“Setelah Firman Tuhan, musik layak mendapat pujian tertinggi,” kata Luther. Dengan demikian, ia mengambil sikap yang sangat kontras dengan para reformis lain di zamannya.
Ulrich Zwingli, pemimpin gereja baru di Zurich, adalah seorang musisi terlatih. Namun di bawah pengaruhnya, para hakim Zurich melarang semua permainan organ, dan beberapa pengikut Zwingli menghancurkan organ di gereja mereka. Meskipun Zwingli kemudian mengizinkan beberapa musik vokal, ia menolak musik instrumental.
John Calvin, meskipun dia menganggap musik sebagai karunia dari Tuhan, ia melihat musik sebagai karunia hanya dalam wilayah duniawi. Dengan demikian, peran musik dalam gereja sangat terbatas. Dia menganggap musik instrumental “konyol dan tidak masuk akal” dan melarang penggunaan harmoni dalam gereja. Hanya nyanyian Mazmur dengan satu suara (unisono) yang diizinkan.
Tidak demikian halnya bagi Martin Luther. “Saya tidak sependapat dengan pandangan bahwa semua seni harus dibuang dan dihancurkan atas nama Injil, seperti yang diprotes oleh beberapa orang fanatik; sebaliknya, dengan senang hati saya memandang semua seni, terutama musik, dapat digunakan untuk pelayanan bagi Dia yang telah menciptakan dan memberikannya kepada kita,” tulisnya.
Musik dalam ibadah jemaat merupakan salah satu warisan Luther yang paling lestari. “Siapa yang meragukan bahwa pada mulanya semua jemaat menyanyikan lagu-lagu ini bersama, yang sekarang hanya dinyanyikan atau diresponi oleh paduan suara saja ketika uskup melakukan konsekrasi dalam Perjamuan Kudus?” katanya.
Bahkan, himne dia—khususnya “Allah Bentengku yang Teguh”—adalah satu-satunya kontak langsung yang dimiliki banyak orang dengan Luther. Buku Himne Lutheran modern mungkin berisi dua puluh atau lebih himnenya, dan banyak buku himne non-Lutheran hanya mencakup beberapa.
Apa keyakinan Luther tentang musik? Apa peran dari keyakinan Luther itu dalam ibadah? Dan apa sumbangsih Luther dalam hal musik bagi gereja?
Mengagumi Musik
Pada abad keenam belas, komposisi musikal telah berkembang menjadi seni yang agung, dan Luther sendiri adalah seorang musisi yang terlatih. Dia memiliki suara yang indah, dapat memainkan kecapi, dan bahkan mencoba menggubah komposisi musikal dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Dia berkenalan dengan karya-karya komposer terkemuka saat itu, seperti Josquin des Pres: “Tuhan telah memberitakan Injil melalui musik, seperti yang dapat dilihat dalam karya Josquin des Prez, yang semua komposisinya mengalir dengan bebas, lembut, dan riang, tidak dipaksakan, atau kaku terjepit oleh aturan, dan seperti nyanyian burung kutilang.”
Luther mengamati bahwa hanya manusialah yang diberi karunia bahasa dan karunia nyanyian. Ini menunjukkan bahwa kita harus “memuji Tuhan dengan kata-kata dan musik.” Lebih jauh lagi, musik adalah sarana untuk mewartakan Sabda Tuhan. Luther senang mengutip contoh-contoh seperti Musa, yang memuji Tuhan dalam nyanyian setelah menyeberangi Laut Merah, dan Daud, yang menyusun banyak mazmur.
Dia berkata, “Saya selalu menyukai musik; siapa pun yang memiliki keterampilan dalam seni ini, memiliki temperamen yang baik, cocok untuk semua hal. Kita harus mengajar musik di sekolah; seorang kepala sekolah harus memiliki keterampilan dalam musik, jika tidak, saya tidak akan menganggap dia layak; kita juga tidak boleh menahbiskan para pemuda sebagai pendeta, kecuali mereka telah dilatih dengan baik dalam musik.”
Reformis Konservatif
Penghargaan Luther yang tinggi terhadap musik diimbangi dengan sikap kehati-hatiannya dalam hal mereformasi praktik ibadah. Luther pernah menulis, “Tidak pernah sekali pun dalam pikiran kami untuk melenyapkan seluruh upacara keagamaan yang formal [ibadah] kepada Tuhan, melainkan untuk membersihkan apa yang selama ini telah digunakan, yang telah dirusak dengan adanya tambahan-tambahan yang sangat menjijikkan, dan untuk menunjukkan bagaimana menggunakannya dengan penuh kesalehan.”
Dia tidak memiliki keinginan untuk membuang liturgi gereja begitu saja. Seruan permohonan belas kasihan dalam Kyrie, pujian kepada Kristus dalam Gloria in Excelsis, pengakuan iman apostolik dalam Credo, proklamasi kecukupan pengorbanan Kristus untuk dosa-dosa dunia dalam Agnus Dei—ini semua adalah hal-hal yang sangat penting untuk memproklamasikan dengan setia tentang makna bahwa kita dibenarkan hanya oleh anugerah semata.
Namun tetap saja, Luther berusaha untuk mereformasi. Salah satu keprihatinannya adalah penggunaan bahasa Latin yang mendominasi dalam ibadah. Rakyat jelata perlu mendengar dan menyanyikan Firman Tuhan dalam bahasa mereka sendiri—Jerman—agar mereka bisa memahami dan diteguhkan imannya. Dalam salah satu tulisannya tentang liturgi, Luther berkata, “Biarlah segala sesuatu dilakukan agar Firman [Tuhan] dapat disampaikan dengan leluasa.”
Luther juga berusaha untuk membersihkan ibadah dari jejak ajaran palsu, yang menurutnya berpusat pada Kanon Misa, kumpulan doa dan kalimat respons seputar ucapan Kristus pada Perjamuan Terakhir. Luther menolak ajaran tersirat bahwa Misa adalah kurban yang dipersembahkan oleh imam kepada Allah. Mengenai Kanon Misa, dia menyimpan beberapa kritik pilihannya, yang ia sebut sebagai, “sebuah ramuan keji yang diambil dari selokan dan tangki septik semua orang.”
Namun Luther mengerti bahwa reformasi yang tergesa-gesa hanya akan memperburuk keadaan. Dalam liturgi pertamanya yang direvisi tahun 1523 (An Order of Mass and Communion for the Church at Wittenberg), Luther berkata, “Saya pernah ragu-ragu dan takut, sebagian karena merasa lemah dalam iman, yang tidak bisa tiba-tiba mengganti tata ibadah lama dan yang sudah terbiasa dengan ibadah baru dan yang belum terbiasa.” Memang benar, jarak enam tahun antara awal Reformasi dan reformasi liturgi pertamanya menunjukkan kehati-hatian Luther.
Karya Luther, Order of Mass (Tata Perayaan Ekaristi), itu pun merupakan upaya reformasi yang konservatif. Tentu saja, Kanon Misa sudah tidak ada, diganti dengan instruksi-instruksi agar Sabda Kristus dilantunkan dengan lantang. Kemudian semua jemaat akan menerima, tidak hanya tubuh, tetapi juga darah Kristus dalam sakramen tersebut. Namun, meskipun nyanyian himne dalam bahasa Jerman dianjurkan, bahasa Latin tetap menjadi bahasa utama.
Pergeseran dari bahasa Latin ke bahasa Jerman juga tertunda karena tidak banyak himne atau bagian dari liturgi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Luther menyerukan kepada para penyair dan musisi yang handal untuk menghasilkan himne dan liturgi dalam bahasa Jerman yang dengan setia mewartakan Firman Tuhan. Menjelang akhir tahun 1523, Luther menulis surat kepada Georg Spalatin, pendeta yang bekerja pada pangeran Saxony, untuk mendesaknya untuk menulis himne berbahasa Jerman berdasarkan Mazmur. Nasihatnya lugas: gunakan kata-kata yang sangat sederhana dan paling umum, lestarikan ajaran murni Firman Tuhan, dan pertahankan maknanya sedekat mungkin dengan Mazmur.
Pada tahun 1526, berbagai materi telah diproduksi secara memadai sehingga memampukan Luther untuk mempersiapkan kebaktian yang utuh dalam bahasa Jerman. Misa Jerman ini mengikuti struktur historikal dari liturgi. Meskipun Luther menyisipkan himne berbahasa Jerman untuk menggantikan bahasa Latin, dia bersikeras bahwa pelayanan berbahasa Latin harus terus dilakukan sesekali. Bahkan, cita-citanya adalah mengadakan kebaktian tidak hanya dalam bahasa Jerman dan Latin, tetapi juga dalam bahasa-bahasa Alkitab, yaitu Yunani dan Ibrani!
Penulis Himne
Antara masa penerbitan liturgi kebaktian tahun 1523 dan 1526, Luther mulai menulis himne. Meskipun dia telah menyatakan keraguan tentang kemampuannya, dia bukan orang yang mau menunggu tanpa kepastian. Selain itu, Thomas Munzer, seorang reformis radikal Jerman, telah memproduksi liturgi ibadah dan himne berbahasa Jerman. Untuk melindungi jemaatnya dari ajaran Munzer, Luther memutuskan untuk menyiapkan himne karyanya sendiri.
Selama bulan-bulan terakhir di tahun 1523 dan awal tahun 1524, Luther menghasilkan lebih dari dua puluh himne—setengah lebih dari total hasil karyanya. Empat di antaranya terbit pada Januari 1524 dalam buku kumpulan himne Lutheran yang pertama (dikenal sebagai “Hymnal of Eight,” karena berisi delapan himne).
Pada musim panas 1524, dua buku himne lainnya terbit di kota dekat Erfurt; masing-masing berisi sekitar dua lusin himne, delapan belas di antaranya adalah karya Luther. Pada tahun 1524, buku himne pertama yang disiapkan di bawah naungan Luther juga dicetak. Tidak seperti himne modern, buku itu sebenarnya adalah buku paduan suara dengan pengaturan multisuara. Dari tiga puluh delapan himne, dua puluh empat di antaranya adalah karya Luther.
Himne berkembang begitu cepat sehingga banyak dari mereka menerbitkan himne karya Luther tanpa izin. Meskipun Luther tidak memiliki keprihatinan zaman modern tentang pelanggaran hak cipta, dia tidak ingin orang lain membuat “perbaikan” pada himnenya, dengan kekuatiran bahwa jangan sampai ajaran murni Firman Tuhan dipalsukan.
Luther telah menulis berbagai himne. Yang pertama, lebih seperti sebuah balada, yang tercipta setelah kematian dua martir Lutheran pertama (di Brussel pada 1 Juli 1523). Luther menggunakan himne ini untuk melawan desas-desus bahwa kedua pria itu telah menarik diri dari imannya sebelum mereka meninggal. Luther menyanyikan bahwa meskipun musuh dapat menyebarkan kebohongan mereka, “Kami bersyukur kepada Tuhan, oleh karena itu, Firman-Nya telah muncul kembali.”
Himne-himne Luther lainnya dibuat untuk digunakan pada kebaktian gereja dan di rumah. Pada tahun 1524, Luther menulis enam dari tujuh himnenya berdasarkan mazmur. Himne mazmur terakhirnya, “Allah Bentengku yang Teguh,” ditulis sekitar tiga tahun kemudian, ketika Luther sedang menjalani pencobaan yang berat. Nyanyian ini menunjukkan gaya yang jauh lebih bebas dan hanya sedikit berhubungan dengan teks Mazmur 46. Namun “Allah Bentengku yang Teguh” mencerminkan perjuangan Luther dan keyakinan dia yang sepenuhnya kepada Tuhan: “Meskipun seluruh dunia dipenuhi si jahat, / Semua ingin mengganyang kita, / Kita tidak gentar, kita tidak akan takut, / Mereka tidak akan mengalahkan kita. ”
Luther juga menulis himne untuk bagian-bagian dari liturgi dan untuk semua perayaan dalam kalender gerejawi. Untuk mengajarkan katekismus, ia menulis dua himne tentang Sepuluh Perintah, sebuah himne untuk Pengakuan Iman Rasuli, satu himne untuk Doa Bapa Kami, dan yang lainnya untuk baptisan dan Perjamuan Kudus. Melalui himne-himne ini, Luther menunjukkan keinginannya yang berkesinambungan untuk mengajarkan iman Kristiani, terutama kepada anak-anak.
Martin Luther menggubah lagu-lagu pujian dan musik gereja baru yang terus mengekspresikan pesan yang dia wartakan.
Paul J. Grime adalah pendeta Gereja Lutheran St. Paul di West Allis, Wisconsin, dan kandidat doktor di Universitas Marquette.
Hak Cipta © oleh penulis atau majalah Christianity Today/Christian History. Klik di sini untuk mencetak ulang informasi tentang Sejarah Kristen.
Diterjemahkan oleh David Alexander Aden.
–