalah anugerah dari Tuhan (secara etimologi karisma berarti anugerah dari Tuhan). Kemampuan menjalankan kepemimpinan bukan hanya merupakan karunia yang diberikan Tuhan kepada individu tertentu, tetapi individu itu sendiri juga merupakan karunia yang diberikan Tuhan kepada gereja (Ef. 4:7-13).

Karisma rohani ini bukan hanya diperuntukkan bagi segelintir orang di dalam gereja. Allah mengaruniakan Roh “kepada tiap-tiap orang…untuk kepentingan bersama” (1Kor. 12:7). Gereja memang memiliki pemimpin-pemimpin, tetapi kesehatan dan keberhasilannya tidak bergantung pada mereka saja.

Para pemimpin gereja—mereka yang menggunakan karunia-karunia rohani di tengah gereja dan juga mereka yang menjalankan fungsi dan tugas penting yang memampukan gereja memenuhi misinya—semuanya berkontribusi pada kepemimpinan karismatik dari Roh Kudus di gereja.

Kegagalan banyak pemimpin yang dinamis di hadapan publik merupakan pengingat akan bahayanya jika terlalu bergantung pada individu mana pun—termasuk diri kita sendiri.

Ketika ayah mertua Musa, Yitro, melihat Musa dikelilingi orang-orang Israel saat dia mengadili perselisihan mereka dari pagi hingga sore, Yitro segera melihat kebodohan dari model kepemimpinan seperti itu. “Tidak baik seperti yang kaulakukan itu,” kata Yitro.

“Engkau akan menjadi sangat lelah, baik engkau baik bangsa yang beserta engkau ini; sebab pekerjaan ini terlalu berat bagimu, takkan sanggup engkau melakukannya seorang diri saja” (Kel. 18:17–18). Solusi Yitro adalah menyebar beban dengan membagi tanggung jawab Musa kepada orang lain.

Allah tampaknya telah mengonfirmasi nasihat Yitro dengan menyebarkan Roh ketika Dia mengambil “sebagian dari Roh” yang ada pada Musa dan menaruhnya pada para tua-tua Israel (Bil. 11:17).

Tindakan ini tidak hanya mengantisipasi beban kepemimpinan bersama yang kita temukan di gereja Perjanjian Baru; tindakan ini juga menubuatkan pencurahan Roh Kudus yang lebih luas pada hari Pentakosta. Tidak semua orang di gereja dipanggil untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi kita semua telah dianugerahi Roh yang berdiam di dalam diri kita (Rm. 8:9).

Jika kuasa untuk memimpin pada akhirnya berasal dari Roh Kudus, lalu apa peran dari kepribadian? Apakah itu aset atau beban?

Pandangan umum mengatakan bahwa gaya kepemimpinan terbaik adalah gaya kepemimpinan yang tidak menonjolkan kepribadian. Seperti yang saya tulis di Preaching Today, kita mendengar gema dari pernyataan ini dalam sebuah doa yang sering diucapkan sebelum khotbah. Doanya kira-kira seperti ini: “Biarlah perkataan saya dilupakan, sehingga hanya apa yang datang dari-Mu saja yang diingat.” Doa-doa seperti itu memang bermaksud baik, tetapi tidak tepat sasaran, terutama karena tidak perlu tindakan Tuhan untuk melupakan apa yang diucapkan oleh pengkhotbah.

Dalam serangkaian kuliah yang disampaikan kepada mahasiswa di Yale, pakar khotbah abad ke-19, Phillips Brooks, mendefinisikan khotbah sebagai komunikasi “kebenaran melalui kepribadian.” Brooks memahami kepribadian sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar gaya pribadi. Kepribadian mencakup karakter, kasih sayang, kecerdasan, dan moral pengkhotbah. Ini adalah soal Tuhan bekerja melalui seluruh pribadi manusia.

Kepemimpinan dimediasi dengan cara yang sama. Kualifikasi kepemimpinan yang diuraikan dalam 1 Timotius 3 dan Titus 1 lebih berfokus pada karakteristik orangnya daripada tugas yang harus mereka lakukan.

Kepribadian penting dalam kepemimpinan. Sebuah penelitian terhadap gereja-gereja terbesar di Amerika yang dilakukan oleh Warren Bird dan Scott Thumma menegaskan bahwa, “pada umumnya, para pendeta gereja besar (megachurch) adalah pelayan gereja yang sudah sekian lama melayani di gereja mereka”—bukan pelaku kekerasan atau penjahat yang menjadi berita utama yang baru-baru ini menjadi perhatian kita. “Mereka menjaga fokus gereja pada vitalitas rohani, memiliki tujuan yang jelas, dan menghidupi misi tersebut.”

Mayoritas gereja-gereja ini telah mengalami pertumbuhan yang signifikan melalui pelayanan seorang pendeta berkarisma yang telah melayani gereja selama rata-rata 22 tahun.

Penelitian lain menunjukkan bahwa faktor-faktor kepribadian tertentu—kemampuan untuk menginspirasi, ketegasan, dan keramahan—meningkatkan pelayanan perintisan gereja.

Tuhan bekerja melalui sifat manusia seperti halnya Dia bekerja melalui proses alami. Dia dapat mengirimkan roti dari surga, tetapi Ia lebih sering menyediakan makanan melalui penanaman dan pertumbuhan. Dia bisa menyembuhkan secara instan melalui mukjizat, tetapi lebih sering menyembuhkan melalui pelayanan dokter dan obat-obatan. Kristus telah membekali gereja dengan kepribadian-kepribadian yang memiliki karunia untuk mengajar, memimpin, dan mengatur, dan ini adalah cara yang biasa Ia lakukan.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa karisma pribadi dapat menjadi sebuah beban sekaligus aset. Sebuah penelitian di tahun 2018 menunjukkan bahwa semakin banyak karisma yang dimiliki seorang pemimpin, mereka semakin dianggap efektif oleh para pengikutnya. Namun ini hanya benar sampai titik tertentu. Kesulitannya adalah menentukan seberapa banyak karisma yang berlebihan.

Bagaimana para pemimpin dapat mengetahui kapan mereka telah berubah dari merasa percaya diri menjadi terlalu percaya diri? Sayangnya, hal ini sepertinya merupakan pelajaran yang biasanya diperoleh melalui kegagalan.

Kepribadian yang berkarisma bisa menjadi egois dan narsis. Namun tidak ada gereja yang mencari pendeta dan berkata, “Mari kita pekerjakan orang brengsek yang sombong!” Dengan cara yang sama, tidak ada orang yang mencari gereja yang berpikir, Di mana saya bisa menemukan pendeta yang melakukan kekerasan saat ini? Kita tertarik pada pemimpin yang narsistik karena mereka menarik.

Para pemimpin yang narsis memang punya pengaruh. Mereka menarik. Mereka menjanjikan hal-hal besar. Banyak dari mereka memberikan hasil yang mengesankan, setidaknya untuk sementara. Gereja-gereja yang mengharapkan seorang pemimpin mesianik mungkin merasa gaya narsistik yang sering menyertai kepemimpinan karismatik, sangatlah menarik. Mereka menoleransi pelecehan, dengan harapan bahwa pendeta tersebut akan membawa mereka ke tanah perjanjian dari keberhasilan pelayanan.

Seperti halnya setiap hubungan kodependen, hubungan ini dibangun di atas sistem penghargaan yang disfungsi. Jemaat memungkinkan terjadinya perilaku narsistik karena mereka mendapat sesuatu dari pemimpinnya. Mungkin itu adalah dorongan adrenalin dari kepribadian yang diagung-agungkan yang diungkapkan melalui khotbah. Seringkali, ini merupakan kemampuan untuk menarik perhatian banyak orang.

Gereja-gereja yang menoleransi pelecehan dari para pemimpin narsistik sering kali takut bahwa tidak ada orang lain yang mampu memberikan hasil serupa. Atau mereka khawatir kepergian pendeta tersebut akan mengurangi jumlah kehadiran jemaat. Semakin besar gereja, semakin sulit untuk melepaskan diri karena tampaknya ada begitu banyak hal yang dipertaruhkan. Seringkali mereka juga akhirnya mengembangkan sistem sosial yang memperkuat pelecehan.

Orang-orang narsistik mengelilingi dirinya dengan orang-orang yang membuat mereka merasa istimewa. Lingkaran dalam ini mengalami sensasi yang luar biasa karena diasosiasikan dengan pemimpin. Asosiasi ini sering kali disertai dengan fasilitas atau perlakuan khusus, meskipun itu hanya akses terhadap orang yang dianggap sebagai selebriti. Hasilnya adalah lingkaran kodependen yang membutakan mereka yang bertanggung jawab untuk meminta pertanggungjawaban si pemimpin narsis itu, sehingga membuat mereka terlibat dalam pelecehan tersebut.

Pemimpin yang narsistik biasanya merupakan perundung. Pemimpin seperti ini mengembangkan budaya organisasi yang ditandai dengan rasa takut dan hukuman. Mereka menggunakan kekuatan jabatan rohani mereka untuk menghentikan siapa pun yang menantang mereka. Mereka menciptakan budaya yang membungkam keberatan dan menghukum orang-orang yang menolak.

Selalu ada harga yang harus dibayar oleh mereka yang menantang para pemimpin yang narsis. Anggota-anggota gereja yang mempertanyakan agenda atau cara pelayanan para pemimpin yang narsis akan dituduh memecah-belah dan merusak rencana Allah. Dalam penerapan yang keliru atas 1 Samuel 26:9 dan 11, beberapa orang memperingatkan mereka yang mengkritik pendeta untuk tidak “menyentuh orang yang diurapi Tuhan.” Ancaman dan pembalasan pun dijelaskan sebagai “disiplin gereja.”

Weber menggambarkan prosesnya seperti ini: “Jemaat memilih seorang pemimpin yang mereka percayai. Lalu pemimpin terpilih berkata, ‘Sekarang diamlah dan patuhi saya.’” Pendekatan ini terdengar tidak nyaman seperti filosofi banyak pemimpin gereja terkenal, yang kepribadiannya yang kuat membuat mereka menonjol tetapi gaya intimidasinya kemudian membuat mereka tercela.

Lalu, di manakah kita harus mencari kepribadian kepemimpinan yang ideal? Ini tampak seperti salah satu pertanyaan Sekolah Minggu yang jawabannya selalu “Yesus.” Meskipun Alkitab menguraikan standar karakter bagi para pemimpin gereja, kita tidak menemukan satu pun tipe kepribadian yang dianggap ideal, baik melalui contoh yang diceritakan maupun perintah yang eksplisit.

Penggambaran Alkitab tentang pemimpin-pemimpin yang hebat (tetapi tentu saja penuh dengan kesalahan) memberikan gambaran yang beragam. Musa tidak seperti Daud, dan tidak seperti Paulus. Tidak ada yang dapat memahami bagaimana Roh Kudus membentuk orang-orang yang Tuhan pakai sebagai pemimpin atau bagaimana Dia menggunakan satu tipe kepribadian tertentu. Orang ekstrovert, introvert, perencana terperinci, orang yang tanggap intuitif, kepribadian yang dinamis, dan tipe penyabar, semua tampaknya memiliki tempat.

Demikian pula, pilihan Yesus terhadap para rasul hampir tidak mengungkapkan satu pun tipe yang sama. Secara keseluruhan, para murid-Nya tampak seperti kelompok yang tidak terduga dan berasal dari latar belakang yang sangat berbeda dengan nilai-nilai dan cita-cita yang bertentangan—kecuali mungkin karena mereka memiliki kecenderungan yang sama untuk tidak memahami maksud-Nya. Mereka adalah nelayan, orang Zelot, separatis, dan kolaborator Romawi. Hal ini memungkiri keseragaman yang sering kita lihat dalam profil yang menggambarkan kepribadian kepemimpinan ideal.

Bahkan jika ada profil kepribadian yang umum untuk para pemimpin karismatik, sebagian besar pemimpin dalam Alkitab tidak termasuk dalam kategori ini.

Misalnya saja Paulus dan Apolos. Saat ini, kita lebih tahu banyak mengenai karya Paulus daripada karya Apolos. Namun ketika mereka masih hidup, Apolos sepertinya lebih bersinar. Bagaimanapun juga, dia memiliki karisma. Berasal dari kota besar Aleksandria, Apolos adalah “seorang yang fasih berbicara dan sangat mahir dalam soal-soal Kitab Suci,” serta seseorang yang berbicara dengan “bersemangat” (Kis. 18:24–25). Sifat-sifat ini membuat Apolos memiliki banyak pengikut di gereja Korintus (1Kor. 3:4).

Paulus juga mempunyai pengikut di Korintus. Namun bagi sebagian orang di sana, karisma Paulus hanya sebatas surat-suratnya saja. Menurut 2 Korintus 10:10, mereka mengeluh, “surat-suratnya memang tegas dan keras, tetapi bila berhadapan muka sikapnya lemah dan perkataan-perkataannya tidak berarti.”

Mereka yang dipanggil untuk tugas yang sama, mungkin tidak melaksanakannya dengan cara yang sama. Contoh para pemimpin seperti Musa, Petrus, dan Paulus menunjukkan bahwa Allah mempersiapkan kepribadian yang berbeda dari para pemimpin untuk tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab mereka. Saya yakin persiapan ini mengandung kekurangan dan juga kelebihan. Allah memanggil mereka yang bodoh, lemah, kurang ajar, dan penakut (1Kor. 1:26-29).

Kepemimpinan yang sukses bergantung pada karisma dalam arti yang lebih luas dan alkitabiah. Ini adalah anugerah yang Tuhan berikan melalui Roh-Nya. Kemampuan kepemimpinan, dan juga pemimpin itu sendiri, diberikan oleh Tuhan saat ini, sama seperti yang ada dalam Alkitab. Kepribadian mereka sama beragamnya dengan pemimpin mana pun yang kita baca di Alkitab dan sama tidak sempurnanya.

Kita mungkin lebih suka memilih Yesus saja sebagai pemimpin kita. Menurut saya, kita merindukan sebuah gerakan yang dorongannya hanya berasal dari Roh Kudus dan bukan sebagai respons terhadap kepribadian seseorang.

Hal seperti itu tentu saja mungkin terjadi, tetapi itu bukanlah hal yang biasa. Pada sebagian besar waktu, Tuhan bekerja melalui manusia. Di mana pun ada manusia, kepribadian selalu menjadi faktornya. Firman yang “sudi dikandung Santa Perawan”, sebagaimana dinyatakan dalam himne kuno, tidak segan-segan menyatakan diri-Nya melalui kepribadian para hamba-Nya.

Kegagalan spektakuler dari begitu banyak pemimpin terkemuka seharusnya membuat kita, orang Kristen, waspada untuk tidak terlalu percaya pada kepribadian seseorang. Gereja tidak mempunyai ruang untuk pemujaan terhadap kepribadian. Hanya ada satu Mesias bagi umat Allah, dan nama-Nya adalah Yesus.

Namun hal itu seharusnya tidak membuat kita takut terhadap kepribadian itu sendiri. Kepribadian dapat terdistorsi oleh dosa, tetapi kepribadian juga merupakan media utama Allah untuk menampilkan citra-Nya dalam kehidupan kita. Kepribadian bukanlah suatu beban dalam kepemimpinan. Kepribadian adalah wajah dari jiwa.

John Koessler adalah seorang penulis, penyiar siniar, dan dosen emeritus di Moody Bible Institute. Buku terbarunya adalah When God Is Silent yang diterbitkan oleh Lexham Press.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Our Latest

Apakah Fungsi Orang Tua?

Alkitab memiliki visi yang jelas bagi orang tua sebagai penatalayan anak-anak kita. Ini bukan buku petunjuk bagi perdebatan pola asuh orang tua masa kini.

Laporan Lausanne: Sebagian Besar Misionaris Menjangkau yang Sudah Terjangkau

Laporan Keadaan Amanat Agung (The State of the Great Commission) menelaah tantangan dan peluang di tengah lanskap misi yang terus berubah.

Ketika Pelayanan Melukai Keluarga Anda

Nasihat yang berasal dari pengalaman sulit untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan Tuhan.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube