T oksik. Kasar. Menindas. Tidak sehat.
Saya tidak pernah mendengar kata-kata tersebut digunakan begitu sering seperti yang saya alami dalam empat tahun terakhir. Kadang-kadang, sepertinya semua orang yang saya kenal memutuskan untuk menangani konflik dengan teman, kolega, dan gereja dengan memutuskan untuk pergi.
Mungkin sebagian dari hal ini merupakan pergeseran generasi karena generasi yang lebih muda menganut gagasan “memutus siklus,” atau mungkin sebagian lagi berasal dari bagaimana pandemi COVID-19 membuat banyak dari kita menilai kembali kehidupan kita. Dan tidak ada pola yang lebih jelas daripada di media sosial, di mana orang-orang merekam diri mereka sendiri saat meninggalkan pekerjaan, menulis postingan yang menhancurkan gereja yang mereka tinggalkan, dan berbagi video perenungan yang menjelaskan bagaimana perpisahan akan membantu mereka pulih.
Bagi banyak orang, pergi meninggalkan telah menjadi standar utama kesehatan mental—dan tetap bertahan telah menjadi hal yang dicurigai, bahkan mungkin delusi.
Namun, meninggalkan dan bertahan adalah istilah yang netral. Meninggalkan tidak selalu baik, dan bertahan juga tidak selalu buruk. Kita perlu memeriksa dengan lebih teliti cara kita melakukan keduanya. Daripada meninggalkan (atau bertahan) secara otomatis, kita perlu belajar untuk mengejar pemulihan, akuntabilitas, pertobatan, pengampunan, dan kebertahanan.
Izinkan saya memulai dengan sebuah peringatan yang penting: Jika Anda berada di sebuah gereja, organisasi, atau relasi yang menyakiti Anda, meninggalkannya mungkin merupakan pilihan yang tepat. Tidak mungkin untuk memberikan nasihat universal di sini, tetapi saya tidak menyarankan siapa pun untuk hidup di bawah pelecehan. Dalam sebuah organisasi besar, jika seorang pemimpin yang mendominasi bahkan tidak bersedia untuk berbicara, apalagi bertobat jika diperlukan, mungkin masuk akal untuk segera meninggalkannya.
Kekhawatiran saya di sini adalah situasi yang lebih ambigu, situasi di mana kita terlalu sering mengambil keputusan berdasarkan imajinasi dan asumsi kita daripada berdasarkan kasih, kebenaran, dan percakapan yang mencari kejelasan.
Secara umum, sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk menjadi agen rekonsiliasi (2Kor. 5:18) yang, melalui Roh Allah, berupaya untuk memupuk komunikasi dan hubungan yang sehat dan jelas. Itulah yang Yesus tekankan ketika Dia dua kali memerintahkan kita (Mat. 5:23–24; 18:15–20) untuk berbicara dan berdamai dengan orang yang telah kita sakiti atau yang telah menyakiti hati kita.
Mungkin sulit untuk membicarakan perasaan dan kebingungan kita, namun penting bagi kita untuk mengikuti perintah ini dengan sikap terbuka. Kita harus siap untuk bertanya dan bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan sulit. Jika Anda akan melakukan percakapan yang mencari kejelasan, misalnya, sudahkah Anda mempertimbangkan bahwa mungkin ada hal baru yang akan Anda pelajari tentang orang lain atau bahkan diri Anda sendiri? Anda mungkin akan menemukan bahwa orang lain atau organisasi itu bukanlah satu-satunya bagian yang “toksik” dari situasi tersebut.
Percakapan tidak akan membawa kita pada kejelasan atau rekonsiliasi jika kita hidup dengan anggapan bahwa kita tidak bersalah. “Seperti ada tertulis: ‘Tidak ada yang benar, seorang pun tidak’” (Rm. 3:10).
Kita juga tidak bisa mencapai kejelasan atau rekonsiliasi jika pembicaraan tidak pernah terjadi. Hidup dalam ketegangan yang tidak terselesaikan dapat merusak kesehatan mental, emosional, dan spiritual kita. Kita mungkin mulai hidup dengan pikiran yang saling bertentangan atau kehilangan kemampuan untuk terhubung secara emosional dengan orang lain. Yesus menyuruh kita untuk berdamai sebelum kita datang beribadah (Mat. 5:23–24) dan bahkan memperingatkan bahwa “jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu” (Mat. 6:15).
Pada sisi lain dari hubungan tersebut, saat kita menjauh dari orang lain dan membiarkan mereka tidak mengerti atau bingung dengan masalah kita, kita memberikan beban yang berat kepada mereka. Mereka mungkin merasa bahwa mereka hanyalah alat yang dipakai kalau diperlukan dan segera dibuang ketika tidak diperlukan lagi. (Saya tidak bisa berbohong; saya masih belum bisa melupakan fakta bahwa ada orang-orang yang menyimpan nomor HP saya ke dalam daftar panggilan cepat mereka untuk keadaan darurat di tahun tertentu, dan kehilangan nomor tersebut di tahun berikutnya.)
“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang” (Rm. 12:18), dan “Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Fil. 2:3–4). Hal ini mungkin memerlukan percakapan yang sulit tentang kebenaran yang kompleks demi kepentingan orang lain.
Percakapan-percakapan tersebut belum tentu selalu berakhir dengan kesepakatan. Rekonsiliasi dan kesepakatan tidaklah sama. Bertahun-tahun yang lalu, di sebuah gereja yang saya gembalakan, seorang anggota kunci mempunyai tujuan yang berbeda dengan saya. Dia berkata, “Pak Pendeta, Anda mempunyai visi, saya juga memiliki visi, dan dua visi menciptakan perpecahan.” Kami tidak sependapat, tetapi sungguh melegakan ketika dia menyimpulkan bahwa dia sedang menuju arah spiritual yang berbeda tanpa menjelek-jelekkan saya atau orang lain dalam kepemimpinan.
Ketidaksepakatan seperti itu mungkin mengarah pada perpisahan yang baik-baik. Namun jika Anda memutuskan untuk tetap tinggal, itu bisa menghasilkan buah yang baik juga. Saya telah melihat banyak orang bertahan dan melanjutkan percakapan dengan baik. Mereka memperjuangkan perubahan dalam kasih, mencari kejelasan, dan, seiring berjalannya waktu, mampu menciptakan lingkungan yang lebih sehat melalui doa dan hubungan yang jelas. Dan apakah kita pergi atau tetap tinggal, kita memiliki kewajiban untuk mempraktikkan rasa syukur dan memberkati orang lain sebagaimana Bapa surgawi telah memberkati kita dengan penuh kasih.
Terakhir, saat kita mengejar kejelasan, kita membangun ketahanan dalam jiwa kita. Kita dapat “bermegah dalam kesengsaraan kita,” kata Paulus dalam Roma 5:3–4, “karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.”
Bagian ini dimulai dengan kesengsaraan namun berakhir dengan pengharapan—dan itulah buah dari ketekunan. Anda bisa melihat sisi lain dari kesengsaraan dengan melalui cobaan dan ketegangan hidup bersama orang lain. Anda akan melihat buahnya bertahun-tahun kemudian setelah dengan sabar membicarakan luka-luka dengan orang lain. Ketika kita mempersembahkan kesengsaraan, penderitaan, dan pencobaan-pencobaan dalam relasi dan organisasi kepada Yesus, Dia memberi kekuatan-Nya kepada kita untuk bertahan (2Tes. 2:16-17). Kita dapat belajar untuk menolak pengharapan palsu bahwa orang-orang yang hancur dapat memberikan kedamaian yang sejati dan sebaliknya, kita dapat memiliki pengharapan yang sejati di dalam Yesus.
James Roberson memasuki pelayanan di perguruan tinggi pada tahun 1999, kemudian memperoleh gelar dari Southeastern Seminary. Berkomitmen pada keadilan sosial, ia telah menangani isu-isu seperti pemberdayaan pemuda, AIDS, penyalahgunaan narkoba, dan kekerasan dalam rumah tangga serta telah berperan penting dalam perintisan gereja di berbagai negara bagian. Dia mendirikan dan menggembalakan The Bridge Church di Brooklyn, di mana dia tinggal bersama istrinya, Natarsha, dan tiga putrinya.
Diterjemahkan oleh George H. Santoso.