Meskipun memiliki sebuah daftar rahasia yang berisi lebih dari 700 pendeta pelaku pelecehan, para pemimpin SBC lebih memilih untuk melindungi denominasi mereka dari tuntutan hukum daripada melindungi jemaat di gereja mereka dari ancaman pelecehan lebih lanjut.
Para penyintas pelecehan, advokat mereka dan beberapa anggota SBC telah menghabiskan waktu lebih dari 15 tahun menyerukan cara-cara untuk mencegah predator seksual dipindahkan dari satu gereja ke gereja lainnya. Orang-orang yang mengontrol Komite Eksekutif (KE)–yang menjalankan aktivitas harian SBC–memahami lingkup permasalahan ini. Namun, setelah berkoordinasi dengan pengacara SBC, mereka memilih untuk memfitnah orang-orang yang ingin melakukan sesuatu terhadap masalah pelecehan tersebut dan selalu menolak segala permintaan tolong dari para korban dan upaya mereformasi gereja.
“Di balik layar, pengacara-pengacara tersebut menasihati para pemimpin untuk berdiam diri, bahkan ketika para pelapor berhasil menunjukkan pelaku-pelaku pelecehan yang masih berdiri di mimbar gereja SBC,” menurut laporan investigasi pihak ketiga berskala besar yang dirilis hari Minggu (22 Mei 2022).
Investigasi ini berpusat pada penyelidikan terhadap tanggung jawab anggota staf KE dan pengacara mereka serta sekitar ratusan pengurus KE yang sebagian besar tidak mengetahui tentang masalah tersebut. Penasihat Umum KE, Augie Boto, dan pengacara KE, Jim Guenther, menasihati tiga presiden KE sebelumnya, yaitu Ronnie Floyd, Frank Page, dan Morris Chapman, bahwa mengambil tindakan atas masalah pelecehan akan menimbulkan risiko terhadap tanggung jawab dan kebijakan SBC, dan hal ini membuat para presiden itu menentang reformasi yang diusulkan atas masalah tersebut.
Ketika seruan aksi baru muncul seiring dengan gerakan #ChurchToo dan #SBCToo, Boto menyebut advokasi bagi para penyintas pelecehan sebagai “upaya setan untuk sepenuhnya mengalihkan perhatian kita dari penginjilan.”
Sebaliknya, para penyintas pelecehan tersebut menunjukkan dampak kerusakan jiwa bukan hanya dari pelecehan yang mereka alami, tetapi juga dari respons para pemimpin di KE yang menghalang-halangi dan menghina-hina mereka selama lebih dari 15 tahun.
Christa Brown, seorang advokat yang pernah mengalami pelecehan seksual dari pendetanya pada usia 16 tahun, mengatakan “perjumpaannya yang tidak terhitung jumlahnya dengan para pemimpin gereja Baptis” yang memilih untuk menghindar dan tidak mempercayai dia, telah “meninggalkan warisan kebencian” dan mengomunikasikan bahwa “engkau adalah makhluk yang tidak berguna–engkau tidak penting.” Akibatnya, kata Brown, bukannya memberikan penghiburan, imannya justru menjadi “terhubung secara neurologis dengan mimpi buruk.” Dia menyebutnya sebagai “pembunuh jiwa.”
Korban lainnya, Debbie Vasquez, berulang kali mengalami pelecehan seksual oleh seorang pendeta SBC mulai dari usia 14 tahun. Ketika ia hamil akibat pelecehan itu, ia dipaksa untuk meminta maaf di depan jemaat namun dilarang untuk menyebutkan siapa ayah dari bayi tersebut. Pendeta itu kemudian diutus untuk melayani gereja SBC lainnya, dan ketika Vasquez menghubungi KE, permohonannya yang mendesak itu diabaikan dan dihindari selama bertahun-tahun hingga muncul laporan investigasi dari Houston Chronicle tiga tahun lalu.
Sementara itu, selama 20 tahun terakhir, para presiden SBC telah gagal memberi respons yang tepat terhadap masalah pelecehan di dalam gereja dan seminari mereka. Dalam beberapa kasus, para pemimpin itu justru lebih berpihak pada oknum pelaku dan gereja meski telah terbukti jelas atau berusaha menutup-nutupi perbuatan mereka. Para penyelidik bahkan menemukan salah satu mantan presiden–pendeta Johnny Hunt–telah melakukan pelecehan seksual terhadap istri dari rekan pendeta lainnya di tahun 2010.
