Salah satu pengalaman yang paling membuat frustrasi—namun akhirnya melegakan—selama tiga dekade pelayanan pastoral saya adalah mengundurkan diri dari sebuah gereja yang didominasi orang kulit putih di tengah kota yang sebagian besar warganya adalah orang Afrika-Amerika. Banyak orang dari ratusan jemaat mengapresiasi pelayanan saya sebagai seorang pengkhotbah, guru, pemimpin, musisi, suami, dan ayah. Tetapi ada orang-orang minoritas namun berpengaruh di pinggiran kota—yang digoyahkan oleh isu-isu terkait ras dan sosial ekonomi—yang sikap oposisinya melemahkan kepemimpinan saya.
Anak saya yang tertua, ketika mengingat beratnya tantangan menjadi seorang pemuda Afrika-Amerika di gereja itu, sering berkata, “Ayah, kau perlu menulis sebuah buku dan menyebutkan nama!” Putra saya tahu bahwa saya mencoba untuk menjalani sebuah pelayanan multi-etnis yang tulus meskipun baru mengalami kesulitan-kesulitan karena dikritik.
Saya tidak mau menulis buku yang menceritakan semuanya dengan detail sebagai bentuk pelampiasan, tetapi dalam pendampingan yang saya lakukan terhadap para pendeta muda, saya mencoba, seperti Paulus, untuk membagikan Injil sebagaimana hidup saya (1Tes. 2:8). Mengundurkan diri sebagai pendeta dari gereja itu adalah sebuah lompatan iman yang menyakitkan. Saya pun tidak memiliki tawaran pelayanan yang lain. Tetapi menjadi pengangguran rasanya lebih baik daripada diremehkan dan akhlak saya dirusak.
Dalam eksodus yang signifikan baru-baru ini dari Southern Baptist Convention, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh terkenal seperti Beth Moore dan Charlie Dates dari Progressive Baptist Church. Kisah Jemar Tisby, yang baru-baru ini ia ceritakan dalam sebuah wawancara yang menjelaskan alasan dia keluar dari gereja orang kulit putih, beresonansi dengan orang-orang Kristen kulit berwarna dan kumpulan wanita yang mempertaruhkan diri mereka pada organisasi-organisasi Kristen yang mengklaim menghargai keragaman, namun kemudian dihantam oleh realitas kehidupan di dalamnya akibat patriarki supremasi kulit putih.
Semua kepergian adalah sulit, namun segalanya berpotensi memberi kehidupan. Mereka yang keluar sering kali pada akhirnya memperoleh penguatan melalui visi yang diperbarui, wawasan yang disegarkan, dan pemulihan terhadap pendirian dan kepribadian mereka. Organisasi yang ditinggalkan juga memiliki kesempatan untuk mawas diri.
Beberapa institusi Kristen akan membela reputasi mereka dengan mengacu pada Kitab Suci yang mengutuki pengajaran palsu (seperti Yud. 1:4). Tujuan mereka adalah untuk menjelek-jelekkan orang-orang yang keluar. Kecaman seperti itu tidaklah membantu dan seringkali tidak akurat. Orang-orang seperti saya memilih keluar bukan karena kami menganut ide-ide sesat secara historis. Kami pergi karena institusi tersebut sangat tidak sehat.
Setelah berkhotbah di gereja yang didominasi oleh orang kulit putih, saya mengetahui bahwa para pemimpin yang mendoakan saya membuat lelucon rasis sebelum saya tiba. Saya menyuarakan keprihatinan saya kepada para pemimpin denominasi, tetapi mereka menyangkal adanya rasisme dan justru marah kepada saya karena telah menyarankan gagasan tersebut. Saya mengebaskan debu mereka dari kaki saya dan melanjutkan hidup (Mrk. 6:11).
Memilih untuk keluar bisa menjadi tindakan profetik yang menghilangkan pengaruh beracun dari sebuah institusi. Yeremia dikenal karena berdiri di luar Bait Suci Yerusalem, di depan pintu gerbangnya, menyerukan pertobatan dan reformasi (Yer. 7:1–3).
Ia mengambil risiko mengatakan kebenaran untuk membawa umat Tuhan kembali ke jalan yang benar. Dia mengajukan dakwaan terhadap sistem Bait Suci yang tidak sehat sebagai penutup ketidakadilan: “Sudahkah menjadi sarang penyamun di matamu rumah yang atasnya nama-Ku diserukan ini?” (ay. 11).
Perhatikan orang-orang setia yang terluka dan memilih untuk keluar. Kata-kata mereka mungkin adalah firman Tuhan.
Yesus mengulangi tindakan Yeremia saat Ia membalikkan meja-meja penukar uang (Mat. 21:13). Ahli Perjanjian Lama, Walter Brueggemann, mengamati, “Bait Suci dan liturgi megahnya diekspos sebagai sarana kontrol sosial, yang pada saat krisis tidak akan menepati janji-janji agung mereka. Bait Suci terbukti bukan menjadi perwujudan transendensi, melainkan sekadar arena manipulasi sosial.”
Keputusan untuk keluar tidak dilakukan dengan sikap yang pongah, melainkan terjadi setelah melakukan perenungan dan doa yang intens. Lembaga-lembaga pelayanan juga harus memeriksa diri dan berani mengubah nilai-nilai inti yang hanya merusak keberhargaannya. Pernyataan-pernyataan fasih yang sering disuarakan di lembaga pelayanan yang didominasi orang kulit putih tentang kesetaraan dan keragaman terlalu sering berakhir dengan menyudutkan etnis minoritas. Sejarah kekristenan mengandung momen-momen epik tentang mereformasi perbedaan pendapat. Perhatikan orang-orang setia yang terluka dan memilih untuk keluar. Kata-kata mereka mungkin adalah firman Tuhan.
Mungkin suatu hari nanti saya akan menulis memoar itu, menyoroti perjuangan saya untuk menemukan rumah gerejawi. Saya telah belajar untuk mempercayai pendirian saya yang berbeda, dan mengumpulkan keberanian untuk marah terhadap ketidakadilan institusional. Saya berdoa agar mereka yang mengaku setia kepada Yesus akan mengerahkan keberanian untuk mendengarkan orang-orang yang keluar dan berani menghadapi dosa-dosa mereka sendiri. Sebagaimana dibutuhkan pembilasan untuk membersihkan pakaian, dibutuhkan pergolakan para nabi untuk membersihkan institusi.
Dennis R. Edwards, seorang pendeta dan pendiri gereja, adalah profesor Perjanjian Baru di North Park Theological Seminary di Chicago. Dia adalah penulis Might from the Margins: The Gospel’s Power to Turn the Tables on Injustice (APG) dan 1 Peter (the Story of God Bible Commentary).
Diterjemahkan oleh: Paul Sagajinpoula