Books
Review

Tuhan Menyukai Doa yang Gigih

Ia tidak tersinggung ketika kita meminta, meminta, dan meminta lagi.

Christianity Today November 3, 2021
Rawpixel / Envato Elements

Setiap minggu penuh dengan krisis—di dunia, di gereja, dan sering kali dalam keluarga kita sendiri. Wajar bagi kita untuk bertanya-tanya: Bagaimana seharusnya saya mendoakan hal-hal tersebut? Sebagai orang Kristen, kita bermimpi memiliki kehidupan doa yang khusyuk, berbuah, dan mengatasi berbagai kesulitan. Tetapi terlalu sering kita akhirnya menyesali doa-doa yang tidak kita panjatkan dan bertanya-tanya apakah Tuhan kecewa dengan kurangnya semangat rohani kita.

Just Ask: The Joy of Confident, Bold, Patient, Relentless, Shameless, Dependent, Grateful, Powerful, Expectant Prayer (Helping Christians to pray so that it is a delight, not a duty.)

Untuk pendoa yang cemas atau ragu-ragu, judul dua kata yang tajam dari buku terbaru J.D. Greear Just Ask— menawarkan kepastian sekaligus nasihat. Kata pertama just (hanya) menyampaikan kesederhanaan doa seperti doa anak-anak. Jangan khawatir tentang apakah Anda mengungkapkannya dengan benar atau tidak, kata Greear, yang adalah seorang pendeta di Carolina Utara dan mantan presiden Southern Baptist Convention. Berdoalah saja.

Subjudul buku ini menggambarkan sikap-sikap yang, menurut pendapat Greear, seharusnya melambangkan pendekatan kita terhadap doa: percaya diri, berani, sabar, tak kenal lelah, tak malu, bergantung, penuh syukur, penuh kuasa, dan penuh harap. Namun terlepas dari nada optimis kata-kata ini, Just Ask bukanlah basa-basi ringan di mana kita tinggal menyebutkan dan mengklaim keinginan kita, dan Greear berusaha keras untuk memberikan alasan mengapa Tuhan mungkin menolak untuk menjawab sebuah doa.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Buku ini berisi tujuh bab yang disusun menjadi dua bagian. Greear memulai dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Sejujurnya, apakah doa ada gunanya?” dan “Tetapi serius, mengapa Tuhan tidak menjawab saya?” Kemudian Greear membahas lebih praktis, memetakan berbagai hal yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Dan dia menutup buku dengan sepuluh saran yang lugas.

Pada awalnya, pembaca mungkin tersentak ketika Greear menusuk mereka dengan klaim bahwa “secara naluriah kita semua berdoa dengan cara yang salah.” Tetapi dia melunakkan sengatannya dengan cara memposisikan dirinya sendiri di antara para pembacanya yang terdakwa. Mengambil wawasan dari figur-figur berotoritas seperti Augustine, G.K. Chesterton, Charles Hodge, Tim Keller, J.I. Packer, John Piper, dan para penulis alkitabiah lainnya, Greear menuntun kita memahami dasar-dasar doa dan memotivasi kita untuk memulainya.

Greear mendorong para pembaca untuk meresponi Yesus secara serius ketika Ia berkata, “Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 15:5). Meskipun meminta bukan satu-satunya komponen doa, kita tetap perlu meminta. Bagaimana kita dapat menghindari kekecewaan yang ditimbulkan oleh diri sendiri karena kita menyerah terlalu cepat? Solusinya sederhana, kata Greear—teruslah meminta! Mereka yang adalah anak-anak Allah, diadopsi ke dalam keluarga-Nya melalui penebusan darah Kristus, memiliki segala alasan untuk berani mendekati (dan mendekati lagi) takhta kasih karunia.

Meskipun buku Just Ask berfokus pada satu aspek iman (doa), buku ini pada akhirnya membahas totalitas iman dan hubungan seseorang dengan Tuhan secara umum. Greear terus-menerus menyampaikan tema ini: “Tuhan memberi beberapa hal sebagai tanggapan atas doa yang terus-menerus, sabar, tak kenal lelah, lancang, berani, gigih tanpa malu-malu.” Dengan menjelaskan bahwa “Tuhan dimuliakan melalui ketekunan kita,” ia meyakinkan kita bahwa permohonan kita yang berulang-ulang menunjukkan “bahwa Tuhan adalah satu-satunya tempat [kita] harus datangi.”

Secara keseluruhan, buku Just Ask bersifat persuasif, menarik, dan sering kali menyatakan kesalahan kita. Walaupun demikian, buku ini terkadang menjadi mangsa dari hal yang menurut saya merupakan dikotomi palsu. Saya akan meminta Greear, misalnya, untuk menambahkan beberapa nuansa pada evaluasi diri yang disebutnya “Tes Asam”: yaitu, tindakan menanyakan apakah kita datang kepada Tuhan karena Dia indah atau karena kita ingin mendapatkan sesuatu, seolah-olah dua motivasi ini eksklusif satu sama lain. Tentu saja, kita mungkin mendekati Tuhan secara egois, sebagai Pribadi yang mengabulkan permintaan-permintaan. Namun bukankah keindahan Tuhan dan pemberian-Nya berjalan beriringan? Salah satu aspek yang paling indah dari karakter-Nya adalah bahwa Ia memberi dengan murah hati kepada anak-anak-Nya. Ketika Tuhan memberi, sebagai jawaban atas doa kita, dan kita membalasnya dengan rasa syukur yang tulus, Dia mendapat kemuliaan sebagai sang Pemberi yang baik. Bahkan, kita tidak dapat datang kepada Tuhan tanpa memercayai bahwa Dia memberikan upah kepada kita (Ibr. 11:6).

Pada bagian lain, Greear menasihati kita untuk tidak meminta Tuhan melakukan apa yang telah Dia janjikan. Sekali lagi, saya melihat hal ini sebagai dilema palsu. Sebagai contoh, ketika Tuhan berjanji untuk menguatkan dan menolong kita (Yes. 41:10), bukan berarti kita tidak beriman, melainkan kita beriman untuk meminta agar Ia menyesuaikan janji itu dan memberikan pertolongan yang Ia janjikan itu untuk situasi saat ini. Berikut ini contoh lainnya: Tuhan berjanji untuk memberi kita hikmat, tetapi Yakobus secara eksplisit mengundang kita untuk memintanya (1:5).

Waspadalah membaca buku tentang doa tanpa berdoa (bahkan ketika kita hanya menulis ulasan tentangnya). Saya jadi teringat dengan kuburan kemunafikan yang dilabur putih (Mat. 23:27). Saat membaca buku Just Ask, saya berdoa agar Tuhan membantu saya melihat apa yang harus saya lihat, melakukan apa yang harus saya lakukan, dan menjadi apa yang seharusnya. Mudah-mudahan, buku Greear akan membuat banyak orang lain memiliki kebiasaan yang sama.

Sam Crabtree adalah seorang pendeta di Gereja Baptis Bethlehem di Minneapolis. Beliau adalah penulis_Practicing Thankfulness: Cultivating a Grateful Heart in All Circumstances.

Diterjemahkan oleh: Fanni Leets

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Our Latest

Laporan Lausanne: Sebagian Besar Misionaris Menjangkau yang Sudah Terjangkau

Laporan Keadaan Amanat Agung (The State of the Great Commission) menelaah tantangan dan peluang di tengah lanskap misi yang terus berubah.

Ketika Pelayanan Melukai Keluarga Anda

Nasihat yang berasal dari pengalaman sulit untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan Tuhan.

Saya Menemukan Penghiburan dalam Pahlawan Ilahi

Sebuah mazmur yang mencengangkan mengubah pandangan saya tentang kehadiran Allah selama masa-masa pencobaan.

Gereja Adalah Keluarga, Bukan Acara

Alkitab menyebut sesama orang Kristen sebagai “saudara laki-laki dan perempuan,” tetapi seberapa sering kita memperlakukan mereka sebagai keluarga?

News

Wafat: Andar Ismail, Penulis Produktif yang Membuat Teologi Menjadi Sederhana

Dengan seri Selamat karyanya, pendeta Indonesia ini menulis lebih dari 1.000 cerita pendek yang menyoroti kehidupan dan ajaran Yesus.

Kematian karena Swafoto

Kita tidak akan pernah melihat kemuliaan Tuhan jika kita hanya melihat pada diri kita sendiri.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube