Oktober lalu, reputasi presiden Indonesia yang sangat disegani ini mengalami pukulan telak.
Dipimpin oleh saudara ipar Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Mahkamah Konstitusi Indonesia menghapus batasan usia calon presiden dan wakil presiden jika mereka pernah menduduki jabatan daerah melalui pemilu. Dengan mudahnya, hal ini membuka jalan bagi putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, 36, untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden untuk kandidat Prabowo Subianto, dalam pemilihan presiden 14 Februari.
“Itu hal terburuk yang terjadi pada demokrasi kita,” kata Yonky Karman, seorang dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta. “Pemilu [yang akan datang] ini diatur oleh petahana untuk menawarkan kandidat pilihannya, dan yang terburuk adalah ia memberikan jalan bagi putra sulungnya untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden dengan mengubah undang-undang pemilu.”
Lima tahun lalu, 97 persen non-muslim memilih Jokowi. Namun kali ini, dukungan umat kristiani terpecah.
Dalam negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, umat muslim berjumlah 87 persen dari populasi sementara umat kristiani berjumlah 10 persen. Bagi umat Kristen, persoalan terpenting saat memilih dalam pemilu adalah menjaga hak-hak mereka sebagai agama minoritas. Oleh karena itu, sebagian besar mereka mendukung Jokowi dalam dua pemilu terakhir.
Namun kali ini, keputusannya lebih rumit. Eks jenderal Prabowo adalah mantan saingan lama Jokowi, yang kemudian bergabung dengan koalisi presiden dan menjabat sebagai menteri pertahanan. Umat kristiani khawatir karena, dalam dua pemilu terakhir, ia mendapat dukungan dari kelompok muslim radikal.
Prabowo mencalonkan diri berhadapan dengan Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, yang keduanya adalah mantan gubernur. Anies juga tidak asing dengan berita utama, setelah menerima dukungan dari muslim radikal yang menentang keras saingannya, Basuki “ Ahok” Tjahaja Purnama yang merupakan seorang Kristen dari etnis Tionghoa, pada pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017. Sementara itu, beberapa pihak khawatir tentang seberapa besar Ganjar, yang mendapat dukungan dari kaum muslim moderat, akan dipengaruhi oleh mantan presiden Megawati Sukarnoputri.
Saat ini, Prabowo unggul dalam jajak pendapat dengan 47 persen suara, dibanding Ganjar dengan 25 persen dan Anies dengan 21 persen, menurut jajak pendapat pada bulan Desember 2023.
Namun, jika tidak ada kandidat yang memperoleh lebih dari 50 persen suara dan memenangkan setidaknya 20 persen suara di separuh provinsi di Indonesia, pemilihan putaran kedua akan dijadwalkan pada bulan Juni.
Para responden menyebutkan bahwa, meskipun jumlah pemilih Kristen terpecah, upaya Jokowi demi “politik dinasti” mendominasi percakapan di kalangan umat Kristen.
Franz Magnis-Suseno, seorang imam dari Ordo Jesuit dan profesor yang telah menulis beberapa buku tentang filsafat politik, menyatakan bahwa Indonesia berada dalam “situasi yang sangat berbahaya.”
“Bagi banyak dari kita, pertanyaannya adalah bagaimana demokrasi Indonesia akan berjalan?” kata Magnis-Suseno. “Di bawah pemerintahan Jokowi, demokrasi sedang mengalami kemerosotan… ke jurang kehancuran.”
Seorang ‘presiden yang rendah hati dan membumi’
Lima tahun lalu, tak terpikirkan sosok sepopuler Jokowi akan menimbulkan begitu banyak kontroversi .
“[Jokowi] dikenal sangat demokratis dan dia… menekankan pluralitas budaya dan agama di Indonesia,” kata Andrew Kristanto, seorang vikaris sebuah gereja Indonesia di Selandia Baru. Kristanto adalah salah satu dari 1,7 juta lebih pemilih di luar negeri pada pemilu 2024. Meskipun ia telah tinggal di luar negeri selama delapan tahun terakhir, ia mengaku mengikuti perkembangan politik Indonesia dengan cermat.
Dia menggambarkan Jokowi sebagai “presiden yang rendah hati dan membumi, [yang] dicintai semua orang.” Kristanto percaya bahwa Indonesia akan menjadi “kekuatan yang berkembang di Asia, dan bahkan di dunia” ketika Jokowi menjadi presiden dan menunjuk pada pencapaian-pencapaiannya, seperti pengakuan dari para pemimpin dunia, pertumbuhan infrastruktur, dan minimalisasi radikalisme Islam.
“Dia benar-benar peduli pada kaum minoritas, pada rakyat kecil,” katanya.
Andreas Hauw, seorang dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara dan pendiri lembaga pendidikan politik non profit di Malang, Indonesia, sependapat. Ia mencatat, umat Kristen dan masyarakat luas menyetujui kinerja Jokowi dalam sembilan tahun terakhir.
Selama pemerintahan beliau, pemerintah meningkatkan layanan kesehatan dan pendidikan serta melakukan standardisasi harga bahan bakar di berbagai daerah, katanya.
