Bahkan di Masa Krisis, Belajar Tidaklah Pernah Sia-sia

COVID-19 bukanlah alasan untuk mengabaikan panggilan Tuhan untuk belajar.

Christianity Today October 17, 2021
Illustration by Chris Koehler

Saya berbaring sendirian di ranjang rumah sakit dengan rasa sakit menjalar di sekujur tubuh saya. Selama tiga bulan, saya tidak dapat berdiri atau duduk lebih dari 30 menit. Para dokter tidak memiliki solusi untuk mengatasi nyeri saraf yang terus-menerus timbul dan kejang otot yang melemahkan kondisi tubuh saya. Dalam kesakitan ini, saya bertanya-tanya apakah panggilan saya dalam pengajaran kristiani dan pendidikan tinggi telah berakhir?

Sebelum sakit, saya adalah seorang profesor yang cukup sehat dan sukses mengajar di Universitas Baylor. Saya telah menerbitkan banyak buku, menyelesaikan pekerjaan penelitian penting, dan menikmati diskusi-diskusi kelas yang menyenangkan dengan para mahasiswa PhD dalam program yang dibangun dengan bantuan saya. Pada Maret 2017, saya melakukan pemeriksaan kesehatan rutin. Tak lama kemudian, mulailah penderitaan saya.

Saya menjadi tawanan rasa sakit. Agar rasa sakit itu tetap terkendali, saya harus merana di tempat tidur. Saya tidak bisa lagi bekerja, berolahraga, mengemudi, atau duduk semeja bersama keluarga untuk makan malam. Saya merasa terisolasi dari teman-teman dan gereja.

Saya juga tidak dapat memenuhi tanggung jawab sebagai seorang profesor. Selama beberapa bulan itu, saya bahkan tidak bersemangat untuk membaca, apalagi menulis. Dalam "pesta penderitaan seperti Ayub" ini, saya merasa seolah-olah segala sesuatu yang selama ini telah memberi saya kepuasan atau kejelasan identitas diri tiba-tiba dirampas. Saya bertanya-tanya, “Siapakah saya, ketika sekarang saya sepertinya telah kehilangan segalanya?” Apakah suatu saat nanti saya akan bisa kembali mengajar, menulis, dan belajar dengan cara yang sama lagi?

Sangat besar kemungkinan, dampak COVID-19 telah menyebabkan sejumlah pengajar dan pelajar mempertanyakan hal yang sama. Mungkin Anda (atau orang yang Anda kasihi) telah tertular virus tersebut dan mengalami komplikasi jangka panjang. Mungkin pengaturan hidup Anda jungkir balik karena pembelajaran secara daring, karantina wilayah, atau kehancuran ekonomi. Krisis selalu menimbulkan pertanyaan tentang siapa kita dan apa panggilan Tuhan bagi kita. Saya berharap tulisan ini dapat mengingatkan kita tentang alasan dari panggilan kita untuk belajar—dan untuk mengatasi hambatan dan gangguan yang cenderung ditimbulkan oleh krisis dalam hidup kita.

Ambil Alih Kendali dengan Doa

“Saya tidak mau mati,” kata putra bungsu saya saat mendiskusikan COVID-19 pada suatu malam di meja makan. Ia berusia 16 tahun dan memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, sama seperti istri saya. Anak laki-laki saya yang lain pernah menderita asma. Saya juga memiliki orang tua berusia 81 tahun, salah satunya memiliki paru-paru yang kolaps sebagian. Semua orang yang saya cintai terlihat rentan dan rapuh.

Saya tahu pengalaman saya tidaklah unik. Kita semua takut kehilangan orang yang kita cintai. Momok kematian menghantui kita. Kita mungkin melupakan panggilan yang telah kita terima dari Tuhan. Apa yang kita lakukan ketika rasa takut akan kematian mengalihkan kita dari panggilan itu?

Pertama, kita harus berdoa. Ketika istri saya memberi tahu bahwa dia merasa tidak sehat beberapa bulan yang lalu, saya merasakan ketakutan yang luar biasa. Apakah itu COVID-19? Ketika rasa takut mengancam untuk mengambil alih hidup kita, doa harus mengambil alih kendali. Kita berdoa supaya hati kita selaras dengan hati Tuhan. Melalui doa, Ia menghibur dan membimbing kita, mengingatkan kita tentang siapa Dia dan siapa kita.

Seperti apa doa selama masa krisis? Ada beberapa bentuk doa. Kakak ipar saya, yang hidup dengan sakit kronis sepanjang hidupnya, mengajari saya bahwa terkadang Anda hanya perlu berdoa, “Tuhan, tolong saya untuk bisa hidup satu jam ke depan ini dengan baik” atau “Tuhan, bantu saya untuk bisa hidup lima menit ke depan ini dengan baik.” Pada lain waktu, doa bisa menjadi lebih berwarna. Selama saya menderita masalah kesehatan, banyak doa saya melibatkan lebih dari berteriak-teriak kepada Tuhan. Jika Anda masih bisa berteriak kepada Tuhan, itu bagus. Artinya, Anda masih hidup dalam relasi dengan Dia, meski sedang dalam keadaan stres berat. Lebih dari pada itu, sebagaimana Mazmur mengingatkan kita, Tuhan bisa mengatasinya. Bahkan, Tuhan adalah satu-satunya yang bisa memikul beban ketakutan kita.

Namun Mazmur juga memberi kita sesuatu yang lebih lagi. Selama saya dirawat di rumah sakit, beberapa teman lama di kampus datang dari Virginia untuk berkunjung, dan ini merupakan providensia Tuhan. Mereka berdoa dan menyemangati saya. Kemudian, seseorang mengirimi saya sebuah kitab Mazmur. Tentu saja, saya sudah memiliki Alkitab, tetapi untuk beberapa alasan tertentu, kitab Mazmur yang terpisah itu membuat saya membaca, berdoa, dan menghafalnya lebih lagi.

Dengan mempraktikkan ketiga hal tersebut, saya teringat untuk menjalani hidup dalam rencana Tuhan. Saya memperoleh kata-kata untuk mengungkapkan derita saya dalam ratapan: “Lesu aku karena berseru-seru, kerongkonganku kering” (Mzm. 69:4). Saya menghirup kerinduan yang dipenuhi harapan: “Sebab kepada-Mu, ya TUHAN, aku berharap; Engkaulah yang akan menjawab, ya Tuhan, Allahku” (Mzm. 38:16). Dan saya diingatkan: “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya” (Mzm. 34:19).

Ingat Amanat Agung Pertama

Ketika kita menghadapi kelumpuhan emosional dan membenamkan diri kita lagi dalam persekutuan dengan Tuhan, kita dapat fokus kembali untuk memenuhi panggilan kita dalam rencana Tuhan. Khotbah C.S. Lewis “Belajar di Masa Perang,” yang disampaikan di awal Perang Dunia II mengingatkan kita bahwa manusia selalu menghadapi realitas kematian dan penghakiman abadi. Lewis mengajak para pelajar Kristen untuk bertanya pada diri sendiri, “Bagaimana [apakah] benar, atau bahkan mungkinkah secara psikologis, bagi manusia yang setiap saat dapat saja menuju entah ke surga atau neraka, untuk menghabiskan sebagian kecil waktu yang diizinkan di dunia ini untuk hal-hal sepele seperti sastra atau seni, matematika, atau biologi?"

Pada tahun pertama kuliah, saya merenungkan pertanyaan-pertanyaan serupa, dan saya mulai menjawabnya dengan cara yang mengganggu panggilan saya untuk belajar. Dalam pikiran saya, penginjilan dan pemuridan sederhana (seperti yang saya pahami secara sempit) lebih diutamakan daripada ilmu politik dan ekonomi. Saya mendapati diri saya diyakinkan oleh pertanyaan tajam yang sama yang ditanyakan Lewis kepada pendengarnya: “Bagaimana Anda bisa begitu sembrono dan egois sehingga berpikir tentang apa pun selain keselamatan jiwa manusia?”

Saya membutuhkan dua tahun kuliah untuk memahami apa yang esai Lewis jelaskan dalam beberapa paragraf. Anda tidak bisa menjalani seluruh hidup Anda dengan mentalitas medan perang. Seperti yang dicatat Lewis, bahkan tentara garis depan dalam Perang Dunia I jarang membicarakan tentang perang. Sebaliknya mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk melakukan aktivitas normal, seperti membaca dan menulis.

Perang melawan COVID-19 tidak mengubah kenyataan itu. Memang, kita menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencuci tangan, menjaga jarak, dan bekerja dari rumah, tetapi kita masih menghabiskan sebagian besar waktu untuk aktivitas sehari-hari seperti makan, menjalin relasi, bekerja, dan belajar. Kelas-kelas, pertemuan, kebaktian gereja, dan pergaulan kita dengan teman-teman terjadi secara virtual atau jarak jauh, tetapi semuanya yang terjadi tetap sama. Seperti yang Lewis katakan kepada rekan pengajar dan mahasiswa pendengarnya, jika Anda menangguhkan semua aktivitas intelektual dan estetika Anda dalam suatu krisis, “Anda hanya akan berhasil menggantikan kehidupan budaya yang lebih baik dengan yang lebih buruk.” Kita masih menghadapi keputusan-keputusan apakah akan menonton Netflix terus, studi di kelas, atau membina hubungan yang mendalam dengan teman dan keluarga—baik secara daring atau berjarak dua meter.

Singkatnya, dalam bahasa teologis, bahkan selama masa krisis, kita seharusnya tidak mengabaikan amanat agung Allah yang pertama (untuk memenuhi dan mengelola bumi) hanya karena amanat agung-Nya yang kedua (untuk memuridkan) tetap mengikat.

Kejadian 1 mengandung sebuah pernyataan yang luar biasa tentang manusia dan panggilannya: “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” (ay.26–27).

Tuhan mencipta. Karena manusia diciptakan menurut gambar-Nya, kita juga dirancang untuk mencipta. Bahkan, Allah dalam amanat agung pertama-Nya memanggil manusia untuk “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu” (Kej. 1:28). Kita diberi kehormatan untuk menciptakan budaya. Kita membuat peralatan, mencipta musik, dan bahkan membangun kota (tindakan yang dijelaskan di pasal keempat kitab Kejadian). Kita membangun seluruh peradaban dengan berbagai jalan dan jembatan, dengan bahasa dan buku. Kita membangun bisnis dan kegiatan-kegiatan amal, mendirikan rumah sakit dan universitas, serta mendirikan galeri seni dan teater.

Dalam semua upaya ini, Tuhan membuat kita mencari Dia dan mengenal pikiran serta karakter-Nya. Ia merancang kita untuk merindukan kebenaran, kebaikan, dan keindahan serta menemukan hikmat-Nya (Ams. 1, 8). Sebagai pendidik abad ke-12, Hugh dari St. Victor mengingatkan kita, mengejar hikmat berarti berjumpa dengan pikiran Tuhan yang hidup, seolah-olah seseorang menjalin “persahabatan dengan Sang Ilahi itu.”

Inilah alasan mengapa kita belajar—tidak hanya untuk mendapatkan uang atau pekerjaan, meskipun hal-hal ini penting. Kita belajar karena Tuhan menciptakan kita menurut gambar-Nya sehingga kita bisa mencerminkan kreativitas, kebenaran, kebaikan, dan keindahan-Nya. Kita juga belajar untuk menemukan kembali kepenuhan gambar Allah itu, bersama dengan Kristus untuk membalikkan efek kejatuhan manusia dalam dosa, baik pada kehidupan individu kita maupun dunia secara keseluruhan. Bahkan, orang-orang Kristen telah memenuhi dunia dengan sekolah-sekolah sebagai bagian untuk mencapai tujuan ini.

Pandemi hanya memperkuat poin ini. Jika para ahli epidemiologi, ilmuwan, dan pekerja kesehatan telah mengabaikan panggilan Tuhan untuk belajar di perguruan tinggi, mereka tidak akan siap untuk melawan virus ini. Kita membutuhkan para ahli ekonomi untuk membantu kita mengatasi krisis keuangan. Kita membutuhkan para psikolog, penyair, penulis, filsuf, dan seniman untuk membantu kita memproses berbagai emosi yang kita rasakan. Kita membutuhkan para pendeta, pemimpin pujian, dan orang awam yang dilengkapi secara teologis untuk membantu kita melihat pandemi dalam terang rencana Tuhan yang lebih besar.

Dalam perspektif ini, orang Kristen harus menjadi pihak yang paling bersemangat untuk belajar. Menghadapi krisis selalu membutuhkan hikmat Tuhan, yang kita temukan dalam Kitab Suci dan dalam tradisi manusia yang terbaik. Sebaliknya, seperti Amsal berulang kali mengatakan, hanya orang bodoh yang meremehkan hikmat, didikan, dan pengertian. Kita berperang melawan pandemi ini dengan mengejar pengetahuan dan mempergunakannya dengan terampil. Tentunya para tenaga kesehatan dan peneliti medis kita harus memanfaatkan semua kemampuan yang dapat diberikan oleh kecerdasan manusia dan rahmat Tuhan.

Mungkin saat ini Anda tidak yakin apakah akan mengejar atau menunda untuk belajar. Jika Anda benar-benar senang belajar dan mendengar panggilan itu untuk Anda (Ams. 1:20–33), Anda harus mengejarnya sekarang daripada menunggu sampai segala sesuatunya “kembali normal.” Sebagaimana yang dijelaskan Lewis tentang para pembelajar yang terhebat: “Mereka menginginkan pengetahuan dan keindahan sekarang, dan tidak akan menunggu saat yang cocok yang tidak pernah datang.”

Bentuk Disiplin yang Baru

Kita tidak perlu heran jika pandemi telah mengganggu jalannya proses belajar-mengajar. Krisis besar cenderung seperti itu. Namun, kita harus waspada agar tidak membiarkan keadaan buruk menguras dan melelahkan kita.

Ketakutan yang obsesif bisa menjadi penghalang utama untuk tetap bertahan. Apakah kecemasan mengambil alih hidup Anda, memenuhi setiap pikiran Anda ketika terjaga? Saya bisa membenarkan bahaya ini. Ketika saya pertama kali mengalami masalah kesehatan, saya membiarkan masalah itu mendominasi segala sesuatunya. Saya menghabiskan waktu berjam-jam mencari jawaban secara daring. Saya tergelincir ke dalam depresi karena rasa sakit dan kelelahan mental.

Saat saya menyerahkan diri pada pengejaran yang sia-sia itu, istri saya membagikan beberapa hikmat yang sangat dibutuhkan. Sepuluh tahun sebelumnya, ketika dia menghabiskan satu tahun di tempat tidur untuk pulih dari masalah kesehatan, dia telah belajar tentang menangani kondisi “karantina” yang harus dihadapinya. Tuhan secara perlahan mengajari dia akan pentingnya menyusun jadwal hariannya. Dia mengingatkan saya untuk memulai hari dengan meluangkan waktu bersama Tuhan dan melakukan peregangan dan latihan yang membantu saya menenangkan otot-otot yang tidak berfungsi dan memfokuskan kembali pikiran yang mengembara. Secara bertahap, saya belajar kembali untuk merawat tubuh, pikiran, dan jiwa saya.

Untuk belajar dengan baik selama pandemi, kita harus membangun struktur dan ritme baru yang menjaga agar tekanan saat ini tidak membebani kita. Sambil tetap berkomitmen pada tugas-tugas yang diberikan Tuhan, kita mungkin perlu bereksperimen dengan cara-cara yang tidak ortodoks untuk menyelesaikannya.

Selama menderita sakit parah, saya tidak bisa lagi duduk atau berdiri untuk waktu yang lama. Untuk bisa terus menulis, saya harus berpikir kreatif dan belajar menggunakan beberapa alat baru. Saya memesan tempat sandaran komputer yang memungkinkan saya menulis sambil berbaring di tempat tidur. Dengan rahmat Tuhan, saya segera menemukan bahwa fokus pada pekerjaan mengalihkan saya dari rasa sakit dan membantu saya menjadi lebih produktif dari sebelumnya. Nyatanya, saya menulis dua buku dengan cara ini.

Sama seperti terbaring di tempat tidur memaksa saya untuk menulis dengan cara baru, COVID-19 telah memaksa kita untuk belajar-mengajar dengan cara baru. Setelah merasakan mengajar secara daring maupun langsung, saya yakin bahwa mengajar secara langsung lebih kondusif untuk belajar. Siswa yang menghadiri kelas daring mudah terganggu oleh ponsel dan lingkungannya, termasuk hewan peliharaan, anggota keluarga lainnya, dan makanan ringan di dapur. Mempertahankan fokus membutuhkan bentuk disiplin yang baru.

Apa yang dapat membantu kita mencapainya? Pertama, kita perlakukan pembelajaran daring, seperti pembelajaran secara langsung, sebagai bagian yang esensial dari panggilan Tuhan dalam hidup kita. Kedua, kita memperlakukannya sebagai disiplin rohani yang meningkatkan proses pengudusan diri. Mendengarkan orang dengan cermat adalah keterampilan mengasihi. Pembelajaran daring mengharuskan kita untuk mempraktikkan kebajikan ini dalam konteks yang menantang. Ketiga, kita melatih pilihan moral. Untuk hal ini, kita perlu untuk tetap fokus secara mental dan menghindari godaan melakukan banyak tugas. (Dengan kata lain, matikan ponsel Anda!) Pembelajaran daring bukanlah alasan untuk usaha yang setengah hati. Seperti yang dikemukakan Lewis dalam Mere Christianity, “Tuhan tidak menyukai pemalas intelektual sama halnya seperti pemalas lainnya.”

Dan akhirnya, kita memberikan penghargaan bagi diri sendiri dengan cara beristirahat pada hari Sabat dan bermain. Jika kita merasa harus bekerja tujuh hari seminggu selama pandemi, kemungkinan besar kita lebih mempercayai kekuatan kita sendiri daripada Tuhan. Jika kita merasa perlu melewatkan persekutuan dengan Tuhan untuk bertahan hidup, kita gagal mempercayakan Tuhan dengan waktu kita.

Krisis COVID-19 hanya menegaskan apa yang seharusnya sudah diketahui orang Kristen: Sejak kejatuhan manusia dalam dosa, hidup tidak pernah “normal,” dan hari-hari selalu jahat (Ef. 5:16). Setan, dunia ini, dan kedagingan kita yang berdosa terus-menerus berkonspirasi untuk mengalihkan kita dari panggilan Tuhan dalam hidup kita. Namun kasih karunia-Nya masih memberdayakan orang-orang Kristen yang setia—di dalam dan di luar ruang kelas—untuk bersekutu bersama dengan Tuhan, untuk mengetahui pikiran dan rancangan-Nya, dan untuk mencapai segala tujuan-Nya di dunia ini.

Perry L. Glanzer adalah profesor yayasan pendidikan di Baylor University, di mana dia juga menjadi peneliti tetap di Institute for Studies of Religion. Dia adalah salah satu penulis The Outrageous Idea of Christian Teaching and Christ-Enlivened Student Affairs: A Guide to Christian Thinking and Practice in the Field.

Diterjemahkan oleh: David Alexander Aden

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Our Latest

Inkarnasi Lebih dari Sekadar Palungan

Bagaimana seorang uskup Afrika kuno memperjuangkan kisah penebusan dalam inkarnasi.

Yusuf Adalah ‘Ayah Kandung’ Yesus

Saya tidak memerlukan ikatan biologis untuk menjadi ayah dari embrio yang saya dan istri adopsi.

Cover Story

Sisi Lain dari Natal

Dibutuhkan keberanian bagi Allah untuk menanggalkan kekuasaan dan kemuliaan-Nya serta mengambil tempat bagi-Nya di antara manusia.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube