Gordon Fee pernah memberi tahu murid-muridnya pada hari pertama kelas Perjanjian Baru di Wheaton College bahwa mereka akan—suatu hari nanti—menemukan tajuk utama yang mengatakan “Gordon Fee wafat.”
“Jangan percaya!” katanya, sambil berdiri di atas meja. “Dia sedang bernyanyi dengan Tuhan dan rajanya.”
Kemudian, alih-alih membagikan silabus seperti profesor pada umumnya, ia memimpin kelas itu menyanyikan himne Charles Wesley, “Walau Seribu Lidahku.”
Fee adalah seorang pengajar Perjanjian Baru yang sangat berpengaruh. Ia percaya bahwa membaca Alkitab, mengajarkan Alkitab, dan menafsirkan Alkitab seharusnya membawa orang-orang ke dalam perjumpaan dengan Tuhan yang hidup. Karena itu ia menggambarkan dirinya sebagai “cendekiawan yang berapi-api.” Ia wafat pada hari Selasa dalam usia 88 tahun—walaupun, seperti yang diketahui orang-orang yang bertemu dengannya di kelas atau melalui buku-bukunya, dia tidak akan menggambarkannya seperti itu.
Fee menulis How to Read the Bible for All Its Worth bersama Douglas Stuart, rekan dari Gordon-Conwell Theological Seminary pada awal 1980-an. Sekarang buku tersebut sudah edisi keempat dan telah terjual sekitar 1 juta eksemplar. Bagi banyak orang, buku itu menjadi teks standar tentang cara terbaik untuk memahami Kitab Suci. Fee juga menulis sebuah buku pegangan yang dipakai secara luas tentang penafsiran yang alkitabiah, beberapa buku tafsiran yang baik tentang surat-surat di Perjanjian Baru, dan penelitian akademis yang inovatif tentang peran Roh Kudus dalam kehidupan dan pelayanan rasul Paulus.
“Jika Anda meminta Paulus untuk mendefinisikan apakah orang Kristen itu,” Fee pernah mengatakan kepada CT, “ia tidak akan mengatakan, ‘Seorang Kristen adalah orang yang percaya doktrin X dan Y tentang Kristus,’ melainkan ‘Seorang Kristen adalah seseorang yang berjalan di dalam Roh, yang mengenal Kristus.’”
Dengan cara yang sama, Fee berargumen bahwa mempelajari bentuk, sejarah, dan konteks Kitab Suci bermanfaat karena itu bukan “sekadar sejarah.” Bila dilakukan dengan benar, penafsiran alkitabiah merupakan sebuah sentuhan yang mencerahkan.
“Eksegesis kita akan membuahkan hasil ketika kita sendiri duduk dengan kekaguman yang tak terkatakan di hadirat Tuhan,” tulisnya. “Kita harus mendengar firman itu dengan hati kita. Kita harus bersukacita dalam kemuliaan Tuhan. Kita harus digerakkan oleh kekaguman yang luar biasa akan kekayaan kemuliaan Tuhan. Kita harus memikirkan kembali akan keajaiban yang luar biasa itu sehingga semua kekayaan firman ini menjadi milik kita di dalam Kristus Yesus. Kemudian kita harus menyembah Allah yang hidup dengan menyanyikan puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.”
Seiring berita kematiannya menyebar di media sosial, para pendeta dan profesor seminari dari berbagai kalangan Injili menceritakan tentang buku Fee yang mana yang paling berarti bagi mereka. Profesor Perjanjian Baru dari Western Theological Seminary New Testament bernama Wesley Hill mengatakan bahwa God’s Empowering Presence adalah salah satu teks yang paling berpengaruh yang pernah dia baca. Greg Salazar, seorang pendeta Gereja Presbiterian di Amerika, menulis bahwa dia menggunakan buku tafsiran Fee tentang Filipi untuk seri khotbah. Peter Englert, seorang pendeta di sebuah gereja non-denominasional di New York, memuji tafsiran Fee tentang 1 Korintus.
Profesor Denny Burk dari Southern Baptist Theological Seminary, yang sangat tidak setuju dengan Fee tentang persoalan keterlibatan wanita dalam pelayanan, mengatakan bahwa Fee adalah “salah satu cendekiawan Perjanjian Baru paling berpengaruh yang pernah hidup.”
Fee bukanlah nama yang umum bagi sebagian besar jemaat gereja dari kalangan Injili, tetapi itu mungkin hanya menggarisbawahi betapa penting kontribusinya.
“Tidak ada anggota gereja saya yang dapat memberi tahu Anda siapa Gordon Fee itu,” tulis Griffin Gulledge, pendeta Madison Baptist Church di Madison, Georgia. “Akan tetapi, masing-masing dari mereka telah mendapat manfaat dari karyanya. Saya yakin hal yang sama juga terjadi di puluhan ribu gereja lainnya.”
Memperlakukan Kitab Suci dengan hati-hati
Fee lahir dari pasangan Donald dan Gracy Jacobson Fee di Ashland, Oregon, pada 23 Mei 1934.
Ayahnya, Donald, adalah seorang tukang kayu yang terampil dan pengkhotbah ekspositori di Assemblies of God. Fee bertumbuh dengan memperhatikan perbedaan antara khotbah ayahnya yang penuh kehati-hatian, yang menggali makna dari Alkitab, dibanding dengan beberapa pendekatan yang lebih liar dan tidak beraturan yang dipakai oleh rohaniwan-rohaniwan Assemblies of God lainnya.
Banyak dari kalangan Pentakosta tampaknya berpikir bahwa perencanaan dan pembelajaran akan menghambat Roh Kudus, kata Fee kemudian. Mereka biasanya akan mengambil satu frase dari Kitab Suci dan kemudian berbicara berdasarkan apa yang ada di kepala mereka, dengan percaya bahwa Tuhan dapat membimbing kata-kata mereka jika mereka fleksibel dan spontan. Beberapa orang bahkan tidak akan memilih teks khotbah mereka dari sebelumnya, melainkan lebih memilih untuk membuka Alkitab dan meminta Tuhan memimpin mereka pada saat itu juga.
Hasilnya tidak selalu membuktikan kuasa Roh Kudus.
Namun pada sisi lain, ayah Fee percaya bahwa Tuhan menghargai persiapan dan Kitab Suci, seperti sepotong kayu yang berkualitas, harus diperlakukan dengan keterampilan dan ketelitian.
“Ayah saya adalah cendekiawan pertama yang pernah saya temui,” tulis Fee, “walaupun pada tahun-tahun awal saya tidak menyadarinya. Namun, hasratnya akan kebenaran dan tekad untuk menggali jauh ke dalam Kitab Suci … sungguh menular pada saya.”
Fee memutuskan meneladani ayahnya untuk terlibat dalam pelayanan. Ia pergi ke Seattle Pacific College (sekarang Universitas), di mana dia bertemu dan menikah dengan Maudine Lofdhal, yang juga anak dari seorang pendeta Assemblies of God. Setelah lulus dengan gelar master, Fee mengambil pelayanan penggembalaan di pinggiran kota yang berkembang di selatan bandara Seattle-Tacoma, dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia juga mulai mengajar bahasa Inggris di Northwest College (sekarang Universitas), yang merupakan sekolah yang berafiliasi dengan Assemblies of God di Kirkland, Washington.
Fee kemudian menyadari bahwa ia suka mengajar. Ia mengatakan bahwa ia sangat menyukainya, sampai membuat giginya sakit.
Selama beberapa tahun ia bergumul dengan konflik antara panggilan untuk pelayanan—dia dan Maudine mendiskusikan menjadi misionaris ke Jepang—dan panggilan ke dunia akademis. Titik balik pun datang, kenang Fee, ketika seorang rekan berkata, “Gordon, hanya karena Anda ingin melakukannya bukan berarti Tuhan menentangnya.”
Fee menyadari bahwa “tentu saja ini juga bisa menjadi semacam panggilan.” Ia memutuskan untuk pergi ke University of Southern California untuk mengejar gelar doktor dalam studi Perjanjian Baru, dengan berfokus pada kritik tekstual. Ia menulis disertasinya tentang Papirus 66, yang merupakan sebuah salinan Injil Yohanes yang hampir lengkap dan diyakini sebagai salah satu manuskrip Perjanjian Baru tertua yang masih ada.
Bahkan ketika ia mulai meniti karir akademisnya, ia merasakan ketegangan antara identitasnya sebagai seorang akademisi dan seseorang dari kalangan Pentakosta. Kemudian ia mendapat kesempatan mengajar di Wheaton College, dan menemukan bahwa dia adalah orang Pentakosta pertama yang pernah ditemui banyak rekannya—dan tentu saja yang pertama memiliki gelar doktor dalam studi biblika.
Pengaruh pada NIV
Sementara itu, sesama rekannya dari kalangan Pentakosta di Assemblies of God tidak selalu berbahagia dengan keberhasilannya di dunia akademis. Ia pernah memberi tahu seorang pria yang lebih tua tentang penelitian akademisnya, namun ia justru mendapat peringatan tentang bahaya rohani dari studi akademis.
“Lebih baik orang bodoh yang berapi-api,” kata pria itu, “daripada seorang cendekiawan yang terasing.”
Namun, saat dia berdoa tentang hal itu, Fee menyadari bahwa itu adalah pilihan yang salah. Dia bisa menjadi “seorang cendekiawan yang berapi-api.”
Ia mengajar di Wheaton College selama lima tahun dan kemudian meniti karir di Gordon-Conwell Theological Seminary. Dia berada di sana selama lebih dari satu dekade sebelum pindah ke Regent College di Vancouver, British Columbia, di mana dia mengajar Perjanjian Baru sampai dia pensiun.
Fee menulis tafsiran akademis dan populer tentang 1 dan 2 Korintus, 1 dan 2 Timotius, 1 dan 2 Tesalonika, Filipi, dan Wahyu. Ia menulis studi mendalam tentang Kristologi dan Pneumatologi rasul Paulus. Ia mengedit seri New International Commentary yang terkenal dan juga bekerja dengan Committee on Bible Translation, tim cendekiawan yang bertanggung jawab atas penerbitan Alkitab New International Version, selama lebih dari 30 tahun. Menurut Douglas Moo, ketua studi biblika di Wheaton College, pembaca NIV “menjumpai saran terjemahan dari Fee di hampir setiap halaman.”
Meski demikian, kontribusi Fee yang paling signifikan, mungkin berasal dari pengajaran sekolah minggu. Dia mendapati bahwa banyak orang Kristen dewasa, di mana sebagian dari mereka telah terlibat aktif di gereja sekian lama, tidak tahu cara membaca Alkitab. Mereka mengerti pasal dan ayat, dan bahkan mungkin telah menghafal beberapa bagian, tetapi seringkali tidak memahami perbedaan yang signifikan antara bagian-bagian Kitab Suci yang berbeda.
“Apa perbedaan antara cerita pendek dan puisi?” Fee bertanya . “Kalian tidak membaca puisi seperti kalian membaca cerita pendek, atau membaca cerita pendek seperti kalian membaca puisi…. Mengapa ada orang yang ingin menyamakannya menjadi seolah-olah tidak ada bedanya? Padahal perbedaan itu membuat segala perbedaan di dunia! Tuhan memilih untuk melakukannya dengan cara ini. Ini bukan penemuan Gordon. Tuhan melakukan ini.”
Ia dan profesor Perjanjian Lama, Douglas Stuart, menerbitkan buku How to Read the Bible for All Its Worth pada tahun 1981. Fee, dengan agak melebih-lebihkan, mengatakan bahwa editornya di Zondervan mengirimkan buku tersebut ke setiap pengajar Alkitab di Amerika Utara. “Saya tidak tahu berapa ratus eksemplar yang dia kirim,” katanya, “tetapi dalam setahun penjualannya melejit.” Edisi keempat diterbitkan pada tahun 2014.
Karunia-karunia Roh
Posisi Fee sebagai cendekiawan Alkitab beraliran Pantekosta di lembaga-lembaga beraliran Injili yang terkemuka berarti ia kadang-kadang terlibat dalam kontroversi teologis. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, ia terlibat dalam perdebatan Pentakosta tentang apakah berbahasa roh adalah “bukti awal” dari kepenuhan Roh Kudus. Beberapa menuduhnya “membuang” doktrin dasar Pentakostalisme.
“Saya tidak membuang bukti awal,” katanya. “Saya membuang bahasanya, karena itu tidak alkitabiah, dan karena itu tidak relevan.”
Fee juga mendukung wanita dalam pelayanan, berdasarkan penafsiran terhadap Perjanjian Baru. Ia mendukung Council for Biblical Equality dan merupakan editor penyumbang untuk koleksi volume buku, Discovering Biblical Equality: Complementarity without Hierarchy. Ia menulis tafsiran 1 Korintus 11:2-6 dan Galatia 3:26-29.
Fee juga menulis tentang peran Roh Kudus dalam gereja Perjanjian Baru: “Berdasarkan bukti Perjanjian Baru, Roh Kudus bersifat gender netral, yang menganugerahkan baik kepada pria maupun wanita, dan dengan demikian berpotensi membebaskan seluruh jemaat untuk melayani semua bagian dan dalam berbagai cara untuk memimpin orang lain. Jadi pada akhirnya, isu yang saya angkat bukanlah sebuah agenda feminis—pembelaan terhadap kaum perempuan dalam pelayanan. Sebaliknya, ini adalah agenda Roh Kudus.”
Posisi itu memberinya lebih banyak kritik daripada segala hal yang pernah ia tulis. Fee mengatakan dia “masuk daftar hitam” di beberapa lingkaran Injili.
“Saya sudah tahan dengan banyak omong kosong,” katanya kepada majalah Charisma. “Namun saya tidak bisa melupakan ketika beberapa orang berpikir bahwa persoalan gender lebih penting daripada karunia.”
Meski demikian, Fee biasanya berusaha menghindari kontroversi, dengan berfokus pada kelasnya dan mengajar orang-orang untuk memahami Alkitab sehingga firman itu mengubah mereka.
“Kelas-kelas Gordon yang penuh ketelitian bahkan lebih dikenal karena perjumpaan dengan Tuhannya,” kata profesor Perjanjian Baru Regent College, Rikk Watts. “Dia mengajar ribuan murid di seluruh dunia agar ada orang yang bisa menjadi seorang ‘cendekiawan yang berapi-api.’”
Fee meninggal di rumahnya di New York. Istrinya telah meninggal terlebih dahulu di tahun 2014. Dia meninggalkan anak-anaknya, yaitu Mark, Cherith Nordling, Brian, dan Craig. Upacara memorial sedang direncanakan untuk diadakan di New York dan Vancouver.
Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.
–