Skandal Polisi Terburuk di Indonesia Melibatkan Orang Kristen. Apa Dampaknya?

Seiring terungkapnya kasus Ferdy Sambo, empat tokoh Kristen merenungkan bagaimana hidup setia di bawah kekuasaan yang korup.

Rosti Simanjuntak (tengah), ibunda mendiang Brigadir Yosua Hutabarat, memegang foto anaknya usai mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Kepolisian Indonesia, Ferdy Sambo divonis mati dalam sidang vonis di Jakarta.

Rosti Simanjuntak (tengah), ibunda mendiang Brigadir Yosua Hutabarat, memegang foto anaknya usai mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Kepolisian Indonesia, Ferdy Sambo divonis mati dalam sidang vonis di Jakarta.

Christianity Today February 22, 2023
Aditya Aji / Getty

Selama setahun terakhir, masyarakat Indonesia terpaku pada sidang pembunuhan yang melibatkan seorang jenderal polisi Kristen berpangkat tinggi. Pekan lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis mati mantan Jenderal Polisi Ferdy Sambo karena memerintahkan dan menutup-nutupi pembunuhan pengawalnya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, yang menurut Sambo melakukan pelecehan seksual terhadap istrinya.

Awalnya, Sambo mengklaim Hutabarat tewas dalam baku tembak dengan salah satu ajudannya, Richard Eliezer, di rumahnya. Namun keluarga Hutabarat menjadi curiga setelah polisi berusaha menghentikan mereka untuk melihat jenazahnya. Eliezer kemudian mengaku menembak Hutabarat atas perintah langsung dari Sambo. Sambo kemudian menembakkan peluru ke kepala pengawalnya, ungkap Eliezer.

Kasus pembunuhan tersebut dianggap sebagai skandal terburuk dalam sejarah kepolisian Indonesia dan telah menurunkan kepercayaan publik terhadap polisi. Lusinan petugas polisi terlibat dalam upaya menutup-nutupi kasus tersebut dan sejak itu dikenai sanksi pelanggaran kode etik hingga diberhentikan dengan tidak hormat. Jajak pendapat dari Oktober 2022, selama persidangan Sambo, menemukan bahwa kepercayaan publik terhadap polisi turun menjadi 53 persen dari 80 persen setahun sebelumnya. Insiden lain—termasuk penggunaan gas air mata yang agresif oleh polisi dalam penyerbuan di stadion sepak bola yang mematikan di Oktober tahun lalu, kasus korupsi polisi, dan serentetan pembunuhan di luar hukum yang melibatkan Polisi—telah menimbulkan sinisme yang meluas.

Menambah kerumitan masalah ini, Sambo, Eliezer, dan Hutabarat semuanya beragama Kristen, di negara dengan mayoritas muslim tersebut.

CT bertanya kepada empat orang Kristen Indonesia bagaimana seharusnya tanggapan orang percaya ketika ditempatkan di bawah otoritas yang korup, seperti dalam kasus Eliezer, dan sebagai warga negara di mana skandal polisi biasa terjadi. Mereka juga membahas bagaimana kasus Sambo berdampak pada persepsi publik tentang polisi dan orang Kristen, serta bagaimana orang Kristen dapat memandang polisi dengan benar dan mendorong pertanggungjawaban untuk memerangi penyalahgunaan kekuasaan.

Lotnatigor Sihombing, dosen etika dan kepemimpinan di Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung-Jakarta

Sebagai umat kristiani, anggota masyarakat, dan warga negara, kita memandang polisi sebagai alat negara yang memiliki otoritas. Oleh karena itu, aparat kepolisian harus menaati hukum untuk melindungi masyarakat dan memberikan rasa aman kepada masyarakat. Namun, hak dan kewajiban mereka harus seimbang, karena itu adalah bentuk dasar dari keadilan. Ketika mereka menyimpang dari kewenangan yang diberikan oleh negara, mereka harus bertanggung jawab atas tindakannya karena mereka telah bersumpah berdasarkan agama dan kepercayaan mereka di hadapan Tuhan.

Dalam Alkitab, dosa yang paling sering disebutkan adalah pelanggaran keadilan. Setiap dosa adalah pelanggaran keadilan, baik itu keadilan distributif, keadilan balas dendam, atau keadilan legalis. Bahkan dalam Pengkhotbah 3:16 tertulis, “Di tempat penghakiman—kejahatan ada di sana, di tempat keadilan—kejahatan ada di sana.” Karena itu, polisi, jaksa, hakim, dan pengacara Kristen harus benar-benar takut akan Tuhan, sumber keadilan, dan menegakkan keadilan. Demikian pula, orang Kristen dalam posisi apa pun tidak boleh menjadi penyuap dan pelanggar hukum.

Dalam kasus Eliezer, kita tidak bisa sepenuhnya memahami posisi dan situasi yang dialaminya saat itu. Kemudian dia bekerja sama dengan polisi (di Indonesia dikenal sebagai kolaborator keadilan), di mana hal itu adalah sebuah keputusan berharga yang harus dihormati. Itu berarti Eliezer tahu apa yang dia lakukan adalah salah. Membunuh adalah tindakan yang salah karena meniadakan dan melenyapkan keberadaan. Tuhan menciptakan sesuatu dari ketiadaan, sementara membunuh memusnahkan apa yang sudah ada. Oleh karena itu, membunuh adalah tindakan melawan Tuhan, tindakan ateistik. Tentu saja, fakta bahwa Sambo dan Eliezer adalah orang Kristen dapat membuat orang non-Kristen menilai, “Wah, Kristen atau non-Kristen—mereka semua sama saja.” Memang, kita semua membutuhkan anugerah Tuhan.

Pastor Franz Magnis-Suseno, filsuf, teolog, dan saksi ahli dalam persidangan Eliezer, di Jakarta

Pembunuhan perwira polisi junior Hutabarat oleh seorang perwira tinggi polisi Indonesia adalah salah satu kejahatan polisi paling kotor dalam sejarah Indonesia. Fakta bahwa baik korban maupun terdakwa beragama Kristen tentu sangat memalukan bagi umat Kristen, meski media belum banyak berkomentar tentang hal ini. Ini memperkuat opini publik bahwa polisi kita korup. Kita perlu mengungkap dan memerangi korupsi di semua dimensi.

Setiap manusia bertanggung jawab atas tindakannya, bahkan mereka yang yang berada di posisi kepemimpinan. Kami berharap para pemimpin kami dapat dipercaya, mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan mereka, dan mematuhi hukum dengan sungguh-sungguh. Pemimpin yang melanggar hukum harus dihukum lebih keras dari warga negara biasa.

Dalam kasus Eliezer, kewajiban untuk mematuhi perintah berakhir ketika apa yang diperintahkan itu jahat. Ini adalah salah satu norma moral paling mendasar bahwa perintah jahat tidak boleh dipatuhi. “Slogan Nazi 'Befehl ist Befehl (Perintah adalah perintah)' sangat tidak bermoral. Namun, ketika Eliezer tetap menjalankan perintah menembak Hutabarat, hal itu tidak cukup untuk menyatakan Eliezer bersalah. Sebagai seorang perwira muda, dia dididik dalam budaya polisi yang tanpa ragu mematuhi perintah langsung dari perwira tinggi. Tanpa kesempatan untuk memikirkan atau membicarakannya, kesalahan hukum dan moral Eliezer mungkin mendekati nol.

Tiurma M. Pitta Allagan, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Jakarta

Kepolisian merupakan alat negara yang ditugaskan untuk melayani masyarakat. Tanpa membedakan apakah polisi itu Kristen atau bukan, kita harus melihat mereka sebagai manusia berdosa. Artinya, polisi pun bisa salah karena tidak lepas dari dosa. Sebagai pejabat publik, mereka membutuhkan doa para umat untuk bertahan hidup dan melindungi kepentingan umat Kristen dan agama minoritas lainnya. Semakin besar tanggung jawab seseorang, semakin besar tuntutan akuntabilitasnya. Tanggung jawab petugas polisi tidak hanya mematuhi aturan tertulis tetapi juga norma dan moral yang dianut dalam masyarakat yang mereka layani.

