Di antara negara-negara sekitarnya, Singapura adalah sebuah anomali spiritual. Dikelilingi oleh negara-negara yang sangat religius dengan mayoritas muslim (penganut agama Islam) atau buddhis (penganut agama Buddha) yang mendominasi, negara kota-kepulauan ini dalam beberapa hal merupakan masyarakat yang paling beragam agamanya di dunia, tanpa ada satu pun agama yang menjadi mayoritas.
Saat ini, dua dari tiga warga Singapura tidak menganggap agama sebagai hal yang penting. Namun negara ini memiliki tingkat perpindahan agama tertinggi di kawasan ini—termasuk perpindahan ke agama Kristen—menurut penelitian khusus Pew Research Center tentang agama di Asia Selatan dan Tenggara yang dirilis pada 12 September 2023.
Tidak adanya satu pun agama yang dominan di Singapura sejalan dengan meningkatnya “perpindahan agama,” istilah Pew untuk orang dewasa yang pindah ke agama yang berbeda dengan yang mereka anut sejak kecil. Persentase warga Singapura yang mengaku buddhis atau menganut agama tradisional Tionghoa telah menurun, sementara mereka yang mengaku kristiani (penganut agama Kristen) atau tidak beragama telah meningkat.
Sebaliknya, di lima negara sekitar yang dilibatkan dalam penelitian ini—Malaysia, Indonesia, Kamboja, Thailand, dan Sri Lanka—hampir semua orang dewasa yang disurvei mengatakan bahwa mereka tetap menganut agama yang sama yang mereka anut sejak kecil. Dan sebagian besar orang menganggap agama sangat penting dalam kehidupan mereka.
Untuk laporan internasional terbaru Pew, “Agama Buddha, Islam, dan Pluralisme Agama di Asia Selatan dan Tenggara,” para peneliti menyurvei lebih dari 13.000 orang dewasa dari bulan Juni hingga September 2022. Enam negara yang dipilih Pew merupakan perwakilan agama di wilayah tersebut: Tiga negara dengan mayoritas penduduk buddhis (Kamboja, Sri Lanka, dan Thailand); dua negara dengan mayoritas penduduk muslim (Malaysia dan Indonesia); dan satu negara dengan keragaman agama (Singapura).
(Para peneliti menjelaskan bahwa meskipun Sri Lanka biasanya dikelompokkan dalam negara Asia Selatan, negara kepulauan ini dimasukkan karena keterkaitannya dengan Asia Tenggara. Misalnya, umat buddhis di Sri Lanka sebagian besar mengikuti tradisi Theravada seperti di negara-negara dengan mayoritas penduduk buddhis lainnya dalam penelitian ini. Selain itu, meskipun Laos dan Myanmar juga merupakan negara tetangga di Asia Tenggara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha Theravada, realitas politik di kedua negara tersebut menghalangi dilakukannya survei yang dapat diandalkan mengenai topik-topik keagamaan).
Laporan ini mencakup berbagai topik mulai dari bagaimana agama terkait dengan identitas nasional, peran agama dalam pemerintahan, sikap masyarakat di Asia Selatan dan Tenggara terhadap agama-agama lain, serta praktik-praktik lintas agama.
Ketika agama lebih dari sekadar agama
Kecuali Singapura, semua negara yang disurvei memiliki tingkat religiusitas yang tinggi: Hampir semua responden di lima negara tersebut mengidentifikasikan diri dengan suatu kelompok agama, dan mayoritas—termasuk 98 persen di Indonesia dan 92 persen di Sri Lanka—mengatakan bahwa agama sangat penting dalam kehidupan mereka. Di Singapura, meski hanya 36 persen yang mengatakan bahwa agama sangat penting, tetapi 87 persen masih mengatakan bahwa mereka percaya pada Tuhan atau makhluk gaib, menurut laporan Pew.
Hal ini lebih lanjut terangkum dalam bagaimana agama dipandang sebagai bagian dari identitas nasional. Di Thailand, Kamboja, dan Sri Lanka, lebih dari 90 persen responden yang beragama Buddha mengatakan bahwa “menjadi buddhis adalah penting untuk benar-benar menjadi bagian dari negara mereka.” Di Kamboja, persentasenya mencapai 97 persen. Hal ini sejalan dengan para misionaris di negara-negara tersebut, yang mengatakan bahwa perjuangan terbesar mereka adalah memerangi gagasan seperti “menjadi orang Thailand berarti menjadi buddhis.”
Selain itu, agama Buddha dianggap lebih dari sekadar agama. “Sebagian besar umat buddhis di Kamboja, Sri Lanka, dan Thailand tidak hanya mendeskripsikan agama Buddha sebagai ‘agama yang dipilih untuk diikuti,' melainkan juga mengatakan bahwa agama Buddha adalah ‘budaya yang menjadi bagian dari seseorang’ dan ‘tradisi keluarga yang harus diikuti,’ ungkap para peneliti Pew. Sebagian besar umat buddhis, termasuk 84 persen umat buddhis di Thailand, juga memandang agama Buddha sebagai “etnis di mana seseorang dilahirkan.”
Sarah Ardu, seorang misionaris di Kamboja yang telah melayani di negara tersebut selama 25 tahun, mengamati dampak dari ikatan erat antara menjadi buddhis dan warga Kamboja. Walaupun generasi muda merupakan kelompok yang paling mudah tertarik pada agama Kristen, ketika mereka dewasa, “banyak dari mereka kembali menjadi ‘orang Kamboja sejati’ dan menjunjung tinggi cara hidup buddhis Kamboja.” Pada saat yang sama, sebagian besar warga Kamboja “tidak akan mau percaya kepada Yesus karena adanya hambatan budaya dari agama Kristen yang bersifat kebarat-baratan.” Ardu percaya bahwa cara Injil diberitakan di Kamboja tidak memiliki dampak jangka panjang terhadap umat buddhis di Kamboja, karena budaya Barat telah melekat dengan pesan Injil.
“Dengan membuat pemisahan dari persepsi mereka tentang identitas Kamboja sebagai bagian penting dalam mengikut Yesus, kita telah menaburkan benih Injil yang tidak kuat untuk mengubah lapisan-lapisan terdalam dari kehidupan, keluarga, dan budaya,” kata Ardu.
Sebaliknya, para misionaris perlu beralih dari apa yang dianggap sebagai “ketaatan Kristen yang benar” untuk sepenuhnya bergantung pada Yesus dan terlibat dengan umat buddhis Kamboja secara tulus. Dengan demikian, mereka dapat “berdiri dengan kekaguman saat Roh Kudus memberikan pencerahan dan transformasi kepada [orang-orang Kamboja] tanpa memaksa mereka untuk menyesuaikan diri dengan agama Kristen yang kebarat-baratan.”
Mengingat agama dan identitas nasional sangat erat kaitannya, maka mayoritas umat buddhis Kamboja, Sri Lanka, dan Thailand juga mendukung penerapan hukum nasional yang dilandaskan pada dharma Buddha, “sebuah konsep luas yang mencakup pengetahuan, doktrin, dan praktik-praktik yang bersumber dari ajaran Buddha," seperti yang dicatat Pew. Namun tingkat dukungannya bervariasi: 96 persen umat buddhis Kamboja mendukung hal ini, dibandingkan dengan 80 persen umat buddhis Sri Lanka dan 56 persen umat buddhis Thailand.
Di Kamboja, konstitusi menyatakan bahwa agama Buddha adalah agama nasional dan pemerintahnya mendukung sekolah-sekolah Buddha. (Kamboja dan Bhutan adalah dua negara di dunia yang menjadikan agama Buddha sebagai agama resmi mereka). Di Sri Lanka, konstitusi mengharuskan pemerintahnya untuk “melindungi dan mengembangkan” agama Buddha, dengan memberikannya “tempat yang paling utama.” Di Thailand, konstitusi mewajibkan pemerintahnya agar “memiliki langkah-langkah dan mekanisme untuk mencegah agar agama Buddha tidak dirusak dalam bentuk apa pun.”
Sementara itu, umat muslim di Asia Tenggara juga memandang agama Islam sebagai hal yang secara intrinsik terkait dengan identitas nasional mereka. Hampir semua penganutnya di Indonesia dan Malaysia mengatakan bahwa menjadi muslim adalah penting untuk menjadi orang Indonesia atau Malaysia yang sejati, dan tiga perempat atau lebih warganya memandang agama Islam juga sebagai budaya, tradisi keluarga, atau etnis.
Islam adalah agama resmi di Malaysia, dan saat ini negara tersebut menerapkan sistem hukum ganda yaitu pengadilan sipil dan syariah, dengan pengadilan syariah yang hanya berlaku untuk umat muslim dan mencakup hukum keluarga serta pribadi. Menurut studi Pew, 86 persen muslim di Malaysia mendukung syariah sebagai dasar hukum nasional.
Di Indonesia, di mana Islam secara eksplisit lebih banyak dianut meski bukan merupakan agama negara, 64 persen muslim Indonesia mengatakan bahwa syariah seharusnya dijadikan hukum nasional. Saat ini Indonesia menerapkan “sekularisme moderat,” menurut peneliti Pew, dan konstitusinya menyatakan bahwa negara kepulauan tersebut “berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Hoon Chang Yau, profesor antropologi di Institute of Asian Studies di Universiti Brunei Darussalam, mengatakan temuan Pew tentang Indonesia sejalan dengan pergeseran konservatif yang dialami negara tersebut dalam dua dekade terakhir. “Terkait proses Islamisasi, Islam Indonesia tidak lagi menunjukkan wajah ‘tersenyum’ atau toleran,” kata Hoon. “Hal ini memprihatinkan karena intoleransi seperti itu seringkali diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan, seperti peraturan syariah atau peraturan yang membatasi kebebasan dan perkembangan agama minoritas.”
Hal ini juga menimbulkan pertanyaan apakah agama-agama minoritas, seperti agama Kristen, dipandang sesuai dengan budaya dan nilai-nilai setiap negara Asia tersebut.
Masyarakat Kamboja adalah yang paling tidak pluralis, dengan hanya 44 persen yang mengatakan bahwa agama Kristen sesuai dengan budaya dan nilai-nilai negara mereka. Sebagai perbandingan, 60 persen masyarakat Indonesia, 65 persen masyarakat Malaysia, 68 persen masyarakat Sri Lanka, 73 persen masyarakat Thailand, dan 89 persen masyarakat Singapura mengatakan bahwa agama Kristen sesuai dengan budaya dan nilai-nilai lokal.
Seree Lorgunpai, mantan sekretaris jenderal Thailand Bible Society, merasa senang dengan tingginya persentase warga Thailand yang merasa bahwa kekristenan memiliki tempat dalam masyarakat Thailand. Ia percaya bahwa agar agama Kristen dapat bertumbuh di negaranya, umat kristiani perlu menjangkau anak-anak dan kaum muda meski butuh waktu untuk melihat buahnya. “Untuk menyebarkan Kabar Baik, kita tidak hanya harus membagikan pesannya, melainkan kita juga harus menunjukkan kepada mereka apa yang kita ajarkan.”
Sebaliknya, banyak yang melihat pertumbuhan umat kristiani sebagai ancaman terhadap agama Islam atau Buddha di negara mereka, termasuk 31 persen umat buddhis Kamboja, 35 persen umat muslim Indonesia, 47 persen umat buddhis Sri Lanka, dan 52 persen umat muslim Malaysia. Meski demikian, di setiap negara, lebih banyak umat muslim dan buddhis yang memandang ekstremisme dalam agama mereka sebagai ancaman.
Keberagaman agama di Singapura
Di Singapura, di mana tidak ada satu agama pun yang menjadi mayoritas, Pew menemukan bahwa 9 dari 10 orang dewasa mengatakan bahwa agama Kristen, Islam, Hindu, dan agama tradisional Tionghoa sesuai dengan budaya dan nilai-nilai negara-kota tersebut.
Berdasarkan sensus nasional tahun 2020, 31 persen penduduk Singapura mengaku sebagai penganut agama Buddha, 20 persen mengaku tidak beragama, 19 persen beragama Kristen, 15 persen beragama Islam, dan 15 persen sisanya penganut agama Hindu, Sikh, Tao, dan penganut agama tradisional Tionghoa.
Agama Kristen di Singapura meningkat hampir dua kali lipat sejak tahun 1980, sementara jumlah mereka yang tidak terafiliasi dengan agama juga meningkat dari 13 persen menjadi 20 persen. Agama Buddha tumbuh dari 27 persen pada tahun 1980 menjadi 42 persen pada tahun 2000 sebelum turun kembali menjadi 31 persen. Penganut agama tradisional Tionghoa turun dari 30 persen pada tahun 1980 menjadi 9 persen saat ini.
“Perpindahan agama” di Singapura juga membuatnya unik. Hanya 64 persen warga Singapura yang mengidentifikasi diri dengan agama yang mereka anut sejak kecil. Di lima negara lain yang disurvei, setidaknya 95 persen orang dewasa masih mengidentifikasi diri dengan agama yang mereka anut sejak kecil. “Konsekuensinya, jumlah orang yang menganut agama tertentu sejak kecil kira-kira sama dengan jumlah orang yang menganut agama tersebut saat ini,” kata Pew.
Di Singapura, meskipun 32 persen orang dewasa mengatakan bahwa mereka dibesarkan sebagai penganut agama Buddha, hanya 26 persen yang mengaku sebagai orang buddhis saat ini. Berpindah ke agama lain juga lebih diterima di kalangan umat buddhis Singapura: Hanya 36 persen dari kelompok tersebut yang percaya bahwa meninggalkan agama mereka untuk pindah ke agama lain adalah hal yang tidak dapat diterima. Sebagai perbandingan, 82 persen umat buddhis Kamboja percaya bahwa pindah agama tidak dapat diterima, demikian temuan Pew.
Persentase penduduk Singapura yang mengidentifikasi diri sebagai penganut agama Kristen saat ini adalah 17 persen, sementara hanya 11 persen yang dibesarkan sebagai orang Kristen. Jumlah warga Singapura yang mengatakan bahwa mereka tidak beragama saat ini adalah 22 persen, sementara hanya 13 persen yang mengatakan bahwa mereka dibesarkan tanpa agama.
Jika dilihat lebih dekat, data tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan antara mereka yang dibesarkan dalam sebuah agama dan mereka yang saat ini mempraktikkannya tidak mengungkap keseluruhan cerita, kata Pew. Walaupun 13 persen orang dewasa yang dibesarkan sebagai penganut agama Buddha kini tidak lagi menganut agama tersebut, tetapi 7 persen warga Singapura yang tidak dibesarkan dalam keluarga buddhis kini menganut agama tersebut. Dan meskipun 9 persen warga Singapura yang dibesarkan dalam agama berbeda atau tidak beragama kini mengidentifikasi diri sebagai penganut agama Kristen, 3 persen warga Singapura yang dibesarkan sebagai orang kristiani kini mengidentifikasi diri dengan agama lain.
Saat ini hanya dua pertiga orang tua buddhis di Singapura yang mengatakan bahwa mereka membesarkan anak-anak mereka berdasarkan keyakinan mereka (seperempatnya membesarkan anak-anak mereka tanpa agama). Sebaliknya, 90 persen orang tua beragama Kristen di Singapura membesarkan anak-anak mereka berdasarkan iman mereka. Di negara-negara lain, “hampir semua orang tua melaporkan bahwa mereka membesarkan anak-anak mereka dengan identitas agama yang sesuai dengan agama mereka,” kata peneliti Pew.
Meskipun kelompok “non-agamis” (nones) di Singapura merupakan sebuah anomali di kawasan ini, mayoritas penduduknya masih berpegang pada keyakinan agama: 62 persen percaya pada Tuhan atau makhluk gaib; 65 persen mengatakan mereka berpikir bahwa karma itu ada; 43 persen mengatakan bahwa seseorang bisa merasakan kehadiran anggota keluarga yang sudah meninggal; dan 39 persen membakar dupa.
Roland Chia, profesor Doktrin Kristen Chew Hock Hin di Trinity Theological College di Singapura, mencatat temuan Pew bahwa di antara warga Singapura yang tidak terafiliasi dengan agama tertentu tetapi merasa terhubung secara pribadi dengan agama Kristen, sebanyak 38 persen berdoa atau memberikan penghormatan kepada Yesus. Ini merupakan tanda bahwa “pemisahan diri dari agama atau institusi keagamaan yang terorganisir tidak menyiratkan penerimaan penuh terhadap pola pikir atau pandangan dunia sekuler,” kata Chia.
Bagi umat kristiani yang mencoba menjangkau kelompok ini, penting untuk mencoba memahami latar belakang dan kekhawatiran mereka, terutama jika mereka telah meninggalkan gereja, katanya. “Namun, fakta bahwa banyak dari mereka yang mengidentifikasi diri sebagai orang-orang yang tidak terafiliasi dengan agama tetapi masih mengejar suatu bentuk spiritualitas dan secara nyata menerima keyakinan inti dari agama Kristen—seperti berdoa kepada Yesus Kristus—menjadi titik hubung yang penting bagi kesaksian umat kristiani,” kata Chia.
Praktik keagamaan yang tumpang tindih
Bukan hanya kelompok “non-agamis” (nones) yang menentang label dalam keyakinan mereka. Survei Pew menemukan bahwa orang-orang dari agama yang berbeda percaya pada konsep atau berdoa kepada dewa atau tokoh pendiri agama lain.
Sebagai contoh, tiga perempat atau lebih orang dewasa di enam negara tersebut percaya pada karma, yaitu gagasan bahwa orang akan menuai manfaat dari perbuatan baik mereka dan membayar harga atas perbuatan buruknya. Jumlah tersebut mencakup lebih dari 60 persen umat kristiani di Malaysia, Indonesia, dan Sri Lanka. Umat kristiani Singapura adalah satu-satunya kelompok agama di mana kurang dari separuh orang dewasa (46%) yang percaya pada karma, demikian temuan Pew.
Mathew Mathews, kepala Lab Sosial di Institute of Policy Studies, merasa heran bahwa begitu banyak orang Kristen Singapura yang percaya pada karma, “terutama ketika kekristenan di Singapura cukup konservatif dan banyak gereja Kristen sangat enggan untuk mendukung sinkretisme dalam bentuk apa pun.” Ia menambahkan bahwa beberapa umat kristiani mungkin memahami karma sebagai konsep “Anda menuai apa yang Anda tabur,” tanpa gagasan tentang reinkarnasi.
Dibanding dengan umat kristiani di negara lain, umat kristiani Sri Lanka lebih banyak berdoa atau memberi penghormatan (termasuk membakar dupa, memberi persembahan makanan, atau menyampaikan permohonan) kepada dewa dari agama lain. Survei ini menemukan bahwa 61 persen umat kristiani Sri Lanka melakukan hal tersebut kepada Buddha, 58 persen kepada roh pelindung atau dewa penjaga, 41 persen kepada Allah, dan 48 persen kepada dewa Hindu Ganesha.
Sebaliknya di Malaysia dan Singapura, sekitar 1 dari 10 umat kristiani memberi penghormatan kepada Kwan Im, seorang Bodhisattva di agama Buddha yang dipercaya dapat membantu yang menderita.
Ivor Poobalan, presiden Seminari Teologi Kolombo di Sri Lanka, berpendapat bahwa temuan itu bertentangan dengan pengamatannya sendiri, dan menyatakan bahwa umat kristiani, baik di gereja tradisional maupun denominasi yang lebih muda, umumnya menjunjung tinggi klaim unik Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat.
“Saya merasa hampir mustahil untuk memahami bagaimana laporan tersebut bisa sampai pada statistik bahwa 61 persen umat kristiani menyembah Buddha,” katanya. “Meski sejumlah kecil orang dapat dikatakan mempraktikkan beberapa bentuk sinkretisme karena pernikahan atau tekanan sosial lainnya, sebagian besar dari mereka ditandai dengan rasa identitas keagamaan yang kuat, yang mencakup kesetiaan atau pengabdian yang eksklusif terhadap iman Kristen/Katolik.”
Ia yakin temuan Pew bahwa 71 persen umat muslim menyembah atau memberi penghormatan kepada Buddha adalah hal yang lebih tidak mungkin.
Laporan Pew juga menemukan bahwa mayoritas umat kristiani di Sri Lanka memiliki altar atau tempat suci di rumah mereka serta membakar dupa. Kurang dari separuh umat kristiani di negara tersebut mengatakan bahwa mereka melakukan meditasi, yang mana angka ini lebih tinggi dibandingkan umat kristiani di negara lain.
Survei ini juga menemukan bahwa di antara umat kristiani, sekitar separuh dari mereka di Indonesia, Singapura, dan Sri Lanka percaya bahwa agama Kristen adalah satu-satunya agama yang benar, sementara hanya 37 persen warga Malaysia yang setuju dengan pernyataan tersebut.
Umat kristiani di negara-negara ini berbeda pendapat mengenai apakah seseorang bisa menjadi Kristen dan merayakan hari raya Waisak umat buddhis atau hari raya Idul Fitri umat muslim. Sebagian besar umat kristiani di Indonesia (63%) dan sepertiga di Malaysia (35%) mengatakan seseorang tidak bisa menjadi Kristen jika mereka merayakan Idul Fitri, sementara separuh umat kristiani di Singapura (50%) dan sebagian besar di Sri Lanka (38%) mengatakan hal yang sama tentang Waisak.
Di semua agama, mayoritas sepakat bahwa seseorang tidak dapat menjadi anggota agama mereka jika dia tidak menghormati orang yang lebih tua atau negaranya.
Mengenai topik minum alkohol, umat kristiani di kawasan ini memiliki pandangan yang lebih bervariasi. Sementara 74 persen orang Kristen di Indonesia memandang minuman keras sebagai diskualifikasi dari agama Kristen, angka tersebut turun menjadi 62 persen di Malaysia, 60 persen di Sri Lanka, dan hanya 18 persen di Singapura.
Para penganut integrasi agama-negara kurang bersedia menerima tetangga yang beragama Kristen
Di negara-negara yang disurvei dengan mayoritas buddhis atau muslim, orang-orang yang mengatakan bahwa menjadi anggota kelompok agama mereka sangat penting untuk benar-benar menunjukkan identitas nasional mereka dan ingin landasan hukum negara mereka didasarkan pada agama mereka, dikategorikan oleh Pew sebagai “penganut integrasi agama-negara.” Mereka cenderung mendukung pemimpin agama menjadi politisi, dengan berpikir bahwa pemimpin agama harus berbicara tentang politisi yang mereka dukung, dan percaya bahwa jika seseorang tidak menghormati negaranya, mereka tidak dapat menjadi bagian dari agama tersebut.
“Mayoritas muslim di Indonesia (57%) dan Malaysia (69%) menganut paham integrasi agama-negara, begitu pula dengan sebagian besar umat buddhis di Sri Lanka (72%) dan Kamboja (75%),” tulis laporan tersebut. “Minoritas yang cukup besar dari umat buddhis di Thailand (45%) juga termasuk dalam kategori ini.”
Poobalan mengatakan tingginya persentase umat buddhis Sri Lanka yang termasuk dalam kategori ini sangat memprihatinkan. “Mentalitas inilah yang membuat Sri Lanka pasca kemerdekaan tidak ramah terhadap agama dan etnis minoritas serta menciptakan ketegangan dan kemungkinan konflik antar komunitas agama,” katanya.
Para penganut integrasi agama-negara juga cenderung tidak menerima tetangga yang beragama Kristen. Umat muslim Indonesia yang termasuk dalam kategori ini cenderung tidak mengatakan bahwa agama Kristen sesuai dengan budaya dan nilai-nilai Indonesia (53% berbanding 63%). Mereka juga kurang bersedia menerima tetangga yang beragama Kristen (64% berbanding 77%).
“Nasionalisme buddhis telah dikaitkan dengan permusuhan dan kekerasan antara umat buddhis dan agama minoritas di negara-negara yang didominasi oleh agama Buddha Theravada, termasuk selama perang saudara di Sri Lanka,” kata para peneliti Pew. “Demikian pula, beberapa pakar telah menegaskan bahwa ada hubungan antara meningkatnya ‘nasionalisme agama’ dan xenofobia di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.”
Para penganut paham integrasi agama-negara juga cenderung melihat pertumbuhan agama Kristen di negara mereka sebagai ancaman terhadap agama mayoritas. Yang paling signifikan, umat buddhis Sri Lanka yang termasuk dalam kategori ini cenderung memandang pertumbuhan umat kristiani sebagai ancaman dibandingkan dengan umat buddhis setempat lainnya (51% berbanding 37%). Namun, umat buddhis Sri Lanka lebih cenderung melihat pertumbuhan umat muslim sebagai ancaman bagi agama Buddha di negara mereka.
Di antara umat buddhis Kamboja dan Thailand, masing-masing hanya 57 persen dan 58 persen yang percaya bahwa umat kristiani sangat/cukup cinta damai. Meski begitu, mayoritas di setiap negara mengatakan mereka bersedia menerima pemeluk agama lain sebagai tetangga mereka.