Dalam pertemuan tahunan di Anaheim, California, bulan berikutnya, tepatnya setahun setelah mereka memutuskan untuk melakukan investigasi, ribuan anggota SBC akan menentukan apakah mereka siap untuk melakukan perubahan dramatis dan mahal sebagaimana yang direkomendasikan dari laporan tersebut demi kepentingan keamanan para penyintas dan gereja.
“Di tengah rasa duka, amarah, dan kekecewaan atas dosa besar dan kegagalan masa lalu yang dipaparkan dalam laporan ini, saya percaya bahwa SBC harus membuat keputusan untuk mengubah budaya kita dan segera mengimplementasikan reformasi gereja yang sangat dibutuhkan,” kata presiden SBC Ed Litton dalam pernyataannya kepada CT. “Sekaranglah waktunya. Kita memiliki banyak hal untuk diratapi, tetapi duka yang paling mendalam perlu disertai respons yang sesuai dengan kehendak Tuhan.”
Guidepost Solutions, sebuah firma investigasi pihak ketiga, menginginkan agar denominasi dengan jumlah anggota sebanyak 13,7 juta orang ini membuat basis data daring tentang para pelaku pelecehan, menawarkan bantuan untuk para penyintas, menolak perjanjian kerahasiaan, dan mendirikan sebuah entitas baru untuk merespons masalah pelecehan ini. Petunjuk-petunjuk dalam laporan setebal 288 halaman ini mirip dengan harapan para penyintas dan advokat mereka, yang telah menyerukan hal serupa selama ini.
“Berapa banyak anak dan jemaat yang bisa selamat dari kejahatan yang sangat mengerikan ini jika KE telah mengambil langkah nyata sejak tahun 2006 ketika saya menulis surat kepada mereka untuk menetapkan langkah konkret yang spesifik? Dan berapa banyak penyintas dapat selamat dari trauma berulang ketika melaporkan pelecehan seksual yang dilakukan pejabat gereja ke dalam sistem yang terus-menerus menolak?” tanya Brown dalam suratnya di tahun 2021. “Penolakan sekian lama dari Komite Eksekutif SBC untuk mereformasi gereja terkait pelecehan kini telah menghasilkan begitu banyak korban pelecehan seksual pendeta dan para penyintas yang mengalami trauma berulang dalam usaha mereka untuk melaporkan.”
Ketika mereka menunggu laporan itu dirilis, presiden sementara dari KE, Willie McLaurin, dan ketua KE Rolland Slade, mengutip kitab Pengkhotbah: “Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat” (12:14).
Para pemimpin yang sekarang mendorong SBC untuk menyikapi segala kabar buruk dengan penerimaan.
“Sekarang adalah waktu dan masa untuk melihat kekurangan kita, waktu untuk menerima laporan itu,” tulis mereka minggu lalu, “suatu waktu untuk membangun kembali rasa percaya jemaat SBC dan waktu untuk pulih dengan menghadapi tantangan yang ada melalui melakukan perubahan yang diperlukan.”
Investigasi terbesar dalam sejarah SBC
Laporan ini memakan biaya senilai 2 juta dolar, yang melibatkan 330 wawancara dan lima terabyte dokumen yang dikumpulkan selama lebih dari delapan bulan. Komite Eksekutif juga menganggarkan biaya 2 juta dolar lagi untuk biaya hukum seputar penyelidikan—menjadikan total investasi sebesar 4 juta dolar, yang dibiayai dari persembahan berbagai gereja dan konvensi untuk Cooperative Program.
Advokat bernama Rachael Denhollander, yang menjadi penasihat gugus tugas SBC untuk mengoordinasikan investigasi tersebut, mencuit bahwa “tingkat transparansi program ini … tak tertandingi.” Ini adalah investigasi terbesar dalam sejarah SBC; investigasi ini sudah mengubah tampilan dari KE dan dapat menentukan arah tujuan denominasi yang berusia 177 tahun itu.
Pemeriksaan Guidepost juga mencakup komunikasi hukum istimewa tentang pelecehan selama 20 tahun terakhir, sebuah ketentuan yang menyebabkan presiden KE Ronnie Floyd mengundurkan diri pada bulan Oktober dan firma hukum Guenther, Jordan & Price menarik layanan mereka terhadap KE setelah 60 tahun.
Menurut laporan tersebut, firma hukum ini telah secara aktif menasihati KE untuk tidak bertanggung jawab atas pelecehan yang terjadi. Guenther bekerjasama dengan Boto, seorang pengacara yang telah terlibat di KE mulai dari tahun 1990an hingga 2019, dan melayani sebagai anggota pengurus, wakil presiden, penasihat umum, dan presiden sementara. Ia adalah pendukung Paige Patterson selama program Conservative Resurgence. (Tahun lalu, Boto dilarang memegang jabatan apa pun di entitas Southern Baptist sebagai akibat dari penyelesaian hukum yang terkait masalah keuangan setelah Patterson dipecat dari seminari SBC karena salah menangani tuduhan pemerkosaan.)
Boto dan Guenther mengubah arah semua diskusi tentang tindak pelecehan menjadi diskusi untuk melindungi KE dari tuntutan hukum, dan menjadikannya prioritas utama, demikian menurut laporan tersebut.
“Ketika tuduhan pelecehan disampaikan ke Komisi Eksekutif, termasuk tuduhan terhadap enam pendeta yang masih aktif melayani, para pemimpin KE biasanya tidak akan mendiskusikan hal ini di luar lingkaran dalam mereka, dan seringkali tidak memberikan tanggapan kepada para korban dan tidak mengambil tindakan apa pun terhadap tuduhan itu untuk mencegah pelecehan serupa di masa depan,” demikian isi laporan tersebut. “Hampir semua tindakan yang diambil senantiasa berusaha untuk melindungi SBC dari tuntutan hukum dan tidak memedulikan para korban atau pun membuat rencana untuk mencegah pelecehan seksual terjadi lagi di gereja-gereja SBC.”
Southern Baptist Convention dengan bangga mengatakan bahwa SBC adalah sekelompok gereja mandiri. Mereka bergabung bersama untuk pekerjaan misi, persekutuan, dan pelatihan, tetapi konvensi ini tidak memiliki hierarki. Konvensi ini tidak menahbiskan atau menetapkan pendeta-pendeta, juga tidak memiliki otoritas atas 47.000 gereja yang telah memutuskan untuk mengadopsi pengakuan iman konvensi ini dan menyumbangkan dana untuk Cooperative Program.
Karena itu, ketika terjadi kesalahan di gereja atau entitas SBC, maka KE dapat dapat menolak untuk bertanggung jawab; karena gereja-gereja tersebut bersifat mandiri. Namun penasihat hukum berpendapat bahwa semakin sering para pemimpin denominasi mengarahkan gereja untuk menyelesaikan masalah pelecehan, maka semakin besar pula tanggung jawab mereka atas kekeliruan dan kesalahan penanganan masalah tersebut.
Kembali ke tahun 2000, laporan itu menyebutkan, Patterson melihat program pencegahan pelecehan sebagai cara untuk membela diri dari tuntutan hukum, sehingga ia kemudian memberitahu seorang pendeta bahwa gereja-gereja yang dapat mendokumentasikan “serangkaian usaha untuk mengedukasi orang-orang yang melayani anak-anak tentang bagaimana memperhatikan dan meresponi bahaya” tidak akan dapat dituntut di kemudian hari.
Sebagai presiden di seminari, baik Southeastern maupun Southwestern, Patterson mematahkan semangat dua orang wanita yang hendak melaporkan tuduhan pemerkosaan yang mereka alami. Ia kemudian dipecat dari Southwestern Baptist Theological Seminary pada tahun 2018 atas tindakan tersebut dan bersama dengan seminari itu, ia telah digugat oleh seorang mahasiswi dari seminari tersebut.
Rekan Patterson, Paul Pressler, seorang pengacara dan pimpinan selama gerakan_Conservative Resurgence_, juga menghadapi tuntutan hukum atas klaim bahwa ia menggunakan kekuasaannya untuk melecehkan anak-anak lelaki, dan sekaligus juga tuntutan terhadap SBC. (Baik Patterson maupun Pressler, mantan wakil presiden eksekutif SBC dan mantan anggota KE, menolak diwawancarai untuk investigasi tersebut, meskipun pengacara Patterson menyerahkan dokumen sebanyak dua halaman.)
Patterson dan rekannya yang juga mantan presiden SBC, Jerry Vines, juga sedang disoroti karena dukungan mereka sebelumnya terhadap Darrell Gilyard, seorang pendeta yang memiliki serangkaian tuduhan pelecehan seksual sejak tahun 90-an. Laporan itu mengutip perkataan seorang anggota KE yang dalam sebuah emailnya mengatakan ada 44 orang wanita melaporkan Gilyard kepada dua petinggi SBC tersebut, “dan hampir di semua kejadian, semua wanita itu dipermalukan dan tidak dipercayai. Dari semua laporan yang diterbitkan, sepertinya Gilyard berpindah-pindah dari satu gereja ke gereja lainnya dan merusak banyak jiwa dalam petualangannya.”
Pengacara Komite Eksekutif, Guenther dan Boto, telah mendiskusikan gagasan pembuatan basis data para pelaku pelecehan sejak tahun 2004, sebagai respons atas laporan Brown. Gagasan tersebut muncul lagi tahun 2007 setelah adanya mosi di pertemuan tahunan. Staf KE sendiri tidak menjalankan gagasan tersebut. Guenther menulis email bahwa ia khawatir “tentang tugas untuk memperingatkan, yang mungkin pengadilan pikir itu dimiliki oleh SBC.”
Namun, dengan bantuan juru bicara dan wakil presiden Roger “Sing” Oldham dan seorang staf KE yang tidak diketahui namanya, mereka membuat daftar tersebut. Atas permintaan Boto, staf tersebut mengumpulkan kliping berita dan melacak para pendeta pelaku pelecehan dalam sebuah daftar dengan nama, tahun, negara bagian, dan denominasinya. Versi pertama daftar itu di tahun 2007 memuat 66 orang pendeta yang ditahan atau dituntut dengan tuduhan pelecehan. Pada tahun 2022, daftar itu semakin membesar dengan total 703 nama, dengan 409 orang yang masih bertugas di gereja-gereja SBC.
Serangkaian laporan Houston Chronicle 2019, yang memicu perhatian baru seputar respons dan pencegahan pelecehan, mengungkap 380 pendeta yang berafiliasi dengan SBC dituduh melakukan pelecehan seksual.
Bahkan ketika daftar rahasia tentang para rohaniwan yang kejam itu bertambah, para pemimpin KE memusatkan kritik mereka kepada para penyintas dan advokatnya. Mereka mengeluhkan bahwa para penyintas tidak memahami kebijakan SBC dan malah mengincar denominasi itu. Patterson menyebut kelompok advokasi SNAP (Survivors Network of the Abused by Priests) “sama tercelanya dengan penjahat seks.” Seorang anggota KE mengatakan bahwa Brown, yang menjalankan portal StopBaptistPredators.org, di mana dia menampilkan kisah-kisah para penyintas dan memposting laporan publik tentang para pendeta pelaku pelecehan, adalah “seseorang yang tidak memiliki integritas.”
Boto melihat Iblis bekerja dalam upaya mereka. Dalam sebuah email yang diperoleh Guidepost, ia menulis:
Semua ini harus dilihat apa adanya. Ini adalah rencana setan untuk benar-benar mengalihkan perhatian kita dari upaya penginjilan. Ini bukanlah Injil. Ini bahkan bukan bagian dari Injil. Ini adalah permainan yang membuat salah arah. Ya, Christa Brown dan Rachael Denhollander telah jatuh dalam prasangka buruk karena mereka merasa menjadi korban. Mereka telah berupaya menyelidiki pelecehan seksual di SBC, dan tentu saja, mereka menemukannya. Teriakan mereka tentu saja mengakibatkan kerusakan. … Tetapi mereka tidak bisa disalahkan. Ini adalah kesuksesan sementara dari si Iblis.
Menurut seorang anggota staf KE yang tidak disebutkan namanya, “hampir di setiap kejadian di masa lalu ketika para korban datang kepada mereka yang berkuasa di SBC, mereka telah dijauhi, dipermalukan, dan difitnah. Di Komite Eksekutif, kami telah mewarisi budaya menolak orang-orang yang mempertanyakan kekuasaan atau yang menuduh para pemimpin.”
Namun, para pemimpin kunci dari Southern Baptist tidak hanya mengingkari dan menghina para penyintas. Dalam beberapa kasus, mereka justru memihak kepada para pelaku yang telah dihukum atau mengaku, dan bahkan membantu mereka secara pribadi.
