Hidup itu pada dasarnya adalah sebuah tantangan. Dan untuk menghadapi tantangan dibutuhkan manusia-manusia yang terlatih secara mental untuk menghadapinya, bukan menghindarinya (Rhenald Kasali, Strawberry Generation , 2017)
Beberapa tahun yang lalu, Rhenald Kasali menulis tentang generasi masa kini di Indonesia yang dikenal sebagai “generasi stroberi.” Gambaran buah stroberi tersebut menjadi populer sebagai cara untuk menggambarkan kehebatan generasi ini, namun sekaligus juga mudah hancur. Dibesarkan oleh orang tua yang jauh lebih sejahtera dari generasi-generasi sebelumnya, generasi stroberi ini dikenal kreatif namun mudah menyerah ketika menghadapi tantangan, mudah sakit hati, serta cenderung ingin mengambil jalan pintas untuk meraih sesuatu.
Sebagai orang tua yang memiliki dua anak, yang salah satunya beranjak remaja, saya pun mendapati bahwa generasi stroberi bisa saja sedang tumbuh di dalam rumah saya. Apalagi, di tengah kecanggihan teknologi informasi serta pandemi yang memaksa anak-anak saya untuk berinteraksi secara daring selama beberapa tahun belakangan ini.
Sewaktu memikirkan sebuah pola asuh yang tepat bagi anak-anak saya di kemudian hari, perhatian saya tertuju pada kitab Kejadian yang menceritakan tokoh-tokoh iman yang jauh dari sempurna. Secara khusus, beberapa kali saya merenungkan kisah pelarian Hagar (Kej. 16) dan belajar bahwa terkadang Tuhan mengizinkan hamba-hamba-Nya mengalami kesulitan hidup supaya mereka mengerti keindahan di balik rencana-Nya.
Hagar adalah seorang Mesir yang kemudian diambil menjadi budak oleh Sarai, istri Abram (di pasal 17, Tuhan menamakan mereka Sara dan Abraham). Ketika Tuhan memerintahkan Abram dan Sarai pergi meninggalkan negeri mereka, Dia berjanji untuk menjadikan keturunan mereka sebagai bangsa yang besar (Kej. 12:2). Namun setelah ditunggu-tunggu selama sekitar 10 tahun, Sarai tidak kunjung mendapat anak. Dia kemudian memiliki ide untuk memberikan Hagar kepada Abram. (Budaya seorang istri untuk memberikan budak perempuannya kepada suaminya demi bisa mendapat keturunan umum dilakukan di daerah Mesopotamia waktu itu).
Singkat cerita, Hagar pun mengandung. Namun dari situlah konflik berawal. Hagar memandang rendah nyonyanya itu. Sikap Hagar ini pun menjadikan Sarai jengkel. Setelah mengadu pada Abram, Sarai ganti menindas Hagar. Karena tidak tahan hidup di bawah penindasan, Hagar pun melarikan diri. Apa yang dilakukan Hagar ini sesuai dengan akar kata dari namanya dalam bahasa Ibrani yang berarti “melarikan diri.”
Di tengah pelariannya itu, seorang malaikat Tuhan menampakkan diri kepada Hagar dan menyatakan tiga hal kepadanya—yang saya percaya dapat menjadi sebuah panduan bagi para orang tua dalam menghadapi dilema seperti saya.
1. “Kembalilah kepada nyonyamu, biarkanlah engkau ditindas di bawah kekuasaannya” (Kej. 16:9)
Sungguh aneh, bukan? Alih-alih melepaskan Hagar dari penderitaan, Malaikat itu malah memintanya untuk kembali pada Sarai dan mengalami penindasan. Saya teringat dengan sebuah pepatah bahasa Jawa, kuthuk marai sunduk (anak ayam yang mendekat pada tusukan). “Sudah tahu bahaya, mengapa malah mendekat ke situ?” begitu kira-kira artinya.
Namun melalui perintah yang terlihat janggal ini, Hagar diajar untuk melihat dan membereskan masalah yang ada dalam dirinya dulu sebelum melihat kondisi di sekitar dirinya. Apakah itu? Hagar memiliki kecenderungan untuk lari dari kesulitan hidup. Memang dia bisa merasa hidup ini tidak adil. Hidup sebagai budak, dihamili oleh tuannya (kemungkinan besar tanpa persetujuan darinya) dan bahkan ditindas nyonyanya. Karena kesalahan orang lainlah, hidupnya menjadi sengsara. Akan tetapi, malaikat itu tidak melihat situasi tersebut sebagai alasan yang sah bagi Hagar untuk melarikan diri.
Banyak dari kita di generasi yang lebih tua sering mengkritik apa yang kita lihat sebagai kecenderungan generasi stroberi untuk menghindari masalah. Namun generasi stroberi tidak muncul dengan sendirinya. Di balik kerapuhan mereka, terdapat kekeliruan pola asuh yang diberikan oleh lingkungan, terutama orang tua mereka sendiri. Menurut Rhenald Kasali, ada kecenderungan pada orang tua untuk mengawal dan menuntun anak secara berlebihan. Mereka terlalu banyak kekhawatiran dan larangan sehingga anak-anak mereka bagai hidup di sangkar emas.
Jika mau, Tuhan dapat menyingkirkan masalah dari hidup kita dalam sekejap karena bagi Dia tidak ada yang mustahil (Luk. 1:37). Namun demikian, tidak jarang Tuhan mengizinkan kita untuk hidup di tengah berbagai kesulitan. Mengapa Tuhan melakukan itu? Rick Warren mengatakan bahwa Tuhan ingin mendewasakan karakter anak-anak-Nya dan bertumbuh serupa Kristus sehingga Dia tidak selalu memberi kenyamanan hidup kepada kita. Kisah pelarian Hagar mengajarkan bahwa Tuhan menginginkan anak-anak-Nya untuk menghadapi kesulitan hidup dan bukannya melarikan diri.
Tidak adanya interaksi secara fisik dengan para guru dan teman sebaya selama pandemi membuat anak-anak saya menurun keterampilan sosialnya, kurang disiplin, dan mudah menyerah ketika menghadapi tugas yang sulit – gejala yang ada pada generasi stroberi menurut penjelasan Rhenald Kasali. Apalagi, bagi anak kedua kami yang hampir tidak pernah bersekolah secara fisik.
Kisah pelarian Hagar ini kemudian mendorong saya dan istri untuk sesekali “tega” membiarkannya mengatasi persoalan sendiri. Misalnya, kami tidak selalu membantunya mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kadang hal itu membuatnya sedih karena hasilnya mengecewakan. Di lain waktu, kami juga “memaksanya” untuk berinteraksi dengan teman-teman baru di gereja.
Masa-masa sekolah daring membuatnya terlalu lekat pada kakak dan orang tuanya. Tetapi, kami tahu bahwa anak-anak kami perlu berproses untuk menghadapi kesulitan hidup demi kebaikan mereka sendiri (Rm. 8:28). Justru melalui kesulitan hidup, anak-anak kami akan ditempa untuk menjadi seorang Kristen yang matang (Yak. 1:3-4) dan siap untuk menerima panggilan Tuhan di kemudian hari. Tentu sebagai orang tua yang tidak ingin membuat anak-anak kami mengalami kepahitan, kami selalu menjelaskan kepada mereka mengapa kami perlu melakukan itu semua; kami ingin mereka berupaya mengatasi kesulitan hidup untuk membuat mereka matang.
2. “Aku akan membuat sangat banyak keturunanmu, sehingga tidak dapat dihitung karena banyaknya” (Kej. 16:10)
Malaikat itu menjanjikan bahwa Hagar akan memiliki keturunan yang sangat banyak. Bukankah ini kelegaan yang luar biasa bagi Hagar? Janji Tuhan itu membuat Hagar tidak lagi bisa merasa sebagai “korban keadaan.” Dia tidak akan berpikir bahwa anak yang dikandungnya itu adalah hasil dari sebuah “kecelakaan”, melainkan anugerah dari Tuhan (Kej. 17:20).
Pengertian ini membuat Hagar memiliki kekuatan ketika harus mengalami kesulitan hidup kembali di bawah penindasan Sarai. Kekuatan Hagar ini juga ditampakkannya ketika memanggil malaikat itu dengan sebutan El-Roi, yang berarti “Allah yang melihat” (16:13). Hagar sadar bahwa dia mengalami sendiri perjumpaan dengan Tuhan (itulah sebabnya Lembaga Alkitab Indonesia menuliskan kata “Malaikat” dalam pasal ini menggunakan huruf kapital).
Walaupun tidak diceritakan, kembalinya Hagar kepada Abram dan Sarai kemungkinan besar mendatangkan Kabar Baik, mengingatkan mereka bahwa Dia masih ada di sekitar mereka dan tidak melupakan janji-Nya. Dengan jalinan cerita seperti ini, kita sebagai pembaca dapat melihat bahwa kesulitan hidup yang harus dijalani Hagar bukanlah sesuatu yang tragis atau sia-sia.
Di awal tahun tahun 2022, saya dan keluarga dipanggil untuk bergabung dalam pelayanan misi di Phnom Penh, Kamboja. Situasi ini memperpanjang masa sekolah daring bagi anak-anak kami karena mereka masih harus menyelesaikan tahun ajaran di Indonesia. Kami tinggal di apartemen dan anak-anak kami kesulitan bermain dengan teman-teman sebaya karena perbedaan bahasa. Sering anak kami terlihat sedih ketika mereka hanya mampu memandang dari layar komputer keceriaan yang dilakukan teman-teman di sekolahnya, yang sudah kembali beraktivitas secara normal. Pada awal-awal kepindahan kami, mereka sering bertanya mengapa mereka harus menjalani kehidupan seperti ini.
