Books

Orang Kristen Akan Kembali ke Gereja—Namun Mungkin Tidak Sama Lagi

Di tengah segala pergeseran dan perubahan selama dua tahun terakhir, banyak gereja melihat perpindahan jemaat yang semakin meningkat.

Christianity Today July 5, 2022
Cavan Images / Getty / Edits by Christianity Today

Pada tahun 2017 Houston Northwest Church mengalami kerusakan parah akibat Badai Harvey. Ketika fasilitas gereja yang terendam banjir itu akhirnya dibangun ulang beberapa tahun yang lalu, jemaatnya baru saja kembali beribadah dengan kapasitas penuh selama enam minggu sebelum akhirnya terhenti karena pandemi.

Seiring gereja mengalami kemunduran demi kemunduran, pendeta senior Steve Bezner menyaksikan bagaimana kawanan domba itu pasang surut.

“Sekitar sepertiga dari jemaat kami yang hadir beribadah secara tatap muka adalah wajah-wajah baru,” katanya.

Gerejanya saat ini dihadiri 1.600 orang setiap minggunya, termasuk beberapa ratus orang yang beribadah secara daring—tidak jauh dari rata-rata mingguan sebelum pandemi, yaitu 1.700 orang. Bezner terpana akan jumlah anggota yang pergi selama pandemi dan jumlah pendatang baru yang hadir untuk menggantikan mereka.

“Ini akan membuat Anda percaya pada pemeliharaan Roh Kudus,” kata pendeta gereja Houston itu.

Perpindahan anggota jemaat memang wajar terjadi pada siklus kehidupan gereja, sama halnya dengan baptisan, pernikahan, dan pemakaman. Akan tetapi pandemi telah mempercepat datang dan perginya jemaat, serta menuntut strategi baru dalam menyambut dan mengasimilasi anggota jemaat baru ke dalam komunitas gereja. Tugas-tugas ini semakin diperumit dengan berkembangnya aturan pencegahan COVID-19 dan tantangan untuk mengidentifikasi siapa saja yang masih menjadi anggota gereja, ketika banyak orang masih terus beribadah secara daring.

“Ketiadaan waktu kumpul bersama telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan ini,” kata Steve Smith, pendeta eksekutif dari Highpoint Church di Naperville, Illinois. “Injil tidak berubah, dan kami akan selalu berpusat pada Alkitab, namun cara kami melibatkan orang-orang, itu sedang berubah.”

COVID-19 mendorong orang mengalami perubahan hidup dalam segala hal selama dua tahun terakhir, termasuk perubahan karier, relasi baru, dan relokasi. Beberapa perubahan terjadi karena desakan kebutuhan dan beberapa lainnya disebabkan oleh prioritas baru; riset Pew menemukan bahwa sebanyak tiga perempat orang Amerika telah melihat beberapa dampak positif dari pandemi.

Ini juga terjadi dengan pilihan-pilihan gereja. Bagi mereka yang memang sudah bergumul dengan gereja mereka, pandemi ini menjadi katalisator untuk mulai menjelajahi gereja lain. Seorang simpatisan gereja di Atlanta berkata bahwa pandemi ini mendorong dia ke arah perubahan setelah mengalami dinamika sosial yang sulit dalam kelompok dewasa mudanya.

“Saya memutuskan untuk memulai dengan yang baru di tempat lain,” kata Elisa Hoover, 27. “Lebih mudah untuk mengunjungi gereja lain selama pandemi, dan ketidakhadiran saya tidak terlalu diperhatikan dalam komunitas yang sangat erat di gereja saya.”

Bagi banyak orang, isolasi berkelanjutan dari pandemi meningkatkan kerinduan mereka akan hubungan dan komunitas rohani.

Banyak pendatang baru di Houston Northwest Church berasal dari kompleks apartemen besar di seberang jalan yang sebagian besar ditinggali oleh orang-orang dewasa yang masih lajang. “Mereka merasakan tekanan psikologis dari kesepian dan ingin mengeceknya,” kata Bezner. “Mereka ingin menemukan siapa Tuhan itu.”