Laporan tersebut mencakup beberapa contoh:
- Mike Stone, mantan pemimpin KE dan salah seorang kandidat pemilihan presiden SBC 2021, membantu menuliskan permintaan maaf seorang rekan pendeta setelah pendeta itu didapati bertukar pesan-pesan tak senonoh dengan salah seorang anggota gerejanya di tahun 2019. Stone menyatakan bahwa ia “tidak pernah dan tidak akan pernah mendukung gereja yang mempertahankan seorang pendeta pelaku pelecehan” dan bahwa ia tidak pernah mendengar adanya tuduhan terhadap pendeta itu sebelum ia ditanya terkait hal itu dalam investigasi Guidepost.
- Augie Boto berperan sebagai saksi yang meringankan bagi seorang pelatih olahraga senam Nashville, Marc Schiefelbein, yang dituntut pada tahun 2003 setelah melecehkan seorang gadis kecil berusia 10 tahun.
- Jack Graham, presiden SBC dari tahun 2002 hingga 2004, tidak melaporkan seorang pengerja bidang musik yang dipecat pada tahun 1989 setelah Prestonwood Baptist Church mengetahui bahwa dia mencabuli seorang anak. Pengerja itu pindah melayani di gereja lain dan dihukum karena kejahatannya di Prestonwood Baptist Church lebih dari 20 tahun kemudian. (Gereja itu “dengan tegas menyangkal cara laporan tersebut menggambarkan insiden 33 tahun yang lalu,” kata pendeta utama saat ini, Mike Buster, dalam sebuah pernyataan. “Prestonwood tidak pernah melindungi atau mendukung pelaku, pada tahun 1989 atau kapan pun.)
- Steve Gaines, presiden SBC dari 2016 hingga 2018, mengetahui bahwa sebelumnya seorang staf pelayan di gerejanya, Bellevue Baptist, telah melecehkan seorang anak kecil tetapi tidak pernah mengungkapkannya sampai info tersebut muncul di sebuah blog.
Laporan investigasi tersebut juga menemukan contoh kasus di mana para pemimpin KE sendiri telah melewati batas moral:
- Frank Page, presiden KE, mengundurkan diri secara tiba-tiba pada Maret 2018. Pernyataan resminya menyebutkan bahwa pengunduran diri itu karena suatu “hubungan yang tidak pantas secara moral.” Komite Eksekutif tidak menyelidiki apakah itu konsensual atau tidak, dan mereka juga tidak memeriksa “apakah perilakunya dilakukan di tempat kerja atau tidak.”
- Johnny Hunt, presiden SBC dari 2008 hingga 2010, menggerayangi dan mencium istri seorang pendeta yang lebih muda, sebulan setelah masa jabatannya sebagai presiden KE berakhir dan mengatakan kepada pasangan itu untuk merahasiakannya.
Pelecehan seksual yang dilakukan Hunt tidak pernah dilaporkan sebelumnya. Wanita tersebut dan suaminya, seorang pendeta SBC, mendatangi Guidepost selama penyelidikan untuk menceritakan apa yang terjadi. Hunt, mantan pendeta First Baptist Church Woodstock di Georgia, pernah menjadi Wakil Presiden senior di Dewan Misi Amerika Utara SBC sebelum mengundurkan diri pada 13 Mei. Southeastern Baptist Theological Seminary sendiri memiliki sebuah jabatan kehormatan yang dinamai sesuai namanya sebagai penghormatan kepada Hunt.
Menurut pengakuan pasutri tersebut, mereka 24 tahun lebih muda dari Hunt, yang menawarkan untuk membantu mereka dalam pelayanan. Pada satu momen ia mengatur tempat bagi wanita itu untuk menginap selama kunjungan ke Panama City Beach, tempat Hunt menghabiskan masa sabatikalnya. Hunt kemudian masuk ke ruangan di mana perempuan itu sendirian dan melakukan penyerangan seksual terhadapnya, melepaskan pakaiannya, menjepitnya di sofa, menggerayangi dan menciuminya.
Setelah insiden Juli 2010, pasangan tersebut bertemu dengan Hunt di gerejanya. Hunt memperingatkan bahwa jika mereka mengungkapkannya, hal itu akan “berdampak negatif terhadap 40.000 gereja yang direpresentasikan oleh Dr. Hunt” dan ia mengarahkan mereka kepada konselor Roy Blankenship dari HopeQuest Ministry Group. Blankenship mengonfirmasi bahwa sesuatu telah terjadi antara wanita tersebut dan Hunt. Ia juga memberitahu para penyelidik bahwa Hunt seharusnya menjadi orang yang pertama menghentikan insiden itu, namun “kedua belah pihak perlu terlibat dalam memutuskan.”