Secara umum, survei ini menemukan bahwa mayoritas warga Malaysia (62%), Sri Lanka (62%), dan Singapura (56%) percaya bahwa memiliki orang-orang dari berbagai agama, suku, dan budaya akan membuat negara mereka menjadi tempat yang lebih baik. Separuh dari masyarakat Indonesia setuju dengan pernyataan ini, sementara 41 persen percaya bahwa hal tersebut tidak ada bedanya. Mayoritas warga Kamboja (54%) dan Thailand (68%) juga setuju bahwa hal itu tidak membawa perbedaan.
Poobalan menemukan harapan dalam persentase orang dewasa Sri Lanka yang menghargai keberagaman. “Sikap seperti ini memberi dorongan bahwa, terlepas dari pengaruh oportunis politik, rata-rata warga Sri Lanka sangat menghargai sifat masyarakatnya yang pluralistik,” katanya. “Hal ini seharusnya tidak mengherankan karena negara ini memiliki catatan sejarah selama 2.500 tahun yang dikenal karena pluralisme agama dan budaya serta tradisi hidup berdampingan secara damai.”
Di Indonesia, Hoon percaya bahwa lingkungan yang beragam memberi peluang bagi umat kristiani untuk terlibat dalam dialog antar agama dan membangun jembatan, sementara di saat yang sama, mereka juga perlu menegaskan hak konstitusional mereka atas kebebasan beragama. “Kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitar masih melibatkan interaksi lintas budaya,” kata Hoon. “Oleh karena itu, sangat penting bagi umat kristiani untuk terus memupuk ruang-ruang seperti itu, memperluas persahabatan dan keramahtamahan terhadap umat non-Kristen untuk menunjukkan niat baik dan pengertian. Dengan cara ini, ketika terjadi ketegangan sosial, tetangga mereka akan membela mereka.”
Temuan menarik lainnya dari Pew mengenai umat kristiani di enam negara tersebut antara lain:
-
Hampir semua umat kristiani Indonesia, 93 persen umat kristiani Sri Lanka, dan 78 persen umat kristiani Malaysia mengatakan bahwa agama sangat penting dalam kehidupan mereka. Di antara orang Kristen Singapura, angka tersebut turun menjadi 61 persen.
-
Di Indonesia, Sri Lanka, dan Malaysia, 74 persen atau lebih umat kristiani percaya bahwa agama Kristen adalah sebuah etnis di mana seseorang dilahirkan. Sebagai perbandingan, hanya 41 persen umat kristiani Singapura yang memercayai hal tersebut.
-
Sementara 50 persen umat kristiani Singapura memandang agama Kristen sebagai tradisi keluarga yang harus diikuti, jumlah tersebut jauh lebih tinggi di kalangan umat kristiani Malaysia (74%), Sri Lanka (88%), dan Indonesia (92%).
-
Hampir separuh umat kristiani di enam negara berpendapat bahwa mantra, kutukan, atau ilmu sihir lainnya memengaruhi kehidupan orang-orang.
-
Di Singapura, Malaysia, dan Indonesia, 80 persen atau lebih umat kristiani percaya adanya Hari Penghakiman, dibanding dengan hanya 48 persen di Sri Lanka.
-
Sementara mayoritas umat kristiani Indonesia dan Malaysia berpendapat bahwa para pemimpin agama harus berbicara secara terbuka tentang politisi atau partai politik yang mereka dukung, hanya seperempat umat kristiani Singapura dan Sri Lanka yang setuju.
-
Sementara sebagian besar umat kristiani Indonesia (83%), Sri Lanka (67%), dan Malaysia (61%) berpendapat bahwa “tidak dapat diterima” untuk meninggalkan agama Kristen dan berpindah ke agama lain, banyak juga yang percaya bahwa “mencoba membujuk orang lain untuk bergabung dengan agama Kristen” juga merupakan hal yang tidak dapat diterima—termasuk 72 persen di Indonesia, 75 persen di Malaysia, dan 87 persen di Sri Lanka. Di Singapura, hanya sekitar 4 dari 10 orang beragama Kristen yang mengatakan bahwa meninggalkan agama Kristen (42%) atau membujuk orang lain agar menjadi Kristen (39%) adalah hal yang tidak dapat diterima.
Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia dan Maria Fennita S.
–