Amerika Serikat dibangun di atas idealisme kemerdekaan. Meskipun tidak selalu berhasil menghidupi makna sejati dari semboyannya, perjuangan besar dalam hati nurani Amerika adalah perjuangan untuk kemerdekaan. Pada 23 Maret 1775, Patrick Henry mengucapkan kata-kata mutiara untuk membela kemerdekaan dan Revolusi Amerika: “Berikan aku kemerdekaan atau berikan aku kematian!” Bagi Henry, pilihan yang ada hanyalah kemerdekaan atau kematian. Bagi Yesus Kristus, kemerdekaan yang Ia berikan adalah kemerdekaan melalui kematian. Kematian dan kebangkitan Yesus Kristus memerdekakan kita. Namun, seperti yang diketahui oleh semua orang Amerika, kemerdekaan tidaklah gratis. Hal ini sangat benar, seperti kemerdekaan yang kita miliki di dalam Yesus.
Kabar Baik dari Injil adalah bahwa Yesus mati dan bangkit kembali agar kita bebas dan merdeka dari dosa. Dosa adalah kuasa yang memperbudak. Dari sejak awal, dosa Adam dan Hawa menjadi dosa semua umat manusia (Rm. 5:12). Akibatnya, terlahir sebagai keturunan Adam berarti terlahir dalam perbudakan dosa. Ini seperti kejahatan besar perbudakan manusia yang kita lihat dalam sejarah; salah satu tragedi sistem perbudakan Amerika adalah bahwa anak-anak yang lahir dari budak adalah budak juga. Tetapi Kristus mematahkan kutukan dosa di dalam Adam dan dengan demikian memerdekakan keturunan Adam (ay. 19). Tidak lagi menjadi budak dosa, melainkan sekarang menjadi hamba kebenaran. Tidak lagi terikat oleh kuk perhambaan, melainkan sekarang merdeka di dalam Kristus. Meski demikian, kemerdekaan itu selalu diserang.
Setelah Proklamasi Emansipasi dan berakhirnya perbudakan secara resmi di Amerika Serikat, muncullah jenis perbudakan baru, yaitu penindasan yang bernama hukum Jim Crow. Dalam beberapa hal, ini lebih berbahaya dan merendahkan daripada yang pertama. Penindasan ini memberi kesan kemerdekaan, namun secara sistematis dan institusional mengekang orang kulit hitam Amerika di dalam perbudakan. Sistem perbudakan baru ini bukanlah perbudakan yang formal, tetapi tetap saja merupakan penindasan dan perbudakan, dan karena itu, perlu dipatahkan. Sama halnya ketika seseorang telah dimerdekakan dari hukuman dosa melalui salib Kristus, sering kali orang tersebut tetap diperbudak oleh rasa bersalah dan malu karena dosanya. Salib memerdekakan kita dari perbudakan dosa dan rasa bersalah. Di sinilah janji dan pernyataan Roma 8:1 menjadi sangat penting bagi kehidupan kristiani. Barang siapa di dalam Kristus Yesus tidak lagi berada di bawah penghukuman akibat dosa yang mereka lakukan. Dengan kata lain, Yesus tidak hanya membayar hutang dosa, tetapi juga menanggung rasa bersalah dan malu yang sering mengikuti hutang tersebut.
Rasa bersalah adalah salah satu senjata Iblis yang paling sering digunakan untuk melawan orang Kristen. Karena dosa masih ada dalam hidup kita dan banyak orang hidup dengan pergumulan setiap hari untuk melawan dosa, sang Musuh jiwa kita sering berusaha meyakinkan kita untuk meragukan kuasa anugerah Tuhan dan jaminan pengampunan-Nya. Iblis tahu bahwa rasa bersalah dan malu bisa sangat membebani dan dapat memimpin pada keputusasaan. Jika sang Musuh dapat membuatmu putus asa dan berkubang dalam kegagalan-kegagalanmu, dia dapat menghalangimu untuk hidup dalam kemerdekaan yang Kristus berikan bagimu di kayu salib. Dan dengan demikian, Iblis dapat mengikatmu dalam jenis perbudakan yang baru—hidup sehari-hari yang lebih rendah daripada martabat kemerdekaanmu di dalam Kristus dan sukacita keselamatanmu.
Namun Kristus ingin kita mengingat bahwa Dia mengakhiri semua penghukuman atas dosa masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Saat Alkitab bertanya dan menjawab, “Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka? Tak seorang pun. Kristus Yesus yang mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita”(Rm. 8:33–34).
Penulis himne Irlandia, Charitie Lees Bancroft, mengatakannya dengan baik:
Ketika Iblis menggodaku untuk berputus asa dan memberitahuku tentang rasa bersalah di dalam diriku, aku melihat ke atas, dan melihat Dia di sana yang mengakhiri semua dosaku.
Karya Kristus memerdekakan kita dari dosa dan rasa bersalah di masa lalu sehingga hari ini kita dapat hidup merdeka. Kemerdekaan ini adalah kemerdekaan yang seutuhnya dan menuntut kita untuk mewartakannya.
"I Have a Dream," pidato Martin Luther King Jr. yang terkenal itu diakhiri dengan sebuah catatan yang tegas dan tak terlupakan. Ia mengingatkan bangsanya bahwa impiannya adalah suatu hari semua orang—terlepas dari ras, jenis kelamin, warna kulit, atau kepercayaan—akan bisa bernyanyi bersama, “Akhirnya merdeka! Akhirnya merdeka! Syukur kepada Allah Maha Kuasa, akhirnya kita merdeka!” Rasul Paulus menggunakan nada yang sama ketika ia menulis kepada orang-orang Galatia; ia ingin mereka mendengarnya dengan keras dan jelas: Akhirnya merdeka! Akhirnya merdeka! Karena salib Kristus, akhirnya kita merdeka!
Mungkin tidak ada pernyataan yang lebih tegas dalam semua tulisan rasul Paulus daripada ayat ini: “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan”(Gal. 5:1). Jika natur dosa adalah perbudakan, natur Injil adalah kemerdekaan. Kristus mati untuk membebaskan umat-Nya dari belenggu perbudakan dosa (Rm. 8:2). Ketika Paulus menulis kepada orang-orang Kristen di Galatia untuk menekankan kembali sejauh mana kemerdekaan yang mereka miliki di dalam Kristus, kata-kata yang ia pilih menunjukkan pentingnya hidup sebagai orang merdeka—bebas dari kutukan hukum, bebas dari rasa bersalah atas dosa, bebas untuk menyembah dan hidup bagi Tuhan kita Yesus Kristus. Belum pernah sebelumnya, laki-laki maupun perempuan, memiliki kemerdekaan sebesar ini. Dan mereka tidak perlu diperbudak lagi, selamanya.
Konsekuensinya, dari semua orang di dunia, orang Kristen seharusnya menjadi yang pertama dan terutama dalam menyerukan kemerdekaan. Injil menuntut hal ini. Pembebasan kita dari belenggu dosa adalah sebuah kebenaran teologis yang harus menghasilkan buah kemerdekaan yang nyata dari segala jenis perbudakan manusia. Perdagangan manusia dan perbudakan tidak sesuai dengan Injil, begitu pula belenggu kekerasan fisik dan emosional. Karena kita memberitakan Injil tentang kemerdekaan dari dosa, kita juga memberitakan kemerdekaan untuk hidup dengan merdeka. Sebagai orang Kristen, kita merdeka untuk hidup dan mengasihi di dalam Kristus. Dan sebagai duta Kristus (2Kor. 5:20), kita dipanggil untuk membantu orang lain melakukan hal yang sama.
Oleh karena itu, mengabarkan Injil berarti mengabarkan kemerdekaan bagi manusia, laki-laki dan perempuan. Meskipun kemerdekaan ini terutama dapat dipahami dalam kaitan hubungan kita dengan Tuhan dan kemerdekaan kita dari dosa dan rasa bersalah, namun kemerdekaan ini juga menyentuh hubungan manusiawi kita ketika kita memperjuangkan kemerdekaan bagi orang lain. Karena “apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka” (Yoh. 8:36).
Anthony J. Carter adalah gembala jemaat di East Point Church di East Point, Georgia. Lulus dari Reformed Theological Seminary Orlando, ia adalah penulis beberapa buku termasuk Running from Mercy , Blood Work , dan Black and Reformed .
Tulisan ini adalah bagian dari The Cross , terbitan khusus CT yang menampilkan artikel dan sesi studi Alkitab untuk Prapaskah, Paskah, atau kapan pun sepanjang tahun. Anda dapat mempelajari lebih lanjut tentang membeli salinan cetak The Cross untuk gereja atau kelompok kecil Anda dalam jumlah banyak di OrderCT.com/TheCross. Jika Anda pelanggan CT, Anda dapat mengunduh salinan digital The Cross secara gratis di MoreCT.com/TheCross .
Diterjemahkan oleh: Fanni Leets.