“Meski masih terdapat tindakan radikalisme seperti pelarangan gereja, namun terjadi secara sporadis,” kata Hauw. “Secara umum, umat Kristen menikmati kebebasan beribadah yang besar.”
Jokowi melejit ke posisi teratas di negara ini pada pemilu tahun 2014, yang mempertemukan muslim konservatif dengan muslim moderat dan kelompok-kelompok minoritas. Jajak pendapat menunjukkan bahwa muslim moderat dan 97 persen pemilih non-muslim mendukung Jokowi dan pasangannya Ma’ruf Amin pada pemilu 2019. Sementara itu, pesaingnya, Prabowo, memenangkan hati kalangan Islam konservatif.
Bagi Kristanto, keputusan antara Prabowo dan Jokowi dalam dua pemilu tersebut bersifat “hitam dan putih.”
Saat ditanya mengenai sepak terjang Jokowi di akhir masa jabatannya, Kristanto terdiam sebelum menjawab. “Saya agak bertentangan dalam masalah ini karena, ya… saya kecewa dengan cara Jokowi bermain-main dengan konstitusi dan beliau sepertinya menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya,” katanya.
“Apa yang telah dilakukan Jokowi terhadap konstitusi meninggalkan warisan buruk.”
Prabowo sosok yang ‘bermasalah’
Apakah ini berarti presiden yang populer itu telah mengasingkan para pendukungnya yang beragama Kristen hanya dalam waktu lima tahun?
“Sebagian ada yang senang dengan kebijakan Jokowi,” kata Karman. “Namun orang-orang seperti saya prihatin dengan masa depan demokrasi dan masa depan pemerintahan yang baik.”
Ia menunjuk pada Indeks Persepsi Korupsi yang memperlihatkan bahwa skor Indonesia turun ke tingkat yang sama dengan skor pada tahun 2014, ketika Jokowi pertama kali berkuasa.
Sebagian yang lain mempertanyakan apakah mereka akan memilih Prabowo, bahkan sekalipun ia mendapat dukungan dari Jokowi dalam pemilu kali ini.
“Bagi sebagian umat Kristen, sosok Prabowo bermasalah, apalagi jika melihat tahun 2014 dan 2019, dia didukung oleh kelompok Islam radikal,” kata Kristanto. “Jika Prabowo benar-benar jadi presiden, apakah ia akan tetap mendengarkan Jokowi? Apakah putra Jokowi akan menjadi utusan yang kuat?”
Sejauh ini dalam kampanyenya, kelompok-kelompok Islam radikal masih bungkam mengenai siapa yang akan mereka dukung, dan Prabowo sendiri telah berusaha tampil moderat, kata Magnis-Suseno, yang lahir di Jerman namun telah tinggal di Indonesia sejak tahun 60-an. Berbeda dengan kampanye Prabowo sebelumnya, agama tidak memainkan peran besar karena kandidat tersebut menginginkan dukungan dari masyarakat Indonesia yang pro-Jokowi, katanya.
“Prabowo ingin menghindari persoalan kubu agama. … Akan lebih sulit baginya jika dia tampil sebagai pemenang dari kelompok Islam garis keras,” kata Magnis-Suseno.
Para pemimpin Islam moderat setuju bahwa pemilihan presiden kali ini tidak terlalu berfokus pada identitas agama pemilih. “Orang-orang bahkan sudah mulai merasa malu jika menggunakan isu-isu terkait suku, agama, ras, atau hubungan antargolongan dalam kampanye politik karena masyarakat sudah semakin cerdas,” ujar Inayah Rohmaniyah, pakar kajian Islam.
Namun sejarah tidak mudah dilupakan. Dalam dua pemilu terakhir, kelompok muslim garis keras seperti Amien Rais (salah satu pendiri Partai Amanat Nasional yang konservatif) tertanam di kubu Prabowo. Pada tahun 2014, Rais memandang pemilu secara tegas: “partai Allah” melawan “partai setan.”
Magnis-Suseno meyakini bahwa menyebut partai politik dengan cara seperti itu adalah “jahat” dalam demokrasi. “Prabowo menerima hal tersebut, dan pada tahun 2019 ia juga mendapat dukungan dari kelompok 212.”
Unjuk rasa yang disebut Alumni 212 muncul pada tahun 2016 saat kampanye pemilihan gubernur Jakarta sebagai oposisi terhadap Ahok. Ahok dituduh melakukan penistaan agama setelah mengacu pada Al-Quran dan dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Dalam gelombang reaksi buruk tersebut, Ahok kalah dalam pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017 dari Anies Baswedan, yang kali ini juga mencalonkan diri sebagai presiden.
Namun Magnis-Suseno mengatakan salah satu ancaman terbesar terhadap demokrasi yang ditimbulkan oleh Prabowo adalah tuduhan beliau tentang “kecurangan yang meluas” setelah Jokowi mendeklarasikan kemenangannya pada pemilu lalu. Protes massa terhadap kemenangan Jokowi berubah menjadi kekerasan dan menyebabkan delapan orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Prabowo juga merupakan seorang pemimpin militer pada kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada jatuhnya mantan pemimpin, Suharto, yang menyebabkan 1.200 orang tewas terbakar dan lebih dari 90 perempuan etnis Tionghoa diperkosa.
“Saya sama sekali tidak percaya pada keyakinan demokrasinya,” kata Magnis-Suseno tentang Prabowo. “Saya khawatir demokrasi akan berada dalam bahaya besar jika dia menjadi presiden.”
Senada dengan itu, Martin Lukito Sinaga, pendiri Masyarakat Dialog Antaragama dan dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta, menyatakan bahwa karena adanya perubahan undang-undang bagi Gibran untuk mencalonkan diri dalam pemilu, jika Prabowo menang, maka Indonesia akan menghadapi “kemunduran dalam demokrasi,” dan kemungkinan besar akan terbentuknya “pemerintahan otokratis.”
Suara umat Kristen yang terpecah
Semua ini membuat umat Kristen di Indonesia tidak mempunyai pilihan yang jelas.
Magnis-Suseno mengenang sebuah pertemuan dengan seorang pastor paroki di Jakarta Timur. “Dia mengatakan kepada saya, ‘Gereja-gereja kami bisa dibangun setelah Anies memberi izin, jadi sebagian komunitas saya akan memilih Anies,’” kata Magnis-Suseno. “Kemudian di parokinya, [ada] seorang aktivis Katolik yang baik dan merupakan salah satu rekan kerja yang dekat dengan Prabowo; karena itu, banyak orang dari komunitasnya akan memilih Prabowo, dan sisanya akan memilih Ganjar.”
Karman mencatat pula bahwa umat Protestan juga terpecah. Ia mengatakan bahwa ia akan senang jika Anies atau Ganjar menjadi presiden berikutnya.
“Ganjar memiliki poin positif lainnya, yaitu calon wakil presidennya adalah Mahfud MD,” kata Karman. “Mahfud adalah seorang profesor di bidang hukum dan mantan ketua Mahkamah Konstitusi. Dia mengetahui banyak hal tentang hukum dan secara konsisten menentang korupsi.”
Sinaga yakin gereja akan memiliki lebih banyak peluang untuk melayani secara efektif di bawah kepemimpinan Ganjar karena ia tampak lebih terbuka terhadap pluralitas. Ia mengatakan, Ganjar juga terlihat fokus untuk mengatasi kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang semakin memburuk pada tahun 2022.
Di sisi lain, ia percaya demokrasi akan berkembang di bawah kepemimpinan Anies, namun berpotensi lebih condong ke arah kepentingan Islam karena ia memerlukan dukungan dari kelompok-kelompok muslim garis keras untuk memperoleh suara yang dibutuhkan untuk menjadi presiden. “Gereja-gereja mungkin memerlukan lebih banyak energi untuk menghadapi legislasi agama yang diusulkan oleh kekuatan politik Islam,” katanya.
Hauw percaya bahwa sebagian besar umat Kristen tidak akan memilih Anies karena ia diuntungkan oleh oposisi yang kuat terhadap Ahok pada pemilihan tahun 2017.
Terkait Ganjar dan Prabowo, Hauw mencemaskan tentang siapa dalang di belakang mereka. Mantan presiden, Megawati Sukarnoputri, ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, memilih Ganjar sebagai kandidat dari partainya. (Jokowi juga naik ke tampuk kekuasaan melalui partai yang sama, namun dalam beberapa tahun terakhir hubungannya dengan Megawati semakin merenggang.) Pada sisi lain, Prabowo tampaknya dikendalikan oleh Jokowi melalui putranya yang merupakan wakil Prabowo.
“Kekhawatiran utama saya dalam pemilihan presiden kali ini adalah tidak ada satu pun kandidat yang memenuhi syarat untuk dipilih,” ujarnya. Melihat dua kandidat teratas, “Pada satu sisi menyukai wayang, tetapi tidak menyukai dalang. Pada sisi lain, dalang disukai tetapi wayangnya tidak. Sederhananya, Ganjar disukai tetapi dalangnya tidak, sedangkan di pihak Prabowo dalangnya disukai.”
Kristanto juga menyampaikan kekhawatirannya mengenai apakah Ganjar akan menjadi presiden yang independen, karena tidak pasti seberapa besar pengaruh Megawati terhadap Ganjar: “Hal ini juga menjadi kekhawatiran sebagian orang karena mereka takut Ganjar dan Megawati tidak benar-benar memahami visi Indonesia Raya yang diimpikan Jokowi.”
Kristanto mengatakan ia akan memilih seorang kandidat berdasarkan apakah mereka pernah bersekutu dengan kelompok-kelompok Islam radikal di masa lalu, seberapa jauh mereka telah berusaha menjauhkan diri dari kelompok-kelompok tersebut, dan apakah mereka memanfaatkan kelompok-kelompok tersebut untuk popularitas politik mereka sendiri.
Meskipun dia tidak mengungkapkan siapa yang akan dipilihnya, ia mengatakan, “Saya akan memilih kandidat dengan rekam jejaknya paling bersih dalam hal bagaimana ia mendorong pluralitas.”
Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.