Minggu ini (akhir Maret 2022) di Sydney, pendiri dan pendeta senior dari gereja raksasa Hillsong, yaitu Brian Houston, mengundurkan diri sehubungan dengan kasus pengadilan yang tertunda dan adanya tindak lanjut pengungkapan pelanggaran pastoral.
Kasus pengadilan tersebut berkaitan dengan dugaan terhadap Houston yang menyembunyikan pelecehan seksual yang dilakukan ayahnya terhadap seorang anak laki-laki di Selandia Baru pada tahun 1970-an. Meskipun Houston telah mengeluarkan ayahnya dari pelayanan, melaporkan ke otoritas denominasinya, dan secara terbuka mengakui bahwa pelecehan itu terjadi, polisi negara bagian New South Wales mengklaim bahwa Houston “mengetahui informasi yang berkaitan dengan pelecehan seksual terhadap seorang pria muda pada tahun 1970-an dan tidak menindaklanjuti kasus tersebut ke polisi.”
Sidang kasus tersebut telah dijadwalkan pada Oktober tahun ini.
Baru-baru ini, dewan global Hillsong menulis sebuah surel kepada para anggota mengenai dua pengaduan terhadap Houston. Yang pertama, yang terjadi sepuluh tahun lalu, “melibatkan pesan teks yang tidak pantas dari Pendeta Brian [Houston] kepada seorang staf, yang kemudian mengakibatkan staf tersebut mengundurkan diri.” Tindakan ini dijelaskan sebagai akibat ketidaksengajaan dari Houston yang sedang “berada di bawah pengaruh obat tidur.”
Keluhan kedua terjadi pada tahun 2019 ketika Houston mengetuk pintu sebuah kamar hotel yang berpenghuni seorang wanita dan menghabiskan waktu yang cukup lama di kamar tersebut. Mirip dengan kasus lain, perilakunya dijelaskan sebagai akibat negatif dari obat anti-kecemasan yang tercampur dengan alkohol dalam tubuhnya.
Hillsong telah berdampak signifikan secara internasional dengan mendirikan gereja di seluruh dunia dan membawa Pentakostalisme ke era digital. Tetapi seiring dengan kesuksesannya, datanglah godaan untuk melakukan apa saja demi menjaga "mesin" tetap berjalan, melindungi para pelayan dan pelayanannya, serta menjaga aliran uang tetap mengalir—sekalipun itu berarti menutup mata terhadap tingkah laku yang sembrono atau memberi pembelaan terhadap hal yang tidak dapat dimaafkan.
Bagian yang menurut saya mengecewakan adalah penjelasan atas tindakan Houston. Obat-obatan memang dapat mempengaruhi keadaan mental seseorang, tetapi hal itu bukanlah sebuah pembenaran untuk perilaku yang tidak pantas. Alasan-alasan ini terdengar tidak masuk akal, terutama bagi para korban pelecehan seksual.
Satu masalah nyata, yang dicatat dengan tepat oleh dewan Hillsong, adalah bahwa “model pemerintahan Hillsong secara historis telah menempatkan kontrol yang signifikan di tangan pendeta senior.” Membebani satu orang dengan otoritas bukanlah indikasi dari sebuah budaya kepemimpinan yang sehat. Karena itu, sebaiknya kita merenungkan model tata kelola gereja dan gaya kepemimpinan mana yang lebih kondusif untuk transparansi dan akuntabilitas.
Seperti yang disarankan oleh pakar Alkitab Andy Judd, kita harus selalu bertanya, “Di mana kekuasaan didistribusikan? Bagaimana keputusan dibuat dan ditinjau? Dan apa yang terjadi selanjutnya ketika seorang pemimpin dipaksa untuk pindah?”
Tetapi yang lebih penting dari struktur kepemimpinan adalah karakter orangnya. Kualifikasi biblikal bagi seorang pastor tidak bergantung pada banyaknya klik, unduhan, penjualan buku, pendapatan, jadwal konferensi, jumlah jemaat yang hadir di gereja, atau berapa banyak selebritas yang menghadiri gereja Anda.
Sebaliknya, kualifikasi biblikal menuntut seorang pastor untuk “tak bercacat” dan “dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang lain, bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, bukan hamba uang” (1Tim. 3:2–3). Yesus mengajarkan bahwa “yang terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Mat. 23:11-12).
Sewaktu saya di seminari, saya bergabung dengan sebuah gereja yang mempercayai Alkitab dengan luar biasa, dan ketika saya sedang dipertimbangkan untuk ditempatkan sebagai rohaniwan magang, saya bertemu dengan salah satu pendetanya. Setelah mengenali saya beberapa waktu, dia optimis tentang potensi saya tetapi dengan bijaksana mewaspadai karakter saya.
Ia berkata, “Saya tahu Anda berbakat, tetapi saya tidak tahu apakah Anda saleh.” Kata-kata itu terus melekat pada diri saya sejak saat itu.
Ada perbedaan—yang besar—antara menjadi berbakat dan menjadi saleh. Ini adalah perbedaan antara pertunjukan yang dapat Anda tampilkan dan keinginan yang Anda simpan di hati Anda, antara apa yang Anda lakukan di atas panggung dan apa yang Anda lakukan ketika tidak ada orang yang memperhatikan Anda.
Peristiwa-peristiwa di sekeliling Houston adalah pengingat bahwa dunia kalangan Injili membutuhkan pemimpin yang menunjukkan karakter seperti Kristus, bukan hanya dipercaya publik; yang menumbuhkan murid-murid Kristus, bukan penjilat; yang melihat diri mereka telanjang di hadapan Kristus, tidak berjubah dalam prestise dari platform mereka. Kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang tahu bahwa ketika kesuksesan menjadi berhala, sikap menutup-nutupi menjadi sakramen.
Michael Bird (PhD dari University of Queensland) adalah dekan akademik dan dosen Perjanjian Baru di Ridley College di Melbourne.
Diterjemahkan oleh: Vika Rahelia
–