Segera setelah mereka mendengar bahwa seorang pria bersenjata menyerang sebuah gereja Taiwan di California pada hari Minggu, beberapa orang Taiwan dengan tepat mengasumsikan adanya motif politik.
Bentrokan antara keinginan Taiwan untuk merdeka dan untuk reunifikasi dengan Tiongkok memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan saat ini. Namun, di antara gereja-gereja diaspora di AS, masalah ini biasanya tetap ada di bawah permukaan.
Di jemaat-jemaat berbahasa Tionghoa, di mana orang-orang Kristen dari Tiongkok daratan beribadah bersama dengan orang-orang dari Taiwan dan Hong Kong, para pendeta biasanya menghindari perpecahan politik. Bahkan beberapa gereja yang didominasi orang Taiwan mungkin memiliki anggota-anggota jemaat yang memihak pada salah satu dari dua sisi tersebut.
Akan tetapi bagi sejumlah kecil jemaat yang lebih tua dan berbahasa Taiwan—seperti Irvine Taiwanese Presbyterian Church, di mana penembakan itu terjadi—lebih cenderung melihat masalah ini sebagai bagian penting dari latar belakang budaya dan teologi mereka. Meskipun gereja California Selatan termasuk bagian dari Gereja Presbiterian (AS), gereja ini juga memiliki hubungan yang erat dan mengakar dengan Gereja Presbiterian di Taiwan.
“Gereja Presbiterian di Taiwan adalah gereja yang mengadvokasi kemerdekaan Taiwan,” kata T.N. Ho, seorang Kristen Taiwan dan mantan penatua dari Northern California Bay Area Chinese Church. “Gereja-gereja Tiongkok lainnya tidak memiliki posisi yang jelas.”
Sebagai denominasi Kristen Protestan terbesar di pulau itu, Gereja Presbiterian di Taiwan telah lama memperjuangkan masyarakat dan budaya pulau itu—dimulai dari misionaris pada abad ke-19 yang mengutamakan untuk mempertahankan pemimpin dan tradisi lokal hingga pendirian politik gereja yang lebih mendukung demokrasi daripada pemerintahan nasionalis Tiongkok pada tahun 1970-an, ’80-an, dan ‘90-an. Simbol gereja adalah semak terbakar yang disaksikan oleh Musa: “terbakar namun tidak hancur.”
“Karena faktor sejarah ini, Gereja Presbiterian di Taiwan dapat disebut sebagai organisasi berbasis agama yang dibentuk oleh orang-orang yang berasal dari rakyat kecil di Taiwan dan anak-anak mereka,” tulis Mock Mayson, seorang kolumnis Taiwan . “Banyak gereja Presbiterian di luar negeri dibentuk oleh orang-orang Taiwan yang lolos dari tirani negara partai Tiongkok di masa-masa awal … dan mendukung gerakan kemerdekaan di Taiwan.”
AS adalah rumah bagi sekitar 697.000 orang Amerika keturunan Taiwan, dan sekitar setengahnya tinggal di California. Seorang reporter di Taiwan berkomentar di Twitter bahwa menargetkan gereja AS yang terdiri dari orang-orang Amerika keturunan Taiwan yang sudah lanjut usia, pada sebuah pertemuan ibadah, “sangatlah tidak masuk akal,” tetapi sejauh yang dapat diketahui para penyelidik pada saat ini, pria bersenjata itu melihat para korban sebagai orang-orang yang mewakili sikap politik yang sangat bertentangan dengan dia.
Tersangka pelaku penembakan, David Wenwei Chou, lahir dan dibesarkan di Taiwan tetapi menganggap dirinya sebagai orang Tionghoa. (Tiongkok saat ini mengklaim Taiwan sebagai wilayahnya.) Dia meninggalkan catatan dalam bahasa Tionghoa di mobilnya yang menyatakan bahwa dia tidak percaya bahwa Taiwan harus merdeka dari Tiongkok. Media sosial Tiongkok juga mengedarkan foto-foto Chou yang menunjukkan bahwa dia adalah pemimpin organisasi pro-unifikasi Tiongkok di Las Vegas.
Meskipun mereka terbiasa dengan konteks permusuhan seperti itu, orang-orang Kristen di pulau tersebut bingung dengan karakter dari tindakan kriminal Chou, yang menggemakan serangan teroris lainnya di AS. Dia membarikade pintu gereja dengan rantai, paku, dan lem. Dia datang dengan membawa sepasang pistol dan bom molotov, bersiap untuk menghabisi nyawa orang-orang.
“Masalah pengontrolan senjata di Amerika Serikat hampir tidak dapat dipahami oleh kami orang Taiwan yang tidak berada di Amerika Serikat,” kata Ray Peng, pelatih misionaris dan ketua We Initiative Taiwan, sebuah organisasi mobilisasi misi. “Hari ini, di Taiwan, jika rekan-rekan dengan spektrum politik yang berbeda ‘mengungkapkan pendapat mereka’ di suatu tempat dengan kubu ideologis yang berbeda yang mungkin saling bermusuhan, itu hanya akan menjadi konfrontasi verbal dan fisik. Namun hal ini tidak akan meningkat menjadi insiden internasional yang mematikan.”
Karena jemaat balik melawan untuk menaklukkan Chou, akhirnya hanya satu korban yang tewas di antara 30–40 orang yang ada, dengan lima orang lainnya terluka. Selain kesedihan atas tragedi tersebut, serangan ini telah membuat para pendeta memeriksa kembali peran polarisasi politik di gereja mereka sendiri.
Sebagai murid Yesus, “isu ‘penyatuan vs. kemerdekaan’ bukanlah fokus saya, juga tidak seharusnya menjadi fokus gereja,” kata penginjil Kris Wang, seorang keturunan Taiwan Amerika dan seorang penatua di Lansing Chinese Christian Church di Michigan. “Dalam menghadapi kekuatan militer Tiongkok yang terus mengancam keselamatan dan kebebasan rakyat Taiwan, saya dapat memahami bahwa banyak orang Taiwan memiliki mentalitas permusuhan terhadap Tiongkok. Tetapi sebagai seorang Kristen yang melayani gereja Tionghoa, panggilan saya melewati dan melampaui batas-batas politik.”
Namun tetap, realitas politik dan budaya terus mempengaruhi gereja-gereja diaspora. Generasi yang lebih baru dari para imigran kemungkinan besar datang dari Tiongkok daratan, sedangkan banyak dari orang yang telah tiba lebih dari 50-60 tahun yang lalu berasal dari Taiwan dan Hong Kong.
Selama dekade terakhir, ketegangan politik telah meningkat tajam antara Tiongkok daratan dan Taiwan. Konflik antara AS dan Tiongkok semakin memburuk, ketika presiden Taiwan Tsai Ing-wen menjalin hubungan lebih dekat dengan AS dan presiden Tiongkok Xi Jinping mengkonsolidasikan kekuatan dan memperkuat militernya.
“Di Gereja Tiongkok di Amerika Utara, memang ada konflik dan ketegangan di antara orang-orang dari kedua sisi selat Taiwan,” kata Gloria Huang, yang bekerja untuk media Kristen Tiongkok di AS. “Ini terkait dengan konsep Asia ‘menyelamatkan muka’ (oleh karena itu harus mau setuju dengan hormat dan kerelaan), dan itu berdampak pada struktur pengambilan keputusan gereja.”
Huang mengatakan bahwa beberapa gereja baru yang sebagian besar memiliki latar belakang dari Tiongkok daratan hanya ingin menerima pengkhotbah dari Tiongkok daratan, sementara beberapa orang Kristen Taiwan lebih suka beribadah dengan sesama orang Taiwan daripada dengan yang datang dari Tiongkok daratan karena hal ini dianggap sebagai cara untuk memprioritaskan kekhasan mereka.
Pendeta Albany Lee di Irvine Taiwanese Presbyterian Church menggambarkan jemaatnya dengan mengatakan, “Kami menggunakan bahasa dan budaya kami sendiri untuk menyembah Tuhan.”
Jocelyn Chung, seorang keturunan Taiwan-Amerika di California Selatan, menulis untuk USA Today tentang pentingnya memegang identitas sebagai orang Taiwan. “Kami berasal dari para tetua yang menanggung pembungkaman trauma selama puluhan tahun yang membentuk hidup mereka, yang menolak penghapusan bahasa dan berimigrasi ke tanah baru di mana mereka mewariskan harapan mereka yang tangguh itu kepada keturunan mereka,” katanya. “Kami membawa tempaan harapan, suara, rasa sakit, perlawanan, dan cerita mereka.”
Sebuah artikel CT baru-baru ini yang ditulis oleh Alex Tseng, seorang teolog yang menganggap dirinya “seorang Kristen dari Taiwan” tetapi bukan “seorang Kristen Taiwan,” membahas pentingnya Gereja Presbiterian di Taiwan dalam menginformasikan dan membentuk pandangan politik orang Kristen.
“Sebuah gereja yang hadir sebagai basis internal suatu bangsa memiliki tugas kenabian untuk memanggil masyarakatnya agar ‘berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati’ (Mi. 6:8),” tulisnya. “Presbiterian di Taiwan secara historis berdiri di garis depan untuk melawan tirani demi kepentingan sesama mereka yang non-Kristen.”
Tetapi Tseng memperingatkan terhadap “nasionalisme Kristen” atau agama sipil sebagai dasar solidaritas mereka.
Beberapa pemimpin Kristen Tiongkok menegaskan kembali kepada CT keinginan bagi orang percaya untuk mengatasi perpecahan atas reunifikasi atau kemerdekaan.
“Dengan antagonisme saat ini antara pro-Tiongkok dan pro-Taiwan, jika orang Kristen di dalam dan luar negeri dapat secara khusus menemukan beberapa titik temu persoalan yang konkret dan praktis tentang bagaimana meningkatkan suasana politik dan sosial ekologis dari pulau (Taiwan) itu serta membuat perencanaan untuk kerjasama dan perbaikan, daripada hanya sekadar berbicara tentang persatuan secara kosong,” kata penulis dan kolumnis Kristen Chris Hsiung, seorang warga California dari Taiwan, “mungkin kebencian dapat dikurangi dan hal itu dapat berfungsi sebagai titik awal untuk perdamaian dan toleransi.”
Peng memberi contoh: Sehari setelah tragedi di Irvine Presbyterian Taiwanese Church, para pendeta dari berbagai ras berkumpul di sebuah acara doa bersama di dekat Christ Our Redeemer Church.
“Ini adalah proklamasi persatuan komunitas Kristen yang paling konkret dan kuat,” kata Peng.
Orang Kristen lain dari Taiwan tidak percaya bahwa sangat mungkin untuk “memisahkan politik dari agama” secara penuh.
Pai Hsu Wen, seorang seminaris di Reformed Theological Seminary dari Taiwan, menunjukkan bahwa bagi orang Kristen, masalah “penyatuan vs. kemerdekaan” berkaitan dengan iman Kristen.
“Kebebasan beragama penting bagi gereja,” katanya. Dan “kendaraan politik di balik pilihan unifikasi atau kemerdekaan secara langsung berkaitan dengan nilai kehidupan manusia, kebebasan dan batasannya terhadap tindakan sosial dalam masyarakat, supremasi hukum, hak asasi manusia yang berbeda keyakinan, serta kesejahteraan masyarakat.”
Diterjemahkan oleh: Janesya S.
Wawancara untuk artikel ini dilakukan dalam bahasa Tionghoa dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
–