Di ujung jalan itu, hanya beberapa meter di belakang gedung apartemen saya, gumpalan gas air mata memenuhi di sudut jalan. Ratusan pengunjuk rasa melarikan diri ke arah lain, mereka berusaha mencari tempat berlindung yang aman dari bentrokan yang tak terlihat oleh saya.
Terlepas dari kekalutan suasana itu, bukan gas air mata yang mengejutkan saya. Setelah tiga bulan di mana setiap minggu terjadi bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi di lingkungan saya, asap pedas yang menyengat di mata saya telah menjadi pengalaman yang biasa. Namun yang mengejutkan saya adalah seseorang.
Mata saya langsung tertuju padanya. Dia tidak berpakaian seperti pengunjuk rasa lainnya, yang ditutup dengan topeng dan payung layaknya para pengunjuk rasa garis depan. Dia tidak punya pelindung apa pun untuk melindungi dirinya dari serangan berbahan kimia. Dia diam berdiri, berhadapan dengan gelombang orang-orang yang bergegas pergi. Sementara semua orang melarikan diri ke arah lain, dia berdiri terpaku di tempatnya.
Awalnya saya berpikir ini adalah tindakan pembangkangan—yang menunjukkan keberanian perlawanan tanpa kekerasan. Namun saat saya berdiri memperhatikan dia, saya melihat mulutnya bergerak-gerak saat kepalanya berputar dari satu sisi ke sisi yang lain. Ekspresi di wajahnya bukanlah ketakutan atau kemarahan, melainkan keprihatinan. Dia berbicara kepada para pengunjuk rasa yang melarikan diri, tetapi dia tidak berusaha membuat mereka berdiri tegak dan melawan. Sebaliknya, dia tampak prihatin dengan kesejahteraan dan keberadaan mereka. Dia berdiri melawan arus, dengan mengorbankan keselamatannya sendiri, untuk menawarkan semacam kehadiran yang menenangkan. Postur tubuhnya tidak provokatif. Itu sangat pastoral.
Ketika saya melihat semua ini, saya merasakan adanya gerakan Roh Kudus yang tidak nyaman di dalam diri saya. Saya telah menjadi pendeta di Hong Kong selama 20 tahun, tetapi pria ini mewujudkan kekuatan gereja lebih dari yang pernah saya miliki. Seperti Kaleb dan Yosua yang berdiri di hadapan pendapat mayoritas dari mata-mata yang kembali, pria ini membawa semangat yang berbeda. Saya menyadari betul bahwa saya tidak demikian.
Gereja di Hong Kong berada pada titik infleksi bagi Injil. Bersamaan dengan pandemi global, kota kami telah mengalami pergolakan sosial dan politik yang lengkap dalam tiga tahun terakhir sebagai akibat dari berbagai unjuk rasa dan tanggapan Tiongkok dalam upayanya untuk memulihkan ketertiban. Banyak orang menyambut kembalinya kedamaian dan ketenangan di jalan-jalan, sementara banyak orang lainnya dibiarkan memar-memar dan berkonflik. Dan gereja kini harus memutuskan bagaimana menanggapinya.
Akankah kita menjadi suara pengharapan, iman, dan identitas yang berani dan sentral di tahun-tahun mendatang, yang dengan berani mengakarkan diri kita di tanah yang subur dari Injil? Atau akankah kita dengan lemah menyusut ke dalam bayang-bayang kekhawatiran dan merawat kepentingan diri kita sendiri? Akankah gereja menjangkau kota yang terpecah-belah, bersedia hadir memberikan penggembalaan dalam situasi yang paling sulit? Atau akankah kita menerima Injil yang nyaman yang membuat lampu di gedung gereja kita tetap menyala tetapi memadamkan cahaya kenabian kita di lapangan umum?
Dalam komunitas lokal saya di Hong Kong, jenis kekristenan setengah hati yang hanya mencari kemurahan Tuhan—tanpa ketaatan yang mau berkorban yang diperlukan untuk mengikuti Yesus—tidak lagi menjadi pilihan. Mungkin memang tidak pernah. Jika gereja di kota kita memiliki masa depan, maka gereja harus beralih dari mengejar hal-hal yang relevan menjadi mengejar ketahanan Injil yang baru yang ditempa dalam api perubahan sosial yang dramatis. Dan kita membutuhkan para pendeta, seperti pria yang berdiri di depan gas air mata di ujung jalan itu, yang mampu menawarkan harapan pastoral yang berani di masa politik yang menakutkan.
John Chan adalah salah satu pendeta yang tunduk pada panggilan ini. Lahir dan dibesarkan di Hong Kong pada tahun 80-an, ia belajar dari Karl Barth di Jerman sebelum kembali ke Hong Kong untuk mengejar karir pastoral dan akademis. Kini di usia 40-an, Chan menjadi seorang yang cerdas, menarik, sangat teologis, dan dengan berani mampu menghubungkan Kitab Suci dengan perubahan sosial dengan cara yang mengundang orang-orang untuk memproses pengalaman traumatis mereka. Dia bersedia berdiri di ujung jalan yang berbahaya itu saat gas air mata politik merayap di tikungan. Dia di sana menawarkan kehadiran pengharapan yang tidak berubah.
“Saya dibesarkan di masa Hong Kong yang luar biasa,” kata John saat kami duduk bersama sambil minum kopi. “Masa di saat budaya kuat, ketika kami semua memimpikan masa depan yang baik, ketika pemuda kota ini memiliki harapan dan keinginan. Begitu banyak yang telah berubah sekarang.”
Keprihatinan pastoral Chan untuk Hong Kong berpusat di sekitar orang dewasa muda di kota itu, sebuah generasi yang terjebak di antara kesuksesan kemakmuran mereka yang di atas 40-an dan keluguan mereka yang di bawah 20-an. “Generasi saya tumbuh dengan berfokus pada usaha mencari uang dan sebagian besar netral secara politik. Akan tetapi generasi saat ini jauh lebih terlibat dan peduli secara politik. Dan ini menghadirkan suatu lingkungan yang penting namun menantang bagi gereja.”
Hal ini terutama terlihat pada tahun 2014, tahun dimulainya gerakan Occupy Central. Menandai gerakan unjuk rasa mahasiswa yang pertama secara politik, para pemimpin kunci secara terbuka mengakui iman Kristen mereka. Sebagai seorang akademisi pada saat itu, Chan memperhatikan bagaimana murid-muridnya mencari lembaga-lembaga Kristen di kota itu untuk menawarkan bimbingan. “Seminar-seminari kita perlu beralih dengan cepat, dari pengajaran teologi politik ke pengajaran etika politik. Kami tiba-tiba membutuhkan praksis lebih dari teori.”
Kebutuhan akan praksis di masa perubahan sosial yang cepat ini pada akhirnya harus mengalir dari aula akademi ke mimbar gereja-gereja lokal, tetapi pergeseran seperti itu berlangsung lambat. Banyak pendeta tidak diperlengkapi untuk menangani isu-isu yang diciptakan oleh pergolakan politik. Seperti yang diamati Chan, “Sangat sedikit pendeta yang merasa mampu mengatasi persoalan-persoalan utama yang berdampak pada jemaat mereka, seringkali karena takut dicap terlalu politis. Jadi pada saat sesuatu yang signifikan sedang terjadi, mimbar gereja justru perlahan-lahan terputus dari umat.”
Diskonesi ini muncul lagi di musim panas 2019, saat gas air mata merayap di sudut jalan dekat tempat tinggal saya. “Dengan gelombang kedua unjuk rasa mahasiswa pada tahun 2019,” kata Chan, “gereja tampaknya hanya belajar sedikit dari yang terakhir kali, dan banyak kesalahan yang sama dibuat. Dan hal ini menyebabkan banyak anak muda meninggalkan gereja. Tidak meninggalkan Yesus, hanya meninggalkan gereja.”
Eksodus ini menggerakkan Chan untuk mendirikan sebuah gereja baru yang akan cukup fleksibel untuk merangkul orang Kristen generasi muda yang menginginkan Yesus dan keadilan sosial duduk berdampingan, sambil terus memperdalam Injil melalui pemuridan yang bersedia berkorban. Ia menyebutnya Gereja yang Mengalir (Flow Church), dan hanya dalam beberapa tahun gereja ini telah berkembang menjadi lebih dari 400 orang, kebanyakan dari mereka adalah orang dewasa muda.
“Flow Church ada karena orang Kristen Hong Kong memiliki tantangan unik yang berbeda dengan Barat,” katanya. “Masalah kami bukanlah hubungan antara gereja dan negara. Masalah kami adalah bagaimana hidup dalam masyarakat dengan ketidakseimbangan kekuasaan yang tidak proporsional.”
Ketidakseimbangan kekuasaan ini lebih dari sekadar mabuk pasca-kolonial. Seperti yang dikatakan Chan, “Kami memiliki situasi yang unik karena kerajaan kami adalah tanah air kami.” Situasi yang tidak dapat diubah inilah yang menyebabkan beberapa orang putus asa akan masa depan mereka, dengan semakin banyaknya orang yang memilih untuk beremigrasi dari Hong Kong. Akan tetapi bagi Chan, dia berdiri teguh pada satu perikop tertentu yang telah menjadi dasar dari pelayanan penggembalaannya yang diperbarui. “Yohanes 10:10 menjanjikan kita bahwa Yesus datang supaya kita dapat memiliki hidup yang berkelimpahan. Ini tidak tergantung pada tempat atau waktu tertentu, atau tahap tertentu dalam kehidupan. Terlepas dari betapa sulitnya situasi Hong Kong saat ini, saya percaya masyarakat kita dapat mengalami kepenuhan hidup dan sukacita.”
Visi kehidupan yang penuh inilah yang mendorong pelayanan Chan. Ia dan gerejanya menggali akar yang lebih dalam di tanah kota itu. Gerejanya rindu untuk hadir secara stabil dan pasti dalam pelayanan pastoral di tengah derasnya perubahan liar di sekitar mereka. Dan hal ini membutuhkan keberanian, pengorbanan, dan kekuatan yang tidak sedikit.
Sebagai seorang pendeta yang bersama Chan dalam pelayanan di kota ini, saya mendapati diri saya dihidupkan kembali oleh keberaniannya. Saya tidak ingin tetap berada jauh dari jalan, sebagai pengamat jarak jauh terhadap keberanian rohani orang lain. Seperti Chan, saya ingin bisa berdiri di antara mereka yang terluka dengan keteguhan hati meski mata saya pedih.
Semangat yang berbeda ini—seperti yang terlihat dalam kisah Kaleb dan Yosua serta teman saya John—inilah yang disebut dengan sepenuh hati terhadap Tuhan. Ini menyadarkan saya, karena saya merasa hati saya sendiri terbagi, terkoyak oleh ketakutan, melindungi diri sendiri, dan keprihatinan institusional. Saya membutuhkan hati yang baru untuk panggilan baru ini. Kulit anggur baru, boleh dikatakan. Dan itu selalu merupakan gerakan Roh Tuhan.
Seperti yang dikatakan seorang teman baru-baru ini, “Panggilan tersulit adalah panggilan pertama kita: mati bagi diri sendiri.” Seperti pria di ujung jalan itu, menatap gas air mata dan menawarkan kenyamanan kepada orang lain, kiranya kita mengambil sisi yang akan mati sehingga orang lain dapat mengambil sisi yang hidup.
Diterjemahkan oleh: Budi M. Winata