Pertama kali putri saya membuka matanya adalah saat berada di dalam ambulans yang sedang melaju melewati pusat kota Chicago. Saat saya memeluknya erat-erat, mata birunya menatap langsung ke mata saya, dan saya tahu dia akan baik-baik saja. Kami sudah memiliki ikatan yang khusus karena saya baru saja mengiring kelahirannya di kursi depan Honda Civic kami. Itu adalah salah satu momen paling mulia dalam hidup saya.
Meski demikian, penderitaan yang dipersonifikasikan—yaitu, istri saya—terbaring di samping kami di atas tandu. Dia mewujudnyatakan penderitaan yang melaluinya kemuliaan itu datang. Saya telah menyaksikan secara langsung kemuliaan melalui penderitaan. Setiap kali saya mengingat momen tersebut, saya menyadari bahwa kemuliaan melalui penderitaan tidak hanya terjadi pada kelahiran putri saya. Menurut Injil, ini adalah kisah tentang dunia.
Penderitaan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dan tidak dapat dicegah. Dikelilingi oleh kanker, penyakit mental, ketidaksuburan, depresi, kehilangan, dan akhirnya kematian, kita bertanya bagaimana kemuliaan Tuhan dapat bersinar melalui keadaan-keadaan yang tragis seperti ini. Bagi sebagian besar kita, kemuliaan dan penderitaan tampaknya tidak sejalan, sama seperti sesuatu yang tidak bisa secara bersamaan menjadi panas dan dingin, basah dan kering. Namun perjalanan Kristus dari tempat buaian hingga ke liang lahat menyingkapkan suatu pola yang terjalin di dalam seluruh bagian Alkitab. Bagi Kristus, umat Kristen, dan seluruh ciptaan, jalan kemuliaan adalah jalan Salib.
Kisah Kemuliaan
Ketika kita melihat Kitab Suci, kita mungkin menyimpulkan bahwa penderitaan dan kemuliaan merupakan sebuah gerakan dua langkah: Kemuliaan datang setelah penderitaan. Tentu saja dalam banyak hal, Alkitab menampilkan penderitaan dan kemuliaan sebagai perkembangan yang linier (Kis. 2:33–36; Flp. 2:6–9; 1Ptr. 1:10–11; Ibr. 2:9–10). Namun Alkitab juga mengungkapkan hubungan yang lebih organik dan tumpang tindih di antara keduanya: kemuliaan melalui penderitaan (Yoh. 12:23–33; Why. 5:5–6).
Kita melihat tema ini sejak awal, di Taman Eden. Tuhan menciptakan manusia untuk memenuhi dan menaklukkan bumi bagi kemuliaan-Nya. Akan tetapi banyak hal tidak berjalan sebagaimana mestinya. Adam dan Hawa menolak Tuhan sebagai Raja dan menundukkan diri mereka sendiri, serta dunia, kepada dosa dan maut. Namun, Allah tidak membatalkan rencana-Nya untuk mendirikan kerajaan-Nya di bumi, meski kehadiran dosa mengharuskan adanya jalan yang baru. Kejadian 3:15 memberikan kuncinya: Sementara ular itu akan diremukkan oleh keturunan sang perempuan—di mana “keturunan” itu adalah Yesus—dalam proses tersebut, keturunan perempuan itu akan diremukkan. Janji kemenangan mencakup harga penderitaan. Dari sini, sebuah pola muncul: Kemenangan datang melalui penderitaan, peninggian melalui kehinaan, dan, pada akhirnya, kerajaan melalui Salib.
Sepanjang Perjanjian Lama, Allah menggenapi tujuan-Nya yang berdaulat itu melalui orang-orang yang lemah dan keadaan yang rusak. Ia membangun sebuah bangsa dari pasangan lansia yang tidak subur (Abraham dan Sarah), menamai bangsa tersebut dengan nama seorang penipu yang licik (Yakub), dan mengembangkan bangsa itu melalui seorang budak yang ditelantarkan oleh saudara-saudaranya (Yusuf). Tuhan memakai Daud yang kecil sebagai sarana kerendahan hati, bahkan dipandang bodoh, untuk mengalahkan seorang raksasa, dan kemudian menjadikan Daud sebagai raja yang pemerintahannya ditandai dengan kesulitan dan penderitaan. Dan Yesaya 52 dan 53 mengisahkan tentang seorang hamba penebus yang berkorban, yang dibingkai dengan kemuliaan dan keagungan.
Semua ini menunjuk pada Yesus, yang datang untuk menegakkan kerajaan Allah yang mulia melalui penderitaan, pengorbanan, dan pelayanan. Menjelang kematian-Nya, Yesus berkata, “Dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku” (Yoh. 12:32). Pada awalnya, tampaknya Yesus sedang berbicara tentang kedatangan-Nya masuk ke surga. Namun ayat berikut menjelaskan bahwa Yesus mengacu pada penyaliban-Nya: “Ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana caranya Ia akan mati.” Injil Yohanes membangun pemahaman bahwa saat klimaks ketika Yesus “diangkat” di kayu salib itu adalah saat Ia dinobatkan dalam kemuliaan (Yoh. 12:23–32; 3:14; 8:28). Salib menjadi takhta, tempat di mana Kristus memerintah dunia.
Salib juga menjadi titik tumpu di mana logika dunia dijungkirbalikkan. Rasa malu diubah menjadi kemuliaan, kebodohan menjadi hikmat, dan penghinaan menjadi peninggian. Kemuliaan Salib bersinar di seluruh bagian Perjanjian Baru. Paulus berkata, “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” (1Kor. 1:18). Dan menurut kitab Ibrani, Allah memulihkan rancangan awal ciptaan-Nya melalui kematian Putra-Nya, yang “oleh karena penderitaan maut, dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat” (2:9). Dari tumit yang diremukkan di Kejadian 3:15 hingga Anak Domba yang berkuasa di Wahyu 22, Alkitab menceritakan kisah Mesias yang disalib dan dimuliakan melalui penderitaan.
Arti Kemuliaan
Ketika kita memandang Yesus, kita melihat bahwa Allah telah melakukan tindakan keselamatan yang paling dahsyat. Ia telah menyatakan kemuliaan-Nya melalui cara yang paling rendah hati, yaitu salib. Namun tersisa sebuah pertanyaan: Apakah kemuliaan itu? Dan bagaimana mungkin kemuliaan itu dapat muncul dari kematian yang begitu mengerikan dan memalukan?
Menurut J.I. Packer, kemuliaan adalah “keunggulan dan kepujian yang nyata dalam tampilan.” IPhone yang asli, misalnya, sangat mengesankan dalam disainnya meski sebelum ada orang yang melihatnya. Namun ketika Steve Jobs memperkenalkannya kepada dunia, itu adalah momen kemuliaan. Demikian pula kemuliaan Tuhan adalah ketika Allah menyatakan diri kepada publik dengan keindahan-Nya yang tak terbatas. Seperti yang diajarkan oleh Jonathan Edwards, kemuliaan bukan hanya salah satu atribut atau karakteristik Allah (beserta kekudusan, kasih, kuasa, dan sebagainya). Sebaliknya, kemuliaan adalah “gabungan yang mengagumkan dari berbagai macam keunggulan”. Kemuliaan adalah etalase karakter Allah yang mempesona, mencengangkan, dan menakjubkan bagi dunia yang telah digelapkan oleh dosa. Kemuliaan adalah pancaran cahaya yang memukau, yang dihasilkan oleh kekudusan, kasih, belas kasihan, keadilan, hikmat, dan kuasa-Nya—yang semuanya menyatu dengan cara yang paling tepat di dalam kematian Kristus.
Pada Salib, kita melihat keadilan Allah melalui penghakiman atas dosa, kasih Allah melalui pengampunan bagi orang-orang yang berdosa, kuasa Allah melalui kemenangan-Nya atas Iblis, dan hikmat Allah dalam menegakkan kekudusan-Nya namun membuka jalan bagi orang-orang berdosa. Kematian Kristus adalah yang paling utama, “Demikianlah firman Tuhan.” Hal ini mengungkapkan keharmonisan yang agung dari karakter Allah yang multifaset. Salib adalah persimpangan dari segala sesuatu yang kita ketahui tentang Allah.
Mengatakan bahwa kemuliaan Allah bersinar melalui Salib berarti membuat suatu pernyataan Tritunggal yang mendalam. Injil Yohanes memperjelas bahwa Anak mempermuliakan Bapa (17:1, 4), Bapa memuliakan Anak (8:54), dan bahwa pertukaran kemuliaan Tritunggal yang penuh kasih ini telah terjadi selama-lamanya (17:5, 24) . Namun, yang menakjubkan, Salib adalah tempat di mana pertukaran kemuliaan Tritunggal ini ditampilkan sepenuhnya. Kemuliaan yang dinyatakan melalui kasih yang memberi diri di Salib merupakan sebuah jendela menuju kehidupan kekal dari Allah Tritunggal. Melalui Salib kita melihat hikmat Bapa, kasih karunia Putra, dan kuasa Roh Kudus—yang keselarasannya menghasilkan pancaran kemuliaan kasih Allah yang memberi diri.
Jadi, apakah Salib untuk kemuliaan Tuhan atau untuk keselamatan kita? Ya! Tidak ada persaingan antara kemuliaan Tuhan dan keselamatan kita. Seperti yang dikatakan oleh John Piper, “Tuhan paling dimuliakan di dalam kita ketika kita paling puas di dalam Dia.” Kitab Suci berulang kali menyatakan bahwa kemuliaan Allah merupakan kabar baik bagi dunia yang digelapkan oleh dosa (2Kor. 4:4). Sama seperti pancaran sinar matahari yang menghasilkan kehidupan dan pertumbuhan di seluruh bumi, demikian pula pancaran kemuliaan Allah adalah sumber keselamatan dan sarana pertumbuhan kita.
Bagian Kita di dalam Kisah Ini
Banyak dari kita yang secara naluriah merasa bahwa jika kita setia kepada Yesus, maka kehidupan kita akan berjalan baik. Kita akan memperoleh kenyamanan, kesuksesan, dan bahkan mungkin kekayaan. Namun itulah logika dari impian Amerika, bukan Injil. Dietrich Bonhoeffer berkata, “Seorang Raja yang mati di Salib pastilah Raja dari kerajaan yang agak aneh.” Sungguh kerajaan yang aneh memang. Dan sang Raja yang dimuliakan di atas Salib memajukan kerajaan-Nya dengan memanggil para pengikut-Nya untuk memikul salib mereka sendiri.
Para pengikut Yesus pasti akan mendapatkan kemuliaan. Namun apa yang benar bagi Kristus juga berlaku bagi mereka yang berada “di dalam Kristus”: Kemuliaan datang melalui penderitaan. Paulus berkata bahwa, sebagai ahli waris bersama Kristus, “kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dimuliakan bersama-sama dengan Dia” (Rm. 8:17).
Dunia kita beroperasi berdasarkan logika bahwa kelemahan dan kekuatan adalah hal yang berlawanan. Namun Salib membalikkan konsep ini. Kristus berkata, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2Kor. 12:9). Bukan berarti kuasa Allah menjadi sempurna terlepas dari kelemahan kita atau setelah kita menderita. Tidak, kuasa-Nya menjadi sempurna dalam kelemahan kita.
Tuhan tentu saja dapat dan memang menunjukkan kuasa-Nya melalui penyembuhan dan campur tangan-Nya. Namun justru melalui kelemahanlah kita belajar berpegang teguh pada kekuatan Tuhan. Dan “kelemahan” yang dibicarakan Paulus tidak mengacu pada keberdosaan, melainkan pada kesulitan hidup sehari-hari. Dalam masa transisi yang sulit, Tuhan adalah yang tetap bagi kita. Di tengah kerapuhan usia tua, Tuhan adalah kekuatan kita. Dalam kegelapan depresi, Tuhan adalah pengharapan kita. Tuhan tidak menunggu kita di sisi lain dari penderitaan; Ia menjumpai kita di dalam penderitaan kita.
Hal ini bukan berarti membuat penderitaan menjadi mudah, melainkan membuatnya menjadi bermakna. Tuhan menyertai kita di dalam penderitaan kita, Dia mengubah kita melalui penderitaan kita, dan suatu hari nanti Dia akan mengakhiri penderitaan kita. Itulah sebabnya Paulus berkata, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam [Dia] yang memberi kekuatan kepadaku” (Fil. 4:13). Dia tidak mengatakan ini dari ruang olahraga atau di lapangan basket. Dia mengatakannya dari penjara. Seorang binaragawan mungkin mampu mengangkat sebuah mobil, tetapi orang yang kuat di dalam Kristus bahkan lebih kuat lagi, karena ia dapat bersukacita di dalam penderitaan. Mengapa? Sebab kelemahan kita adalah etalase bagi kemuliaan kekuatan Tuhan.
Ciptaan Baru yang Mulia
Namun bukan hanya itu saja. Bahkan ciptaan pun akan mengalami kemuliaan. Alkitab menyatakan bahwa bumi akan dipenuhi dengan pengetahuan tentang kemuliaan Allah (Hab. 2:14), dan bumi akan memancarkan kemuliaan dengan sendirinya. Akan tetapi, seperti halnya bagi Kristus dan orang-orang Kristen, demikian pula halnya dengan ciptaan: Kemuliaan datang melalui penderitaan.
Menurut Roma 8, dunia kita ditetapkan untuk beroleh kemuliaan, tetapi saat ini dunia berada dalam keadaan yang rusak, merana, dan merintih menantikan pembaruan. Namun Paulus memberikan visi tentang pembaruan kosmik: “makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (8:21).
Banyak orang Kristen telah keliru menempatkan pembaruan kosmik dan keselamatan pribadi sebagai sesuatu yang bertentangan. Sebagian orang percaya bahwa Injil hanyalah berkaitan dengan keselamatan individu, bukan dengan isu-isu seperti kepedulian terhadap ciptaan dan keadilan sosial. Sebagian yang lain berpendapat bahwa inti dari Injil adalah isu-isu seperti kepedulian terhadap orang miskin, perdamaian dunia, dan pembaruan bumi. Akan tetapi Paulus menunjukkan bahwa pembaruan kosmik dan pembaruan pribadi tidak dapat dipisahkan. Ciptaan merindukan “kemerdekaan kemuliaan” yang sudah dimiliki orang Kristen di dalam Kristus. Keselamatan dari Tuhan ditujukan kepada gereja dan kosmos, tetapi dalam tatanan yang benar. Gereja adalah fokus dari keselamatan dan kosmos adalah ruang lingkup dari keselamatan.
Teolog Robert Letham menjelaskan bahwa “gereja harus menjadi ujung tombak dari kosmos yang direnovasi dan dipulihkan.” Ini berarti bahwa pembaruan segala sesuatu terjadi karena adanya rekonsiliasi terhadap orang-orang berdosa. Pembaruan ciptaan telah dimulai dalam kebangkitan tubuh Yesus, terus berlanjut melalui pembaruan rohani umat Allah, dan akan disempurnakan melalui pemulihan bumi secara jasmani.
Semua ini dimungkinkan karena kemuliaan dari penyaliban Kristus. Keagungan dan kelemah-lembutan, kedaulatan dan kehambaan, penghinaan dan peninggian—itulah paradoks dari Mesias yang disalibkan. Hidup kita dipenuhi dengan penderitaan dan kesenangan, kemuliaan dan kehinaan, impian dan keputusasaan. Itulah ketegangan dunia yang dirusak oleh dosa namun ditopang oleh kasih karunia. Satu-satunya harapan bagi dunia kita adalah Kristus, yang telah menanggung beban dosa dan maut namun mengalahkan semuanya demi kita. Oleh karena Dia mengalami kemuliaan dalam penderitaan dan dimuliakan melalui kehinaan, maka kita pun bisa.
Putri saya—yang “lahir dan dibesarkan di jalanan Chicago”—baru berusia 2 tahun. Nama tengahnya adalah Hope (Harapan), yang kami pilih untuk mengingatkan bahwa harapan kami hanya kepada Tuhan. Kita dapat merasa terhibur karena Tuhan telah masuk ke dalam penderitaan kita, dapat merengkuh kuasa-Nya di tengah penderitaan kita, dan berpegang teguh pada-Nya dengan pengharapan bahwa suatu hari nanti Dia akan mengakhiri penderitaan kita. Kita sedang ditransformasikan dari satu tingkat kemuliaan ke tingkat kemuliaan lainnya—melalui Salib.
Jeremy Treat (Ph.D., Wheaton College) adalah seorang pendeta di Reality LA di Hollywood, dan seorang profesor di Biola University di La Mirada, California. Dia adalah penulis buku, The Crucified King: Kingdom and Atonement in Biblical and Systematic Theology (Zondervan).