Brené Brown, ketika tampil di Oprah Winfrey Super Soul Sunday, mengumumkan, “Menurut saya rasa malu itu mematikan, menurut saya rasa malu itu merusak. Dan menurut saya kita berenang di dalamnya.” TED talk Brown, yaitu “Memperhatikan Rasa Malu” telah dilihat lebih dari 14 juta kali. Dalam tayangan tersebut, ia memperingatkan bahwa rasa malu itu seperti roh halus yang tertawa dan memutar dua rekaman di benak kita: “Tidak pernah cukup baik” atau “Menurutmu, kamu ini siapa?”
Metafora ini menampilkan rasa malu sebagai jebakan yang berulang: Pengalaman rasa malu yang berulang menghancurkan harga diri kita, dan rendahnya harga diri membuat kita cenderung mengalami rasa malu. Lingkaran setan ini akhirnya lepas kendali, mengarah pada pola perilaku yang adiktif dan merusak. Bagi Brown, rasa malu adalah emosi merusak yang tidak memiliki tujuan yang membangun; oleh karena itu kita harus melepaskannya dan mengembangkan ketahanan terhadap semua bentuk rasa malu.
Keinginan untuk menghilangkan rasa malu dari pengalaman sehari-hari tampaknya masuk akal, tetapi dengan melakukannya kita melumpuhkan kapasitas kita untuk menjadi orang yang bermoral. Emosi-emosi moral saling terkait erat; Emosi-emosi tersebut tidak eksis sepotong-sepotong. Oleh karena itu, seperti yang ditulis Krista Thomason, kita “tidak dapat menghilangkan emosi [seperti rasa malu] tanpa ‘menodai’ sisanya.”
Lebih jauh, menghilangkan rasa malu kemungkinan besar menumbuhkan rasa tidak tahu malu. Seperti yang Daniel Henninger tulis di Wall Street Journal tak lama setelah tuduhan terhadap Harvey Weinstein, Charlie Rose, dan Al Franken, “tindakan mereka mengungkapkan runtuhnya kemampuan menahan diri. Hal itu pada gilirannya mengarah pada hilangnya hati nurani yang lebih luas, perasaan bahwa melakukan sesuatu adalah salah…. Jadi ketika seseorang bertanya bagaimana orang-orang ini bisa berperilaku begitu kasar dan mengerikan, satu jawaban adalah bahwa mereka … tidak … punya … rasa … malu. ”
Henninger memperingatkan agar tidak menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa orang-orang ini adalah orang asing atau anomali. Sebaliknya, mereka adalah produk dari “budaya yang telah menghilangkan rasa malu dan batasan perilaku.” Kitab Suci juga menegaskan perlunya rasa malu dan menentang sikap tidak tahu malu. Para nabi mencela Israel karena kebekuan rohani dan ketidakmampuan mereka untuk malu terhadap tingkah laku mereka yang menjijikkan (Yer. 3:3; 6:15; Zef. 3:5). Paulus juga mempermalukan orang Korintus karena sikap apatis moral dan kegagalan mereka untuk berduka atas dosa mereka (1Kor. 5:2; 15:34).
Yang pasti, rasa malu bisa beracun, tetapi tidak selalu harus demikian . Kita harus membedakan antara rasa malu duniawi dan ilahi. Dengan rasa malu ilahi, hati nurani kita dibakar oleh nilai-nilai yang sesuai dengan standar Tuhan dan bukan dunia. Rasa malu ilahi pada dasarnya berhubungan dengan benar dan salah dari perspektif Tuhan; hal itu tertambat dengan keindahan dan kekudusan Tuhan. Rasa malu ilahi menjadi panduan bagi pilihan masa depan kita, membatasi kita dari melakukan apa pun yang mungkin membawa aib bagi Tuhan, gereja, orang lain, dan diri kita sendiri.
Rasa malu ilahi mengingatkan kita akan tanggung jawab kita untuk menyambut orang-orang beriman sebagai saudara dan saudari, terlepas dari latar belakang sosial ekonomi, imigrasi, atau ras mereka; karena tembok yang memisahkan kita telah dihancurkan oleh darah Yesus Kristus (Ef. 2:14; Flm. 1:16). Rasa malu ilahi mendesak kita untuk menghormati martabat semua orang, karena kita semua diciptakan menurut gambar Allah (Kej. 1:26-27).
Rasa malu ilahi juga mengevaluasi pikiran, tindakan, dan kelambanan masa lalu kita dengan pikiran yang tidak serupa dengan dunia, melainkan ditransformasi oleh Injil (Rm. 12:1–2). Rasa malu ilahi mengkritik dengan hebat sifat mementingkan diri dan ketidakpedulian kita terhadap penganiayaan dan penderitaan yang dialami oleh orang lain, karena setiap bagian tubuh Kristus menderita ketika satu bagian menderita (1 Kor. 12:26). Rasa malu ilahi mencela keragu-raguan kita untuk ikut meratap bersama orang-orang yang menderita ketidakadilan rasial, memanggil kita untuk “menangis bersama orang yang menangis” (Rm. 12:15). Rasa malu ilahi memarahi kesediaan kita untuk mempermalukan orang lain secara daring ketika cuitan pedas kita menandakan “kebajikan” kita sendiri dan bukannya mencari kebaikan sejati orang lain.
Teguran yang disebabkan rasa malu ilahi meresahkan dan menyakitkan; meskipun demikian, itu menghasilkan buah kebenaran bagi mereka yang tunduk pada pelatihannya (Ibr. 12:11). Teguran yang disebabkan rasa malu ilahi merusak harga diri yang salah tempat demi menjadikan kita orang Kristen dewasa.
Rasa malu duniawi menghancurkan, tetapi rasa malu ilahi memulihkan. Rasa malu ilahi menunjukkan bahwa kita telah mendukakan Roh Kudus, tetapi itu juga meyakinkan kita akan kasih karunia (Ibr. 4:16). Rasa malu ilahi muncul dari pengetahuan yang benar tentang tuntutan dan belas kasihan Tuhan. Sebagai respons terhadap rasa “Tidak pernah cukup baik,” rasa malu ilahi setuju bahwa kita tidak pernah cukup baik dalam diri kita sendiri, tetapi kita lebih dari cukup karena Kristus (2Kor. 5:21).
Sebagai respons terhadap “Memangnya siapa kamu?” rasa malu ilahi mendakwa kita sebagai orang berdosa, tetapi kemudian menegaskan bahwa kita adalah anak-anak dan ahli waris Allah karena persatuan kita dengan Kristus (Rm. 8:17). Rasa malu ilahi tidak bertentangan dengan kehormatan yang diinginkan Tuhan bagi anak-anaknya. Seperti anak yang hilang ketika ia sadar (Luk. 15:17), rasa malu ilahi menghukum, menegur dan menghasilkan penyesalan, pertobatan, dan kerendahan hati; dan kemudian mendorong kita kembali ke pelukan Bapa kita yang penuh anugerah—pengampunan kita terbukti, diri kita direformasi, hubungan kita dipulihkan, kehormatan hak kita dipulihkan. Rasa malu ilahi adalah rasa malu yang kita butuhkan untuk berjalan sesuai dengan panggilan kita sebagai anak-anak Tuhan.
Te-Li Lau adalah seorang profesor di Trinity Evangelical Divinity School dan penulis Defending Shame: Its Formative Power in Paul’s Letters.