Tindakan Eliezer sulit dinilai karena posisinya sebagai polisi yang tunduk dalam sebuah divisi khusus yang dipimpin Sambo. Ia pernah mengenyam pendidikan sebagai polisi di Divisi Dalam Negeri Polri, di mana etika dan aturan yang tertanam dalam hati dan pikirannya berbeda dengan kebanyakan orang. Saya juga tidak yakin dia menjadi kolaborator keadilan karena dia seorang Kristen. Namun saya melihat hati nuraninya masih terjaga. Dalam hal ini, hati nurani Eliezer sejalan dengan nilai-nilai Kristen. Tidak seorang pun akan tahu apakah pertimbangan ini karena nilai-nilai Kristen Eliezer atau bukan, kecuali dia dan Tuhan.

Kita dapat mendukung akuntabilitas dan transparansi dengan bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan ombudsman atau menulis artikel penelitian tentang kasus ini. Mudah-mudahan, kasus Sambo bisa kita pandang sebagai peringatan bahwa pejabat adalah manusia yang penuh dosa. Berada di posisi teratas dan melindungi kepentingan rakyat Indonesia, termasuk kepentingan umat Kristen, tidaklah mudah.

Yakub Tri Handoko, pendiri Gerakan Apologetika Indonesia (API) dan Grace Alone Ministry (GRAMI), dosen, pendeta di Reformed Exodus Community (REC) di Surabaya

Setiap orang Kristen harus menanggapi dosa dengan serius. Kasih dan pengampunan tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk mengabaikan kesalahan. Injil bukan hanya tentang kasih karunia tetapi juga tentang kebenaran (Yoh. 1:14). Keadilan harus ditegakkan.

Setiap pelanggaran publik yang dilakukan oleh seorang Kristen terkenal pasti akan memberikan kesan buruk pada kekristenan. Apalagi dalam konteks Indonesia sebagai negara mayoritas muslim. Saya kira masyarakat kita akan lebih mengasosiasikan kasus pembunuhan dengan budaya kepolisian di Indonesia karena sudah bukan rahasia lagi bahwa korupsi merajalela di lembaga ini. Namun, hal itu niscaya akan melemahkan kekuatan persuasif dari kekristenan. Tidak mengherankan bahwa bagi sebagian orang dan dalam konteks tertentu, penginjilan lebih sulit dari sebelumnya.

Kasus Eliezer sangat disayangkan. Dia berada di bawah tekanan yang sangat besar. Tidak seorang pun boleh menyederhanakan situasi yang dia alami. Namun, rasa takut terhadap pemimpin hendaknya tidak menghalangi ketaatan kita kepada Tuhan. Menghormati pemimpin bukan berarti kesetiaan buta.

Ketika seorang pemimpin memaksa kita untuk melakukan tindakan tertentu yang bertentangan dengan hukum moral di dalam hati kita atau ajaran Alkitab, kita berhak untuk tidak patuh. Para rasul mengajarkan kita bahwa kita harus lebih taat kepada Tuhan daripada manusia. Beberapa pahlawan iman dari Perjanjian Lama juga memberikan contoh yang baik, seperti Daniel dan teman-temannya atau nabi Elia. Risiko dan bahaya seringkali tak terhindarkan bagi para pengikut Kristus.

Umat Kristen harus berbicara tentang mendesaknya upaya yang lebih serius untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Para pemimpin gereja juga harus menyadarkan jemaatnya bahwa penyalahgunaan kekuasaan terjadi dalam berbagai bentuk, bahkan di rumah dan gereja. Gereja-gereja lokal harus berupaya membuat gereja mereka aman bagi semua orang dari penyalahgunaan kekuasaan. Singkatnya, kita harus lebih aktif memperjuangkan keadilan dalam berbagai konteks.

Pada akhirnya, kebenaran Firman Tuhan dari Kisah Para Rasul 5:29 berfungsi sebagai pengingat yang menggema dengan keras bagi kita: “Kita harus lebih taat kepada Tuhan daripada manusia!”

Dengan bantuan pelaporan oleh Ivan K. Santoso.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube