Heather Fulk tidak dapat ingat apakah ia pernah mendengar tentang kebijakan Dave Ramsey untuk tidak bergosip, sebelum suaminya, Jon, dipecat dari perusahaan guru keuangan Kristen itu di Mei lalu.
Tetapi mereka yang berada di dalam Ramsey Solutions, dan jutaan orang yang mengikuti ajarannya tentang kepemimpinan, tahu bahwa ia memiliki toleransi yang sedikit untuk hal-hal negatif di jajarannya. Ramsey mendefinisikan gosip sebagai “mendiskusikan sesuatu yang negatif dengan seseorang yang tidak dapat membantu memecahkan masalah.” Itu berarti penyampaian kritik harus langsung pada kepemimpinan; mengeluh kepada sesama karyawan adalah tindakan “ketidaksetiaan.”
Orang-orang yang bekerja di Ramsey mungkin memiliki keluhan mereka sendiri—mulai dari hal-hal kecil seperti mengkritik pembicara tamu pada acara mingguan hingga kekhawatiran yang lebih besar tentang posisi mereka di perusahaan—tetapi mereka harus berhati-hati untuk tidak berbagi cerita dengan sesama karyawan yang mungkin melaporkannya.
“Anda harus sedikit berhati-hati dalam menjalin hubungan baru untuk mencari tahu siapa orang yang aman,” kata seorang mantan karyawan yang keluar tahun ini dan meminta untuk tidak disebutkan namanya karena takut akan pembalasan.
Bagi sebagian karyawan, sikap bungkam meluas hingga di luar perusahaan. “Mereka juga merasa bahwa berbicara dengan pasangan atau teman, adalah termasuk gosip juga,” kata yang lainnya.
Mereka tahu untuk tidak melakukan apa yang dilakukan oleh Heather Fulk. Pada bulan-bulan awal pandemi tahun lalu, ia membagikan di halaman Facebook pribadinya akan kekhawatirannya atas “perusahaan Jon” yang membuka kembali kantornya. Seorang rekan kerja melaporkan postingan tiga kalimat tersebut ke Ramsey Solutions, dan suami Fulk dipecat kurang dari sebulan setelahnya.
Pada wawancara terakhir sebelum Jon keluar dari perusahaan itu, direktur SDM Ramsey mengonfirmasi bahwa postingan media sosial dari istri Jon adalah alasan keputusan mereka, menurut sebuah rekaman. Suaminya berkomentar, “Kami jelas tidak setuju dengan pendefinisian gosip itu.”
Setelah pemecatan suaminya, Fulk menerima surat penghentian dan larangan (cease and desist letter), jadi ia menyamarkan pembaruan statusnya kepada teman-teman Facebook, dengan mengatakan bahwa mereka dapat mengirim pesan kepadanya jika mereka ingin mengetahui alasan suaminya tidak lagi bekerja di Ramsey.
Dia masih memproses rasa bersalahnya atas apa yang terjadi ketika seorang pemimpin wanita dari gerejanya menghubunginya. Fulk mengira wanita itu akan menawarkan dukungan, dan keduanya bertemu di teras rumahnya. Namun ternyata sebaliknya, pemimpin tersebut menegur postingan terbarunya: “Sepertinya Anda hanya ingin bergosip,” katanya, menurut Fulk.
Orang Kristen berhak untuk mengindahkan peringatan Kitab Suci tentang gosip, rahasia, dan kebohongan. Namun gereja Amerika juga telah melihat pola para pemimpin yang mereferensikan ajaran semacam itu untuk membungkam dan mendiskreditkan korban dan pelapor.
Salah satu anggota tim mula-mula dalam pelayanan Ravi Zacharias yang menyampaikan kekhawatirannya secara internal tentang perilaku pendirinya di luar negeri, dipidanakan karena “menyebarkan rumor.” Wanita yang mengajukan tuduhan pelecehan seksual terhadap pendiri Willow Creek Community Church, Bill Hybels, dinyatakan melakukan kampanye untuk menjatuhkan gereja dengan “tuduhan palsu.”
Dalam dekade sejak merilis bukunya Resisting Gossip, pendeta Matthew Mitchell telah mengenali pola itu juga. Dua tahun yang lalu, Mitchell menulis sebuah postingan blog yang menjelaskan bahwa ia khawatir para pemimpin yang suka mengontrol akan menggunakan karyanya untuk menjatuhkan para kritikus di dalam gereja mereka.
Karena gerakan #MeToo dan #ChurchToo telah membawa perspektif para korban ke permukaan, Mitchell mengatakan kepada CT bahwa ia memiliki lebih banyak kesempatan untuk mempertimbangkan “betapa sulitnya untuk mengangkat suara dan berbicara keluar ketika Anda telah dianiaya oleh seseorang yang berotoritas, dan kemudian mendapat tekanan tambahan karena dituduh bergosip.” Naluri untuk memfitnah mereka yang menyampaikan kepedulian dapat menjadi tanda bahaya bagi budaya pelecehan.
Namun jawabannya, Mitchell dan pakar lainnya setuju, bukan agar gereja berhenti berkhotbah dan mengajar melawan bahaya gosip. Sebaliknya, itu harus dimulai dengan pemahaman yang benar tentang gosip sejak awal.
William Vanderbloemen, yang perusahaannya berkonsultasi dengan pengusaha-pengusaha Kristen mengenai perekrutan dan budaya di tempat kerja, mengatakan bahwa ada banyak kliennya menambahkan klausul "tidak bergosip" ke dalam buku pegangan mereka, terutama karena media sosial memberikan jangkauan luas kepada orang-orang untuk menyiarkan informasi yang berpotensi merusak. Untuk menegakkan peraturan tersebut, mereka harus memberikan batasan-batasan subyektif dari apa yang dianggap sebagai gosip atau menetapkan parameter untuk istilah itu sejak awal.
“Hanya menyebutnya sebagai ‘kepedulian doa’ tidak mencegah hal tersebut menjadi gosip, karena begitulah cara menyembunyikannya,” kata Vanderbloemen, mantan pendeta di Houston.
Gosip dan Matius 18
Alkitab tidak memberi kita definisi tunggal dan menggunakan banyak kata untuk merujuk pada apa yang kita sebut gosip. Dalam Perjanjian Lama, istilah-istilah tersebut biasanya merujuk pada pribadi— seorang “pembawa cerita” atau “penjual rahasia”—daripada sebuah tindakan, menurut Karen Ehman, pembicara Proverbs 31 Ministries dan penulis buku Keep It Shut. Istilah Perjanjian Baru untuk gosip, menurutnya, mengacu pada omongan yang kosong dan yang tidak suci (1Tim. 6:20) dan bisik-bisikan (2Kor. 12:20).
“Kita telah memperoleh konsep bahwa ‘berbicara di belakang orang’ adalah gosip, tetapi mungkin benar, mungkin juga tidak,” kata Ehman, yang menghabiskan waktu lima tahun mempelajari pedoman Kitab Suci tentang berbicara untuk mengekang kebiasaannya agar terhindar dari masalah akibat kata-kata. “Jika itu benar, dan saya tidak melakukannya dengan cara memfitnah atau dengan niat jahat, itu sebenarnya bukan gosip. Itu hanya membicarakan seseorang ketika mereka tidak ada di dalam ruangan.”
Bagi orang Kristen, gosip lebih soal motivasi berbicara daripada soal kategori pembicaraan. Terkadang gosip dipicu oleh keegoisan diri kita sendiri dan pemujaan yang salah; kami ingin diperhatikan dan terlihat sebagai orang yang tahu segalanya. Kadang-kadang itu adalah motivasi yang tidak mengasihi orang lain, sebuah keinginan untuk menampilkan diri mereka secara keliru atau untuk mengungkapkan rahasia yang akan merusak reputasi orang lain.
Menyebut informasi apapun yang negatif atau sensitif sebagai “gosip” tidaklah tepat.
“Kadangkala kita harus memberi tahu orang lain tentang sesuatu hal buruk yang kita tahu benar mengenai seseorang yang tidak ada di sana. Tujuannya adalah untuk memperingatkan mereka tentang orang itu, karena kemungkinan besar mereka akan terluka dengan cara yang sama,” kata Mitchell, mengutip kalimat Paulus dalam 2 Timotius 4:14 tentang kerugian yang ditimbulkan oleh Aleksander, si tukang tembaga. Paulus menulis, “Hendaklah engkau juga waspada terhadap dia, karena dia sangat menentang ajaran kita” (ay. 15).
Sebagai bagian dari gerakan menuju transparansi, kepercayaan, dan akuntabilitas yang lebih baik, institusi-institusi Kristen perlu lebih berhati-hati dalam mempertimbangkan apakah mereka telah membukakan kesempatan bagi ornag-orang yang benar-benar ingin menyatakan kebenaran, menyerukan dosa, dan melindungi orang lain dari bahaya.
Dalam beberapa hal, bekerja jarak jauh selama COVID-19 memaksa para pengusaha Kristen untuk berkomunikasi lebih jelas dan membangun kepercayaan yang lebih lagi, menurut Al Lopus, CEO dari Best Christian Workplaces Institute.
Gereja, lembaga pelayanan, dan perusahaan Kristen ingin menciptakan budaya tempat kerja yang positif di mana para karyawan diharapkan menunjukkan buah Roh, tetapi tidak berarti menghindari hal-hal yang negatif sama sekali.
“Kami mendorong mitra-mitra pelayanan kami untuk menciptakan lingkungan di mana orang merasa bebas untuk mengungkapkan pendapat mereka,” kata Lopus, menambahkan bahwa komunikasi yang terbuka juga membuat organisasi lebih inovatif. “Ada yang namanya konflik yang sehat ketika orang berbeda pendapat tentang berbagai masalah dan gagasan.”
Orang Kristen seringkali dijuluki sebagai “penggosip” karena membahas perilaku orang lain yang berdosa tanpa mendatangi mereka secara langsung seperti di Matius 18.
“Saya telah banyak memikirkan tentang tuduhan gosip itu,” kata Sandra Glahn, yang membantu mantan pemerhati gereja yang melayani sederetan wanita yang berani mengungkap kasus pelecehan seksual dan penindasan dari diakennya. “Ketika salah satu faktornya ada dalam diferensial kekuasaan, panduan yang dapat diterapkan secara langsung adalah dari surat 1 Timotius, di mana sang rasul memberi tahu anak didiknya, ‘Janganlah engkau menerima tuduhan atas seorang penatua kecuali kalau didukung dua atau tiga orang saksi. Mereka yang berbuat dosa hendaklah kau tegor di depan semua orang agar yang lain itu pun takut' (1Tim. 5:19-20).”
Menangani pelecehan yang dilakukan oleh para pemimpin dalam konteks gereja harus melibatkan orang lain daripada membuat korban bertemu secara tatap muka dengan orang yang diduga sebagai pelaku pelecehan.
“Dua atau tiga orang itu harus berbicara sebelum berkonfrontasi. Percakapan itu bukanlah gosip,” kata Glahn. “Dua atau tiga orang itu mungkin juga perlu berkonsultasi dengan konselor rohani. Hal itu lebih memperlebar lingkaran tersebut. Tetapi percakapan itu pun bukan gosip.”
Percakapan semacam itu bukan hanya diperbolehkan, tetapi juga merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban.
“Kita telah menyaksikan, terutama dalam beberapa tahun terakhir, orang-orang yang berkuasa mampu menyakiti orang lain—terkadang selama bertahun-tahun lamanya—dan lolos begitu saja, sebagian karena para korban terisolasi dan tidak menyadari satu sama lain, sebagian lagi karena organisasi melindungi para pemimpinnya dari kritikan yang tepat,” kata Stephen Witmer, seorang pendeta Massachusetts yang telah menulis tentang gosip di dalam gereja.
Siapa yang dibawa ke dalam lingkaran itu sangatlah penting. Entah apakah mengemukakan keprihatinan yang besar atau hanya kritikan kecil, orang Kristen harus mencari seseorang yang dapat melakukan lebih dari sekedar mendengar curahan hati mereka.
“Saat kita berbicara dengan pihak ketiga tentang masalah yang kita lihat pada diri seseorang, kita harus menganggap pihak ketiga itu sebagai orang yang terlibat, bukan hanya pendengar pasif, dan, karena itu, pilihlah pihak ketiga dengan hati-hati,” kata Witmer. “Mungkin mereka akan membantu kita memikirkan apa yang harus dikatakan ketika kita mendekati orang tersebut. Mungkin mereka akan pergi bersama kita untuk berbicara dengan orang itu. Mereka seharusnya tidak hanya menjadi pendengar curahan hati kita saja.”
Bagi para korban yang telah merahasiakan pengalamannya karena ketakutan, yang telah merenung dan khawatir serta menyalahkan diri sendiri hingga pada titik akhir kerohanian mereka, maka keberadaan kelompok kecil yang terdiri dari orang-orang yang mau mendengarkan dan tepercaya dapat menolong untuk menguatkan hidup mereka. Kelompok tersebut juga dapat menyingkapkan bukti pola pelecehan, suatu kesadaran yang memilukan sekaligus menghibur—bahwa terlepas dari isolasi yang mereka rasakan dalam kesenyapan, mereka tidaklah sendirian.
“Ketika mereka menyebutnya gosip, saat mereka tidak mengizinkan untuk memproses dan membongkarnya, tidak ada kesempatan bagi siapa pun untuk memahami apa yang terjadi pada mereka,” kata Melissa Hogan, salah satu dari belasan mantan karyawan (dan pasangan) Ramsey Solutions yang berbicara kepada CT. “Anda membutuhkan itu. Anda membutuhkan orang-orang di sekitarmu.”
Dengan kata lain, bukan hanya bos atau bagian SDM yang dapat menangani masalah Anda dengan baik; melainkan juga orang di sebelah Anda yang dapat mendengarkan atau berkata, “Saya juga.”
Mantan suami Hogan, Chris Hogan, adalah salah satu tokoh teratas di Ramsey Solutions, dan perusahaan mengawasi “proses pemulihan” ketika pasangan itu mengalami masalah dalam pernikahan yang diakibatkan oleh perselingkuhan Chris. Dave Ramsey memberi tahu stafnya di tahun 2019 bahwa Melissa Hogan mendatanginya dan dengan marah “menuduh Chris melakukan berbagai macam hal,” lalu perusahaan membela Chris selama proses perceraian, yang menurut Ramsey adalah “perceraian terburuk.” Chris Hogan meninggalkan perusahaan pada bulan Maret atas “tindakan dan perilaku” yang tidak “sejalan dengan nilai-nilai inti Ramsey Solutions.”
Melissa Hogan mengatakan “ini semua adalah karya Tuhan” bahwa ia bisa terhubung dengan lingkaran para wanita lima tahun lalu, melalui klub istri-istri di perusahaan itu. Saat perceraiannya, Hogan merasa dia tidak bisa terbuka kepada mereka karena perintah dari Ramsey untuk bungkam. Sekarang, mereka adalah sistem pendukungnya—bertukar pesan di aplikasi Voxer, mempelajari pelecehan rohani bersama-sama, dan meningkatkan kesadaran dengan berharap bahwa orang lain dapat terlepas dari lingkungan yang manipulatif.
Wade Mullen, penulis Something’s Not Right: Decoding the Hidden Tactics of Abuse—and Freeing Yourself from Its Power, menggambarkan bagaimana organisasi-organisasi yang kejam dan beracun menjadi ketakutan terhadap tindakan kolektif yang dapat timbul ketika seseorang bercerita kepada orang lain tentang apa yang terjadi pada mereka dan menyadari bahwa mereka tidak sendirian.
“Salah satu bentuk pembalasannya adalah ketika para pemimpin menanggapi penyingkapan kebenaran itu dengan salah mengartikan alasan-alasan moral dan etis dari si pelapor yang memberi tahu orang lain, dengan menyebut mereka sebagai orang yang kepahitan dan pendendam yang hanya menyebarkan rumor,” katanya. “Dalam beberapa kasus, saya telah melihat para pemimpin agama mengaitkan pengungkapan pelecehan sebagai upaya setan untuk menghancurkan pekerjaan Tuhan. Mereka menyebut pengungkapan itu sebagai gosip dan kemudian menganggap bahwa gosip tersebut, dan juga si penggosip, dipakai oleh Iblis untuk menyerang gereja atau pelayanan.”
Lopus di Best Christian Workplaces mengatakan bahwa bekerja di lingkungan Kristen “adalah satu tempat di mana orang dapat membawa seluruh diri mereka untuk bekerja.” Hasilnya, para karyawan dapat mengembangkan koneksi yang lebih mendalam dengan orang-orang yang bekerja dengan mereka dan menjaga kepemimpinan untuk harapan yang lebih tinggi.
Namun bahkan kasus-kasus kesalahan manajemen di tempat kerja kemudian memiliki konsekuensi rohani, memicu orang untuk menyalahkan diri sendiri atau mulai membenci para pemimpin Kristen yang menurut mereka tidak mewakili hati Yesus.
‘Berbicaralah tentang kebenaran, kasih dan keadilan’
Beberapa sumber daya Kristen diarahkan untuk membantu para pendeta agar melindungi diri dan gereja mereka dari gosip atau fitnah, yang menurut Vanderbloemen menjadi ancaman yang lebih besar di era budaya pengenyahan (cancel culture) dan cerita-cerita cabul yang menjadi viral di media sosial. “Sekarang semua orang memiliki jaringan penyiaran mereka sendiri … itu mungkin semacam cara baru, karena gosip adalah fenomena lama,” katanya.
Meskipun Kitab Suci dapat mengarahkan orang untuk menyerukan dosa para pemimpin di hadapan gereja, tidak ada cara untuk melakukannya secara langsung di hadapan orang banyak di luar komunitas mereka sendiri. (Dan para pemimpin dahulu tidak memiliki jangkauan global seperti para pendeta, penulis, dan pimpinan pelayanan masa kini.)
“Saya tahu ada beberapa studi kasus yang sangat buruk tentang ‘Orang ini tidak dapat membicarakannya karena mengira mereka akan kehilangan pekerjaan, dan ternyata pria itu telah menjadi predator seksual selama bertahun-tahun lamanya.’ Saya tahu cerita-cerita itu terjadi di luar sana, jadi saya tidak ingin mengambil dari kisah-kisah itu,” katanya. “Tetapi saya juga tahu bahwa kekuatan gosip lebih tinggi dari sebelumnya. Anda bisa menghancurkan hidup seseorang dengan tanpa kebenaran.”
Vanderbloemen mengatakan bahwa selama lima tahun terakhir, klausul larangan perusakan nama baik (non-disparagement clauses), yang biasanya menjadi bagian dari perjanjian pesangon, juga berkembang untuk diterapkan pada anggota keluarga, sebagai cara untuk menangkal gosip, spekulasi, dan penghinaan di media sosial.
Dia mengatakan dalam banyak kasus, kedua belah pihak bisa melakukan kesalahan dan kesepakatan semacam itu memungkinkan gereja untuk melanjutkan tanpa harus membicarakan konflik di depan umum. Dari sudut pandang hukum, perjanjian tersebut dimaksudkan untuk melindungi kedua belah pihak dari kesalahan—mantan atasan tidak akan maju dan mengecam alasan keluarnya anggota staf itu dari pekerjaan, jika karyawan tersebut dan keluarganya setuju untuk melakukan hal yang sama.
Tetapi perhatian terhadap penggunaan klausul larangan perusakan nama baik (non-disparagement clauses) dan perjanjian kerahasiaan (non-disclosure agreement [NDA]) oleh gereja-gereja dan lembaga-lembaga pelayanan telah menimbulkan kekhawatiran akan menyembunyikan perbuatan yang tidak senonoh. Vanderbloemen mengklarifikasi bahwa “Perjanjian kerahasiaan yang baik akan selalu menyertakan beberapa kalimat yang mengatakan jika sesuatu yang kriminal telah terjadi, Anda benar-benar berhak untuk mengungkitnya,” sehingga memungkinkan orang untuk melaporkan kesalahan pengelolaan dana, penganiayaan, atau pelecehan seksual.
Gereja juga telah dibungkam karena kebijakan larangan perusakan nama baik; Texas sampai perlu membuat undang-undang baru, yang disahkan setelah krisis pelecehan gereja Baptis Selatan, untuk memampukan gereja-gereja di sana mengungkapkan, tanpa memihak, kepada calon pimpinan tentang alasan mantan karyawan atau sukarelawan diminta untuk pergi.
Karen Ehman berkata, “Menyampaikan pendapat jujur Anda ketika ditanya tentang seseorang untuk referensi pekerjaan” bukanlah gosip, melainkan informasi bermanfaat yang ditujukan pada seseorang yang perlu mengetahuinya.
Tetapi bagaimana dengan mengungkapkan informasi yang berpotensi merusak ketika dilihat oleh semua pengikut media sosial Anda, atau semua pengguna internet?
Beberapa orang menyatakan bahwa para pemimpin yang telah menyalahgunakan kekuasaan mereka terikat pada standar yang lebih tinggi, dan karenanya pengaruh mereka harus ditangani di depan umum, sekalipun mereka telah bertobat. Glahn mengingat ajaran 1 Timotius untuk memanggil penatua yang berdosa “di depan semua orang” sebagai peringatan.
Tetapi motivasi dan sikap hati kita adalah faktor yang menentukan apakah kita juga menggunakan gosip dalam kasus seperti itu. Mitchell memperingatkan semua orang—para korban maupun saksi mata—agar tidak melihat drama dalam konflik seperti itu, dalam upaya menjatuhkan seorang pemimpin, sebagai sumber hiburan.
“Pihak yang lemah masih perlu berhati-hati dengan cara bicara mereka tentang yang berkuasa; tidak ada alasan untuk merendahkan orang lain,” katanya. “Bahkan orang yang dianiaya pun tetap perlu menyampaikan kebenaran, kasih dan keadilan, dan bukan keinginan untuk balas dendam, atau keinginan untuk menggerutu, atau bahkan sebagai hiburan.”
Sebagai seorang Kristen yang fokus mempelajari tentang gosip, Mitchell memang mendengar dari para pendeta yang gerejanya telah terpecah karena gosip. Tetapi alasan Anda ingin menyingkirkan gosip dari gereja Anda adalah untuk menjadikan gereja sebagai tempat yang sehat bagi jemaat, bukan agar pendeta tidak berurusan dengan kritik.
“Alasan yang terakhir tersebut adalah suatu kemunduran dalam kepemimpinan Kristen. Orang yang lebih tinggi jabatannya dipanggil untuk lebih banyak membungkuk, dan itu mungkin berarti menerima lebih banyak pukulan daripada yang Anda inginkan tanpa melawan, tetapi itulah kegembiraan dari kepemimpinan Kristen," kata Mitchell, yang telah menggembalakan Lanse Evangelical Free Church di Pennsylvania selama 23 tahun.
Para pendeta pasti akan menghadapi penolakan dan desas-desus di jemaat—setahun pemberlakuan peraturan wajib memakai masker dan pembatasan pertemuan-pertemuan yang diperdebatkan, jika ada, menunjukkan hal itu—tetapi mereka harus memutuskan kapan perlu membiarkan komentar tersebut dan kapan harus menindaklanjuti.
“Selama bertahun-tahun sebagai pendeta, saya telah mendengar kritikan-kritikan penuh gosip tentang diri saya. Saya biasanya mengindahkan nasihat Charles Spurgeon bahwa pendeta harus memiliki satu mata yang buta dan satu telinga yang tuli, dan harus mengarahkan mata yang buta dan telinga yang tuli itu terhadap gosip,” kata Witmer, gembala dari Pepperell Christian Fellowship. “Saya telah mengabaikan laporan-laporan dari orang kedua tentang ketidakpuasan dari anonim atau meminta orang yang melaporkan kritik tersebut agar mengarahkan orang-orang itu untuk melakukan percakapan secara pribadi dengan saya.”
Bagi Heather Fulk di Tennessee, saran dari mantan pemimpin gereja sekaligus temannya yang mengatakan bahwa Fulk mencoba untuk menyetir gosip lebih lanjut tentang Ramsey, masih terasa menyakitkan.
“Saya baru saja berpikir tentang betapa merusaknya hal itu,” kata Fulk, sambil menantikan peringatan hari pemecatan suaminya. Ia mulai melihat dirinya sebagai korban trauma, masih belum pulih dari pemecatan suaminya yang mendadak, dan takut akan pembalasan lebih lanjut saat ia membicarakannya.
Keluarga Fulks sekarang berada dalam jemaat yang baru, setelah terhubung dengan kelompok kecil untuk mengikuti ibadah secara daring bersama selama pandemi. Ia juga sudah mampu melakukan percakapan rutin dengan para pendeta dan staf tentang kepekaan dalam memperhatikan para korban dengan baik.
“Kami sangat yakin untuk mengatakan bahwa hal-hal rohani (tentang gosip) ini benar-benar merupakan hal-hal yang melecehkan,” kata Fulk. “Kelihatannya bagus karena mereka menaruh ayat Alkitab di situ, tetapi sekarang saya pikir, ‘Tidak, menurut saya bukan itu artinya.’”
Diterjemahkan oleh: Vika Rahelia