Kerinduan akan hubungan dan landasan rohani ini melampaui demografi, memengaruhi semua orang, mulai dari kaum lajang yang tinggal sendiri hingga orang tua dengan anak-anak kecil sampai anggota jemaat yang tinggal jauh dari gereja mereka untuk terlibat secara mendalam.

Ketika pandemi melanda di tahun 2020, Dylan Parker dan istrinya menyadari bahwa mereka tinggal terlalu jauh dari gereja mereka di Arkansas untuk dapat tertanam di gereja lokal seperti yang mereka inginkan.

“Sampai pandemi memperlambat kami, kami tidak menyadari kerugian yang kami alami saat menjalani kehidupan lintas kota,” katanya. Mereka pun mulai mencari gereja yang lebih dekat dengan rumah, namun tak lama kemudian mereka mendapat kabar bahwa Parker diterima di program PhD di Fuller Theological Seminary dan akan pindah ke California. Parker dan istrinya kini tinggal berdekatan dengan gereja dan rumah jemaat lainnya yang dapat ditempuh hanya dengan jalan kaki.

“Kami sudah merasakan bahwa kami memiliki komunitas yang lebih dekat dan lebih kuat di sini daripada di Arkansas,” kata Parker.

Ayah dua anak ini juga menghargai pendekatan gereja barunya dalam menangani isu-isu menantang yang muncul selama pandemi, termasuk soal keadilan sosial. Meskipun ia mengatakan bahwa ia tidak akan pindah gereja karena alasan ini saja, ia mengakui bahwa ia merasa lebih cocok dengan gerejanya di California.

“Gereja saya sebelumnya tidak memberi ruang pembicaraan yang saya inginkan tentang keadilan sosial,” katanya. “Saya telah mencapai titik dalam hidup saya di mana saya membutuhkan ruang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.”

Menavigasi perspektif yang menantang

Mustahil untuk menganalisis topik perpindahan gereja selama pandemi tanpa mengakui latar belakang polarisasi nasional terkait isu-isu, mulai dari soal masker dan vaksinasi hingga ketegangan rasial dan politik. Sering kali, para pendeta merasa kurang diperlengkapi untuk membahas isu-isu ini dengan cara yang dapat memuaskan anggota-anggota jemaat yang mewakili berbagai sudut pandang.

Bezner menggambarkan turbulensi dalam dua tahun terakhir sebagai “trauma nasional yang semakin parah, yang telah menyebabkan kelelahan para pendeta dalam pengambilan keputusan.”

Keputusan-keputusan kontroversial, yang dibuat di bawah pengawasan ketat, bisa menjadi hal yang mendorong sebagian anggota jemaat untuk mengevaluasi kembali kecocokan terhadap gerejanya.

“Dulu suasananya lebih tenang, tetapi sekarang sekelompok orang pergi dan efeknya lebih keras terdengar dari sebelumnya,” kata Smith di Highpoint Church, Illinois.

Gereja-gereja sering kali kehilangan jemaat yang di “barisan belakang,” dengan adanya orang-orang yang sebelumnya sangat aktif menjadi lebih aktif lagi selama pandemi, dengan stabilnya orang-orang yang agak aktif, dan dengan banyaknya simpatisan yang kurang aktif menjadi mundur.

“Kami memperhatikan bahwa orang-orang yang datang 8 atau 12 kali setahun telah berhenti hadir,” kata Smith. “Otot rohani mereka berhenti berkembang.”

Dari tujuh lokasi Highpoint, gereja non-denominasi ini melihat segelintir dari orang-orang tersebut kembali aktif, terlepas adanya kampanye komunikasi yang gencar oleh para pemimpin dan juga sukarelawan gereja.

Menawarkan layanan virtual sangatlah membantu selama pandemi, tetapi hal ini juga membuat penghitungan jumlah anggota jemaat menjadi sulit. Gabungan orang yang berpindah gereja dan beribadah secara daring telah menciptakan misteri seputar jumlah anggota jemaat sebenarnya yang telah keluar dari gereja secara permanen.

Riset Lifeway mendapati bahwa hampir semua gereja telah dibuka kembali pada musim panas lalu, dengan hanya tiga perempat pengunjung rutin yang kembali beribadah.