Dalam sebuah wawancara dengan Guidepost, Hunt membantah menyerang wanita itu dan mengatakan bahwa dia bahkan tidak pernah memasuki kondominiumnya. Penyelidik Guidepost menemukan tiga saksi tambahan untuk menguatkan kesaksian wanita itu dan suaminya. Mereka tidak menganggap pernyataan Hunt kredibel.
Hunt sebelumnya telah bergaul dengan apologet Ravi Zacharias dan menjadi tamu istimewa pada pembukaan spa di tahun 2009 di mana Zacharias melecehkan para terapis pijat. Tahun lalu, Hunt mengecam pelecehan yang dilakukan Zacharias, dengan menggambarkannya sebagai “dosa … terhadap begitu banyak wanita yang tak bersalah.”
Para utusan mendukung reformasi
Mengikuti gerakan #MeToo, para penyintas SBC menarik perhatian besar dari media berita.
Pada tahun 2018, Jules Woodson, yang mengalami pelecehan seksual oleh pendeta kaum mudanya, mengatakan kepada The New York Times bagaimana rasanya melihat sebuah gereja bertepuk tangan untuk orang itu setelah dia secara samar-samar mengakui “insiden pelecehan seksual.” Pada tahun yang sama, Megan Lively memberi tahu The Washington Post_ bagaimana Paige Patterson menyuruhnya untuk tidak melaporkan pemerkosaannya ke polisi. Pada tahun 2019, investigasi Chronicle berhasil mendata lebih banyak penyintas.
Akibatnya, Southern Baptists membuka suara dan mengambil tindakan. Para utusan pada pertemuan tahunan mengadopsi resolusi-resolusi yang menegaskan martabat perempuan dan mengutuk tindakan pelecehan. Mereka memutuskan untuk mengubah peraturan mereka dengan secara eksplisit menyebut pelecehan sebagai alasan pemecatan dari SBC. Mereka juga menugaskan sebuah komite untuk membuat rekomendasi jika ada gereja yang melanggar.
Pada tahun 2018, mereka juga memilih seorang presiden yang menjadikan penanganan kasus pelecehan sebagai bagian utama dari agendanya. Di bawah kepemimpinan J. D. Greear, SBC memperkenalkan pelatihan seputar pencegahan dan penanganan pelecehan, yaitu Caring Well Initiative, dan mengadakan konferensi untuk mendengar dari para penyintas, pakar, dan pendeta.
Namun menurut laporan Guidepost, hampir semua upaya ini dikritik dan ditentang oleh beberapa pemimpin tertentu dari KE, yang mengatakan bahwa memprioritaskan masalah pelecehan dapat menyebabkan tuntutan hukum.
Terkadang, perpecahan itu terlihat jelas dari luar: Greear sebagai presiden SBC menyebut pelecehan 81 kali selama pidatonya di sidang tahunan, sementara Floyd sebagai presiden KE tidak menyebutnya sebagai prioritas dalam rencana Visi 2025-nya.
Di balik layar, laporan Guidepost menunjukkan bahwa penasihat hukum Komite Eksekutif menyarankan orang-orang untuk meredam isu ini. Mereka menekan Komisi Etika & Kebebasan Beragama (Ethics & Religious Liberty Commission/ERLC) untuk tidak menyebut masalah pelecehan seksual di SBC sebagai krisis dan menghindari “bahasa yang menghasut” seperti mengatakan bahwa denominasi telah gagal membantu para penyintas. Para anggota KE juga berusaha menyensor kritik terhadap penanganan kasus pelecehan SBC dan mencela segala upaya yang memungkinkan para penyintas dan pakar masalah pelecehan untuk berbicara di acara-acara SBC.
“Saudara sekalian, hal ini tidaklah baik sama sekali,” tulis Floyd dalam salah satu email yang diperoleh penyelidik. “Kita tidak bisa membiarkan entitas SBC menempatkan orang-orang di mimbar dan mempersoalkan tentang cara kerja SBC dan beberapa pemimpin serta mantan pemimpinnya [sic]. Semua upaya demi kesatuan pasti akan mengalami tantangan.”
Berbagai perseteruan dan ancaman di internal SBC ini kemudian diketahui publik setahun yang lalu dalam surat-surat dan rekaman yang bocor, yang merekam komunikasi dari mantan pemimpin ERLC Russell Moore (sekarang menjadi seorang teolog tetap di CT) dan Philip Bethancourt. Dokumen-dokumen tersebut menjadi peringatan yang menyadarkan para pendeta, yang memperlihatkan upaya-upaya para pemimpin KE untuk mengintimidasi para penyintas dan menolak reformasi. Mereka mengajukan tuntutan untuk penyelidikan terhadap KE.
“Kami sangat terkejut,” ungkap Grant Gaines, seorang pendeta Tennessee yang membuat mosi untuk menyelidiki KE, mengatakan kepada CT tahun lalu. “Kita seharusnya tidak berbuat demikian. Para penyintas ini, cerita mereka ada di luar sana.”
Satu kisah yang telah diketahui publik adalah kisah Jennifer Lyell. Ia dilecehkan oleh seorang profesor seminari, tetapi dalam sebuah artikel Maret 2019 di Baptist Press, yang diterbitkan KE, menggolongkan pelecehan yang ia alami sebagai perselingkuhan. Pada saat publikasi, Lyell adalah seorang pemimpin Lifeway dan salah seorang petinggi wanita di SBC. Validitas kesaksiannya didukung oleh presiden Southern Seminary Al Mohler.
Lyell akhirnya meninggalkan pekerjaannya dan menderita tekanan fisik dan mental sebagai akibat dari berita tersebut dan lamanya waktu yang diperlukan untuk mengoreksi kisah tersebut serta upaya restitusi.
Dalam sebuah tulisan di Twitter setelah laporan itu rilis, Lyell menjelaskan bahwa ia harus menunggu redanya ketegangan antara KE, yang mengatur koreksi terhadap artikel tentang dirinya dan yang sedang waspada tentang bagaimana tokoh SBC lainnya berbicara tentang masalah pelecehan tersebut, dengan para pemimpin dari entitas lain, yang mempercayai kesaksiannya namun mungkin akan menghadapi pembalasan karena telah berani bersuara.
Ia menerima permintaan maaf dari Komite Eksekutif pada Februari 2022 dan penyelesaian masalah secara tertutup. Para pemimpin KE, menurut Guidepost, tidak mengetahui bahwa ia telah mengajukan klaim pencemaran nama baik dan sebelumnya telah menerima penyelesaian masalah pada Mei 2020 juga.
Hannah Kate Williams juga menggugat KE karena kelalaian dalam menanggapi pelecehan oleh ayahnya sendiri, yang pernah bekerja di entitas SBC, serta atas dugaan upaya untuk memfitnahnya saat dia mengumumkan kasusnya ke publik.
Para pengacara KE mengkritik Greear karena berulang kali menyebutkan nama 10 gereja yang dilaporkan dalam penyelidikan Houston Chronicle karena mempekerjakan pendeta yang menjadi pelaku pelecehan dan meminta sub-komite KE untuk memeriksanya. Guenther mengatakan bahwa mereka akan dituntut atas pencemaran nama baik dan diminta untuk membersihkan nama baik gereja. Boto menelepon salah satunya untuk meminta maaf.
Beberapa bulan kemudian, Boto menentang pembentukan komite kredensial, yang akan meneliti apakah sebuah gereja telah melanggar kriteria seputar masalah pelecehan atau masalah lain yang dapat membuat gereja tersebut “tidak lagi berada dalam kerja sama yang baik” dengan SBC.
Komite kredensial ini, yang dibentuk ulang untuk tujuan baru pada tahun 2019, juga membuat para penyintas menjadi frustrai karena membingungkan dan tidak efisien, menurut Guidepost. Komite ini tidak memiliki pedoman yang tertulis, tidak ada pelatihan, dan tidak ada staf penuh waktu yang mendukung.
Karena komite ini memiliki ruang lingkup yang terbatas dalam kewenangannya, berdasarkan kebijakan SBC, maka komite tersebut tidak mampu menyelesaikan kesalahan langkah yang dilakukan gereja di masa lalu, juga tidak bisa melakukan investigasi untuk menentukan bersalah atau tidaknya seorang pendeta, melainkan sifatnya hanya tanggapan gereja saja. Akibatnya, dibutuhkan rata-rata sembilan bulan untuk membuat keputusan—dan beberapa bahkan tidak pernah mendapat tanggapan sama sekali. Beberapa pengajuan tidak berhasil masuk ke situs web yang lamban, yang diperlukan komite untuk memeriksa keanggotaan gereja.
Dalam tiga tahun terakhir, komite memproses 30 pengajuan dan hanya mengeluarkan 3 gereja dari entitas ini atas kasus pelecehan. Dalam setiap kasus, pelanggarannya sangat jelas dan mengerikan: Gereja dengan sengaja mempekerjakan seorang pelaku pelecehan seksual yang sudah mereka ketahui sebelumnya. Komite ini tidak memberikan pernyataan publik terhadap hasil dari 27 pengajuan kasus lainnya, menurut catatan dalam laporan baru-baru ini. Para penyelidik Guidepost menemukan bahwa lima gereja secara sukarela mengundurkan diri dan satu lagi dibubarkan selama peninjauan komite kredensial tersebut.
Entitas yang baru dan rekomendasi lainnya
Gugus tugas yang mengawasi dan merilis investigasi KE melihat keluhan publik sebagai langkah pertama dalam menanggapi penyelidikan. Mereka juga meminta agar SBC memutuskan untuk membentuk gugus tugas baru yang dapat mengevaluasi bagaimana menerapkan perubahan yang direkomendasikan sesuai dengan kebijakan SBC.
Laporan ini menganjurkan 30 halaman rekomendasi untuk KE dan komite kredensial, termasuk:
- Membuat entitas yang permanen untuk mengawasi respons dan pencegahan pelecehan seksual.
- Meluncurkan “sistem informasi pelaku”, sebuah basis data secara daring di mana gereja-gereja dapat berpartisipasi secara sukarela dalam melaporkan pelecehan yang sudah terbukti maupun yang masih tersamar.
- Menerbitkan sebuah daftar gereja-gereja yang dihentikan keterikatannya dengan SBC dan individu-individu yang penahbisannya atau gelarnya dicabut.
- Memfasilitasi program-program untuk membantu para penyintas dan memberikan kompensasi dari persembahan SBC untuk menutupi biaya bantuan medis dan psikologis.
- Menyatakan permintaan maaf kepada para penyintas dan mendirikan tugu peringatan, menambahkan acara peringatan Survivor Sunday ke dalam kalender SBC.
- Melarang adanya perjanjian kerahasiaan, kecuali jika diminta oleh korban.
- Membuat kode etik bagi para pekerja SBC atau bagi mereka yang ingin masuk ke seminari.
- Mempekerjakan kepala petugas kepatuhan (chief compliance officer) atau petugas etika dan kepatuhan (ethics and compliance officer) untuk staf KE.
“Kita harus memutuskan untuk memberikan waktu dan sumber daya kita bukan hanya untuk merawat para penyintas pelecehan seksual dengan baik, melainkan juga untuk membangun budaya akuntabilitas, transparansi, dan keamanan seiring kita melangkah maju,” demikian ungkap gugus tugas itu dalam sebuah pernyataan yang dirilis bersama dengan laporan tersebut.
“Kami mengakui bahwa setiap langkah pertobatan membutuhkan ketaatan dan pengorbanan yang berkelanjutan, dilakukan dengan sengaja, dan berdedikasi. Ini adalah panggilan dari Juruselamat kita untuk bersatu sebagai satu tubuh dalam mengikut Dia.”
Christa Brown, penyintas dan advokat pelecehan, mengatakan dalam kesaksiannya kepada Guidepost bahwa dia tidak berharap ada perubahan yang berarti, tetapi ia tetap mendoakan agar laporan itu “dapat memberi sedikit rasa keadilan.”
“Southern Baptist Convention memiliki kewajiban moral untuk melindungi nyawa, tubuh dan kemanusiaan anak-anak serta jemaat di gereja-gereja yang berafiliasi dengannya, untuk memberikan pemeliharaan dan validasi bagi SEMUA yang telah dilecehkan secara seksual oleh pendeta SBC,” tulisnya, “untuk memastikan pertanggungjawaban para pelaku pelecehan dan orang-orang yang mendukungnya, serta untuk menciptakan sistem yang dapat menjamin bahwa kejahatan yang tidak manusiawi ini tidak akan bertahan hingga generasi mendatang.”
Diterjemahkan oleh: Joseph Lebani
–