Kami tidak ingin anak-anak kami rapuh. Kisah pelarian Hagar kembali mengingatkan saya dan istri untuk mengajarkan mereka melihat anugerah dan rencana Tuhan di balik setiap kesulitan yang mereka alami. Tuhan telah memberikan mereka kesempatan bukan hanya untuk tinggal di negara asing, melainkan juga untuk bisa belajar budaya yang baru, serta mengasah keterampilan bahasa Inggris mereka seperti halnya sebagian besar anak-anak Indonesia di gereja kami yang dibesarkan di Kamboja dan bersekolah di sekolah internasional.
Mereka juga mengalami sendiri kebutuhan pelayanan kepada orang-orang yang belum mengenal Tuhan. Ketika bercakap-cakap dengan mereka, kami mulai melihat timbulnya rasa syukur dan kesadaran atas anugerah serta rencana Tuhan membuat perbedaan besar dalam diri mereka. Selain mulai bisa mensyukuri hidup di negara asing, mereka sering bersaksi kepada teman-temannya di Indonesia tentang pelayanan misi dan kehidupan masyarakat di sini.
3. “Engkau mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan akan menamainya Ismael, sebab TUHAN telah mendengar tentang penindasan atasmu itu” (Kej. 16:11)
Malaikat itu memberi nama Ismael, artinya “Allah mendengar,” kepada anak dalam kandungan Hagar. Dengan begitu, Hagar akan selalu diingatkan bahwa Tuhan senantiasa mendengarkan jeritan hamba-hamba-Nya. Tidak ada satu kejadian pun dalam hidup hamba-hamba-Nya yang luput dari perhatian Tuhan (Mat. 10:29-31). Bahkan tidak hanya Ismael, “Allah mendengar,” tetapi juga Imanuel, “Allah ada bersama kita” (Mat. 1:23 BIMK). Pengorbanan Kristus membuktikan itu semua.
Anak-anak saya adalah generasi digital native yang sangat mahir menggunakan teknologi informasi. Apalagi, mereka tumbuh dalam budaya Indonesia, yang sangat aktif di media sosial (menurut laporan tahun 2022, hampir 70% dari penduduk Indonesia aktif di media sosial dan rata-rata menggunakannya selama 3 jam 17 menit sehari). Karena terbiasa mencari segala sesuatu di Internet, mereka juga bisa memiliki kecenderungan untuk menjadikan media sosial sebagai tempat pelarian ketika menghadapi masalah. Sayangnya, banyak informasi yang keliru dan bertentangan dengan iman Kristen yang bertebaran di media sosial. Belum lagi, banyaknya persaingan sosial dan perundungan dunia maya (cyberbullying) yang terjadi.
Kisah pelarian Hagar mengajarkan saya untuk menanamkan pengertian kepada anak-anak saya bahwa mereka memiliki Tuhan yang selalu siap mendengar jeritan hati mereka. Saya sadar, setangguh apapun mereka kelak, masih mungkin ada situasi yang bisa membuat mereka hancur. Maka, mereka perlu mengimani bahwa hanya pertolongan Tuhan yang terbukti dapat diandalkan (Mzm. 46:2). Mereka juga perlu belajar bahwa walaupun teman-teman mereka bisa dengan mudah unfollow akun media sosial mereka, tetapi mereka memiliki Tuhan yang kasih setia-Nya akan tetap bertahan walau bumi hancur sekalipun (Yes. 54:10). Dari Tuhanlah, kekuatan yang sesungguhnya berasal.
Seperti halnya saya, kiranya kisah pelarian Hagar ini juga menginspirasi Anda untuk mendidik generasi muda dengan pola asuh yang tepat sehingga mereka tidak bertumbuh menjadi generasi stroberi. Seperti halnya kita, mereka selamanya adalah bejana tanah liat yang rapuh. Tetapi justru melalui kerapuhan itu, mereka bisa memancarkan kekuatan Tuhan yang berlimpah kepada orang-orang di sekitar mereka (2Kor. 4:7). Mereka dapat mengalami Tuhan di tengah kesulitan hidup seperti Hagar dan berkata, “Di sini kulihat Dia yang telah melihat aku” (Kej. 16:13).
Tomy Handaka Patria seorang pelayan Tuhan yang ditahbiskan di Gereja Beth-El Tabernakel. Sekarang bergabung dengan Khalibre, sebuah business as mission di bidang IT di Kamboja yang mengembangkan Crosswired, sebuah portal dan komunitas e-learning berkeamanan tinggi yang digunakan lembaga-lembaga misi. Selain itu, aktif mengembangkan pelayanan digital melalui studibiblika.id dan berkontribusi sebagai volunteer writer di Got Questions Ministry.
Translated from Indonesian by Adam Mele.