Membangun komunitas yang lebih mendalam

“Anonimitas adalah suatu bagian besar dari pemandangan gereja Amerika,” kata Len Tang, direktur Church Planting Initiative di Fuller Theological Seminary. “Akan tetapi di gereja-gereja yang lebih kecil, Anda tidak bisa menjadi anonim.”

Dalam beberapa hal, gereja kecil dan gereja perintis memiliki posisi yang lebih baik untuk mempertahankan anggota jemaat selama pandemi. Gereja Tang, Missio Church di Pasadena, California, tidak mengalami banyak perpindahan jemaat selama pandemi.

“Orang biasanya setia terhadap visi perintisan gereja dan kecil kemungkinannya untuk berpindah gereja,” katanya. Riset Lifeway juga menemukan bahwa gereja-gereja yang lebih kecil pulih lebih cepat daripada gereja-gereja besar.

“Kebanyakan gereja kecil masih belum kembali ke tingkat pra-pandemi, tetapi ada lebih banyak dari mereka yang mencapai titik ini daripada gereja yang lebih besar,” kata Scott McConnell, direktur eksekutif Lifeway Research. “Mungkin gereja-gereja kecil terbantu oleh persepsi rasa aman dari kelompok pertemuan yang lebih kecil, perbedaan-perbedaan dalam pilihan teknologi untuk berkumpul secara daring, atau kekuatan koneksi relasional.”

Gereja-gereja besar dan kecil berfokus pada pemuridan kelompok kecil ketika kebaktian tatap muka dihentikan sementara.

“Gereja-gereja yang memahami pemuridan pada intinya dapat melanjutkan misi itu,” kata Tang.

Di gereja Highpoint, para pendeta tidak bisa lagi menggunakan jumlah kehadiran hari Minggu sebagai ukuran pemuridan gereja, jadi mereka menyesuaikan pendekatan mereka pada pelatihan kepemimpinan. Alih-alih hanya membagikan metode pemuridan, mereka berfokus untuk mengajar para pemimpin mengapa pemuridan itu penting dan bagaimana melibatkan orang-orang dengan penuh makna.

“Kami mencoba membantu mereka untuk memahami, ‘Bagaimana Anda dapat menarik keluar pergumulan dan kerinduan yang mendalam dari jemaat sebagai bagian dari pembinaan rohani?’” kata Smith.

Di gereja Houston, gereja Bezner ini mulai mengadakan jamuan makan malam untuk membicarakan visi gereja dalam rangka mengakomodasi lebih banyak orang daripada kelas anggota baru mereka.

Matt dan Dara Osborn dari Spring, Texas, baru-baru ini menghadiri salah satu jamuan makan malam tersebut untuk belajar lebih banyak tentang masa lalu gereja itu dan harapannya untuk masa mendatang.

“Beberapa gereja berfokus pada pembangunan kembali dan yang lain sedang berlari ke depan,” kata Matt Osborn. “Houston Northwest Church sedang berlari ke depan. Pada era baru ini, membuka kembali seperti memulai dari awal.”

Osborn percaya bahwa masa transisi selama pandemi ini dapat mempersiapkan gereja untuk fase pertumbuhan yang baru di masa depan. Ia berkata, “Mungkin Tuhan menempatkan orang-orang di tempat di mana mereka diperlukan agar kerajaan-Nya bertumbuh di masa pasca-pandemi.”

Diterjemahkan oleh: Catharina Pujianto

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Our Latest

Inkarnasi Lebih dari Sekadar Palungan

Bagaimana seorang uskup Afrika kuno memperjuangkan kisah penebusan dalam inkarnasi.

Yusuf Adalah ‘Ayah Kandung’ Yesus

Saya tidak memerlukan ikatan biologis untuk menjadi ayah dari embrio yang saya dan istri adopsi.

Cover Story

Sisi Lain dari Natal

Dibutuhkan keberanian bagi Allah untuk menanggalkan kekuasaan dan kemuliaan-Nya serta mengambil tempat bagi-Nya di antara manusia.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube